Athalia menunduk dengan pipi yang merona, ia berada di sofa itu memang untuk menunggu Mahesa.
Tanpa Athalia menjawab pun, Mahesa sudah bisa menebaknya hanya dengan melihat rona merah di kedua belah pipi wanita itu.
Merasakan gairah yang semakin berkobar di dalam dadanya, Mahesa menggeram, menjepit dagu Athalia dengan menggunakan jempol dan telunjuknya. Kemudian mendongkakannya hingga membuat bola mata mereka saling bersinggungan dengan tatapan yang dalam.
Athalia menelan ludahnya berat tatkala mata hazel indah milik lelaki itu terasa seperti menghipnotisnya, membekukan seluruh aliran darahnya. Tatapan Mahesa seperti memiliki kekuatan magis yang mampu meluluh lantakkan perasaannya.
Untuk sesaat mereka terdiam dan hanya saling pandang satu sama lain. Sampai kemudian bisikan halus terdengar dari mulut Mahesa.
"I want you, Athalia. I want you and your body," bisiknya tepat di depan wajah Athalia, jarak hidung mereka telah terpan
Arini bisa melihat Mahesa yang mengusap sudut matanya dengan menggunakan ibu jari, lelaki itu menahan tangis ketika menceritakan tentang sosok Bik Atin.Wanita paruh baya itu selalu menjadi sosok pelindungnya sejak kecil. Bik Atin lah yang memeluk Mahesa setiap kali Mahesa mendapatkan ketidakadilan di dalam hidupnya.“Bik Atin itu siapa?” tanya Arini.“Malaikatku,” jawab Mahesa, dia tidak ingin mengatakan kalau Bik Atin adalah pembantunya. Mahesa terlanjur menganggap wanita paruh baya itu sebagai sosok malaikat pelindung.Arini mengulum senyum mendengar jawaban Mahesa. Baiklah, dia tidak akan mengorek tentang Bik Atin. Meskipun Arini merasa sedikit penasaran dengan sosoknya.Tapi dia harus berfokus pada Mahesa. Di sini, Mahesa lah yang menjadi peran utama di dalam kelamnya hidup yang menimpanya.“Maaf jika pertanyaanku kali ini akan menyinggungmu, tapi, apa kau tidak pernah sekali pun merasakan pelukan dari oran
Athalia tercenung, tapi ia mengangguk pelan dan mengangkat kedua tangannya untuk membalas pelukan Mahesa.Sejujurnya, Athalia merasa sangat nyaman dalam pelukan lelaki itu. Namun tingkah Mahesa yang aneh setelah selesai konsul dengan Arini, membuat Athalia merasa kebingungan.Dengan masih memeluk tubuh Athalia yang mungil, Mahesa kembali berkata. “Kau benar, Athalia. Setelah meluapkan semuanya, sekarang hatiku merasa lega. Setidaknya setengah dari beban di hatiku sudah hilang. Aku makin bersemangat untuk bisa sembuh dari semua trauma ini. Aku ingin bisa menjalani kehidupan yang normal seperti orang lain tanpa gangguan dari masa laluku yang pahit. Aku ingin bahagia. Aku ingin bahagia, Athalia. Kau dengar itu, ‘kan? Aku ingin bahagia.”Mata Athalia berkaca-kaca. Mahesa sampai mengulangi kalimatnya beberapa kali saking dia ingin mewujudkan impiannya.Semua belenggu masa lalu yang merantainya harus segera sirna. Mahesa sangat ingin men
“Perutku lapar sekali. Ini aneh. Kenapa aku selalu merasa lapar di tengah malam.” Athalia bangun dari tidurnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk.Matanya melirik ke arah Mahesa yang sedang tidur di samping ranjang. Lelaki itu telungkup, Mahesa langsung pulas setelah percintaan mereka.“Mungkin masih ada makanan di kulkas. Aku akan ke dapur.” Athalia menyibak selimutnya, lalu bergerak pelan saat turun dari ranjang. Dia tak mau mengganggu tidur Mahesa yang lelap.Setelah mengenakan sandal tepleknya, Athalia berjalan keluar kamar. Tujuannya saat ini adalah dapur.Ketika langkahnya tiba di dapur, senyum lebar langsung merekah di bibir manisnya saat ia mendapati sebuah cokelat terlihat begitu menggoda perutnya.“Wah, ada cokelat! Ini milik Mahesa. Tapi dia pasti tidak akan apa-apa jika aku memakannya.” segera Athalia mengambil cokelat itu dan mengunyahnya.“Eumhh … rasanya enak sekali. Cokelat
“Benarkah? Apa semalam aku mendengkur?”Rasanya Athalia tertawa mendengar pertanyaan itu. Sejak kapan Mahesa peduli dengan tidurnya mendengkur atau tidak.Namun Athalia tetap menjawab dengan gelengan kepala.“Tidak. Tidurmu sangat elegan,” jawab Athalia lagi. Mahesa memutar bola matanya, kemudian matanya melirik ke arah kamar, dimana jam dinding terpajang di sana.“Ini sudah jam enam, ‘kan? Sepertinya kita bangun kesiangan. Kita harus pergi ke kantor, Athalia. Aku ada meeting siang ini, bukan?” kata Mahesa lalu bertanya pada Athalia.Athalia kembali mengangguk. “Ya. Kau benar. Kalau begitu aku akan mandi sekarang.”Athalia hendak melangkah menuju kamar, namun Mahesa menangkap tali outer dari gaun malam yang Athalia kenakan, kemudian sengaja menariknya hingga terlepas.Menyadari outer gaun malamnya terlepas, Athalia segera berbalik dan mengerutkan keningnya ke arah Mahesa.
“Papa hanya ingin memintamu untuk datang ke perusahaan Papa sekarang juga, Mahesa!” perintah Leuwis dengan suaranya yang tegas.Alis Mahesa terangkat sebelah.“Untuk apa?” tanya Mahesa.“Jangan banyak bertanya, pokoknya datang saja dan lakukan apa yang Papa minta!” tekannya yang seolah memperlakukan Mahesa selayaknya robot yang bisa ia kendalikan.Mahesa mendengus. “Kalau aku tidak mau, bagaimana?” tantang Mahesa, dagunya terangkat, ia sengaja mempermainkan Leuwis.Terdengar suara menggeram di seberang telpon, mungkin Leuwis merasa kesal dan marah begitu mendengar Mahesa yang malah menantangnya.“Jangan mencoba menguji kesabaranku! Aku hanya memintamu datang, itu saja!”“Tapi masalahnya aku tidak mau. Maaf, Pa. Banyak sekali pekerjaan yang harus kuselesaikan. Jadi aku tidak akan menuruti perintah Papa. Aku tidak akan datang ke sana. Sampai jumpa!”TUT
“Kau sama sepertinya. Selalu membangkang ucapanku. Sepertinya darah Sandra lebih mendominasi di dalam tubuhmu hingga kau sangat mirip dengannya,” lanjut Leuwis kemudian tersenyum sinis.Mahesa yang tidak suka mendengar dirinya disamakan dengan Sandra—ibu yang sudah tega meninggalkannya demi lelaki lain, langsung berang hingga bangkit dari kursinya.“Diam! Sekarang juga aku minta keluar dari ruanganku!” sentak Mahesa, mengarahkan telunjuknya ke arah daun pintu.Senyum di wajah Leuwis semakin lebar, ia senang karena Mahesa mulai terpancing emosi oleh ucapannya.“Dasimu hari ini berwarna merah, aku jadi ingat kalau Sandra sangat menyukai warna itu. Oh, aku tahu. Kau sengaja memakainya karena sedang teringat dengan ibumu, bukan? Kau merindukannya, Mahesa?” ejek Leuwis.Mahesa melihat ke arah dasi panjangnya yang sialnya ternyata memang berwarna merah. Seketika ingatan tentang Sandra, saling berkelebat dalam ben
“Bisakah kau menjalankan mobilnya dengan benar?!” sentak Leuwis memarahi sopirnya yang tiba-tiba saja menghentikan mobilnya secara mendadak.“Maaf, Tuan. Ada seorang wanita yang menghadang di depan mobil ini,” kata sopir itu.Ucapannya berhasil membuat kening Leuwis berkerut heran. “Wanita?”Leuwis yang duduk di kursi belakang, menggeser kepalanya untuk melihat siapa sosok wanita yang dimaksud oleh sopirnya. Dan matanya melebar begitu melihat Athalia berdiri di depan mobilnya. Athalia menurunkan kedua lengannya yang tadi ia bentangkan untuk menghadang mobil ini.Leuwis berdecak kesal, padahal ia sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Tapi Athalia malah berdiri dan menghalangi laju mobilnya yang baru saja akan memasuki gerbang rumah.“Ck! Apa yang dilakukan wanita itu? Apa dia ingin mati?” Leuwis turun dari mobil. Membenarkan kelepak jasnya, Leuwis melangkah tegas menuju tempat dimana Athalia be
Athalia mengernyitkan alisnya, ia merasa tak perlu menggubris ejekan Bianca. Sekali lagi, Athalia tak ingin berkelahi apalagi dengan Bianca.Maka daripada menanggapi Bianca, Athalia memilih membalikan badannya, hendak pergi, tapi tangan Bianca menahan pundaknya.“Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara. Di mana kau taruh telingamu? Hah?”Kesal, Athalia menepis tangan Bianca dari pundaknya dengan sedikit kasar, kemudian menatap wanita itu dengan mendelik.“Yang jelas aku datang bukan untuk bertemu denganmu. Karena kita tidak memiliki urusan apapun,” jawab Athalia yang membuat Bianca cukup terperangah. Bianca tidak percaya jika ternyata Athalia berani menantangnya.Athalia sama sekali tidak terlihat takut padanya.“Siapa bilang kita tidak memiliki urusan apapun. Bagaimana dengan Mahesa? Jauh sebelum kau menjadi sekretarisnya, aku lah wanita yang lebih dulu mendekatinya. Aku ingin dia menjadi milikku. Tapi