Plak!“Apa lagi ini?” seorang pria tua, marah dan melempar majalah diatas meja, dihadapan sekretarisnya.“Andre! Bisa kau jelaskan ini? Kenapa anak itu selalu saja membuat masalah? Film porno?” Surya Bagaskara, pria berusia 56 tahun. Dia memarahi sekretarisnya, Andre, yang berusia 30 tahun.“Maafkan saya, Pak. Saya juga baru mendapat berita seperti itu.” Andre membungkuk berusaha mereda kemarahan atasannya.Surya duduk kembali di kursi sambil menarik dasinya. Karena tadi dia marah-marah, membuat urat sarafnya menegang dan kesulitan bernapas.“Cari dan selidiki wanita itu! Bawa dia dihadapanku, aku ingin bertemu dengannya. Kau dengar kan, Andre?”“Iya Pak. Saya akan segera membawanya.”“Hah… keluar sekarang.”“Baik Pak.” Andre pun keluar, meninggalkan bos-nya sendiri yang masih marah.“Hhuuff… anak itu tidak pernah bisa mengerti apa yang dia lakukan. Pergi dari rumah, malah membuatnya menjadi seorang pria brengsek! Kalau saja dia patuh padaku, dia bisa menggantikan posisiku sekarang.”
Vanesha yang pergi meninggalkan Raditya karena malu, sendirian kearah parkiran mobil.“Kenapa Tuan Raditya tidak bisa mengerti sedikit saja. Aku… aku tahu kalau aku ada hutang dan harus aku bayar, tapi… haruskah aku dipermalukan seperti itu? Sekarang, semua orang, bahkan sutradaranya saja sudah melihatku didalam kamar, mereka pasti mengira, akulah yang merayu Raditya!” Vanesha bicara sendiri setelah duduk di kursi kemudi mobil.Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba ada suara, yang membuatnya mengangkat kepala dan melihat dua orang pria berseragam ala kantoran berdiri disamping mobilnya.‘Siapa mereka?’Vanesha hanya menurunkan sedikit kaca jendela mobilnya, asalkan suara mereka dan dia bisa terdengar.“Permisi, maafkan kami. Apakah anda Nona Vanesha? Asisten dari Tuan Raditya?”“Ya? Memangnya ada apa ya Pak?”“Atasan saya ingin bicara dengan anda, mengenai tuan Raditya. Bisakah anda meluangkan waktunya sebentar?” pinta mereka dengan ramah tanpa meninggikan suara.“Maaf Pak, saya gak kenal. Kalau m
Raditya tidak tahu kalau Vanesha berada diantara mobil-mobil yang parkir. Tapi, Vanesha dan Surya melihat kebingungan Raditya yang mencarinya.“Kau lihat itu? Dia begitu panik, pasti dia sedang mencarimu.”“Tentu saja dia panik mencari saya, Pak. Saya kan asistennya. Saya juga harus mengemudikan mobil untuknya kemanapun tujuannya. Sekarang, biarkan saya pergi. Karena dia akan semakin marah kalau saya belum datang. Dia ingin pulang dan berisitirahat.”“Baiklah, kau sudah bisa pergi. Tapi, kau harus berjanji padaku.”“Janji? Janji yang seperti apa yang anda inginkan?”“Jangan katakan padanya tentang pertemuan kita. Dan berikan aku nomor ponselmu. Jika ada yang ingin aku bicarakan padamu, maka kau harus menerima panggilan teleponku.”“Maaf Pak, saya tidak bisa. Anda bermaksud saya menjadi mata-mata untuk anda kan? Saya tidak sekejam dan setidak tahu diri itu pada majikan saya.”“Baiklah. Kalau begitu aku akan menculik ayahmu yang berpenyakitan itu.”“Apa yang ingin anda lakukan padanya?
“Maafkan aku, Kak, Ayah. Aku… aku tahu kalau aku sudah banyak melakukan kesalahan pada kalian berdua.” Desi menangis dan minta maaf, berlutut melipat tangan didepan Vanesha dan Bayu.“Desi, apa yang kamu lalukan?! Ayo bangun!” Vanesha tidak tega ada orang yang berlutut padanya, walau orang itu pernah bersalah padanya, begitu juga dengan Bayu.“Desi, kami sudah memaafkanmu, Nak.” Bayu, begitu tulus dan ikhlas. Dia mengusap kepala Desi, “Tidak pernah sekalipun Ayah membeda-bedakan kau dan Vanesha, kalian bertiga, sama, adalah puteriku. Sekarang, asalkan kamu sudah baik-baik saja sekarang, itu lebih baik daripada kamu terpisah dari ibu dan saudaramu dan tidak punya tempat tinggal.”“Desi, apa kamu sudah makan? Mau Kakak bikinkan makanan?”“Gak usah Kak. Kakak juga kan, baru pulang bekerja, aku gak mau merepotkan Kakak.”Kkrryyuukkk…kkryyuukkk…“Gak kok, gak merasa direpotkan. Tuh, perutmu sudah bunyi. Tunggu sebentar ya, Kakak buatkan makanan.” Vanesha pergi ke dapur, lalu Desi mengikuti
Setelah menutup pintu, tidak ada gangguan lagi sehingga raditya bisa mencumbui Vanesha sesuka hatinya.Brugh!“Aduh…” dengan sengaja, Raditya mendorong Vanesha hingga jatuh dan berbaring di tempat tidur. Ketika dia ingin bangkit, Raditya sudah menahannya dengan berada diatas tubuhnya.“Tuan, lepaskan saya. Di luar, ada pak Hendrik.”Tapi Raditya tidak perduli. Dia menurunkan posisi tubuhnya untuk mencium Vanesha.‘Akh… sial. Apakah memang setiap hari, ‘Itunya’ akan selalu berdiri seperti sekarang?’ ucap Vanesha didalam hati. Dia merasakan ada tonjolan yang menyentuh perut bawahnya.“Buka mulutmu!” kata Raditya, mengarahkan wajah Vanesha, memegang kedua pipinya agar tidak dialihkan.“Tuan, sekarang anda harus segera berangkat ke lokasi syuting. Apa tidak bisa ‘Tradisi’ anda ini tidak kita lakukan dulu? Mengingat waktu anda-“Aku bilang buka mulutmu! Ingat! Kau sudah jadi milikku karena hutangmu. Sudah berapa hari ini, kau selalu melewatkannya.”“Tapi anda selalu melakukannya di lokasi
Diam-diam, tanpa sepengetahuan Raditya, Vanesha dan Surya Bagaskara berkirim pesan.‘Aku sangat takut kalau ketahuan oleh Radit.’ Vanesha melihat dan harus mengetahui keberadaan Raditya, ‘Untunglah dia masih syuting. Lagipula, kenapa orang ini menanyakan kabar anaknya sendiri padaku, bukannya langsung bertemu dan bicara dengannya?’Ddrtdd… drttdd…“Aduh, padahal aku sudah bilang, gak usah menghubungiku, tapi kenapa dia malah menghubungiku sih?”“Hallo Pak?” Vanesha berpindah tempat untuk menjawab panggilan dari Surya, ayah dari Raditya. Setiap gerak-gerik Vanesha, selalu Radit pantau, ‘Dengan siapa lagi dia bicara?’ pertanyaan yang ada di dalam pikirannya.“Iya Pak, sekarang saya sedang menemani tuan Raditya syuting.”“Iya, dia sehat dan baik-baik saja.”“Tidak, pak Hendrik sudah membantu dan menangkap si penguntit itu.”“Pak, maafkan saya, tapi saya harus menutup teleponnya, saya takut kalau tuan Raditya curiga dan memarahi saya.” Vanesha masih melihat kalau Raditya sedang syuting, d
“Hey, bangun tukang tidur.” Raditya membangunkan Vanesha atas desakan Bayu.“Mm… makanannya ada di dapur…” oceh Vanesha yang masih dalam keadaan tidur.“Apa yang kau katakan? Cepat bangun, ada telepon dari ayahmu!”“Apa? Dari Ayah?” Vanesha bangun tiba-tiba, dan mata Raditya melihat jaket yang tadi Vanesha pakai terjatuh dibawah.“Ambil dulu jaketku itu. Keterlaluan sekali, setelah memakainya sampai puas, kau malah membuangnya? Tidak sopan.”“Ah… maafkan saya Tuan.” Setelah mengambil jaket tersebut, “Mana, berikan ponselnya pada saya, Tuan.”“Ck, ini! Kau terlalu terburu-buru.” Tapi Radit malah masuk ke dalam mobil, “Anda… tidak syuting lagi?” tanya Vanesha karena terasa canggung.“Jangan hiraukan aku, bicara saja pada ayahmu yang dari tadi mengomel. Aku mau tidur dulu.” dengan melipat tangan dan memejamkan mata, padahal dia sengaja disana untuk mendengar apa yang Vanesha bicarakan.‘Apa aku turun saja dan tidak mengganggunya yang lagi tidur?’“Jangan pergi ke mana-mana karena aku tid
“Iya Inayah, aku sudah membeli pesananmu, aku akan mengantarkannya sekarang.” Hendrik baru keluar dari mall yang tidak jauh dari café tempat Vanesha bertemu dengan Surya.Langkah kakinya berhenti ketika melihat seorang wanita yang dia kenal keluar dari tempat itu, ‘Itu… Vanesha kan? Apa yang dia lakukan disini? Apakah bersama Raditya juga?’“Hendrik? Hendrik, kamu kenapa?”“Maafkan aku Inayah. Hanya saja, sepertinya aku melihat Vanesha tadi, tapi dia tidak menyadari aku di sini.”“Memangnya kenapa kalau Vanesha dari sana? Mungkin ada yang dia beli juga karena permintaan Raditya.”“Hm… aku rasa bisa jadi. Baiklah, Inayah, mungkin aku sedikit agak lama bertemu denganmu ya, karena aku ingin bicara dulu dengan dia.”“Baiklah, tidak apa-apa.”“Terima kasih ya, sampai jumpa Sayang.”Setelah menutup teleponnya, Hendrik berjalan ingin menghampiri Vanesha sambil memasuki ponsel kedalam saku jas-nya, ‘Dia benar-benar sendiri.’“Vanesha!” Hendrik memanggil Vanesha yang hendak masuk ke dalam mobi
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da