Ben menikmati saat-saat seperti ini. Di mana seorang Radella terlihat gelisah, gusar, karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Hanya orang bodoh yang tidak bisa melihat perasaan Ella padanya. Meski Ben sendiri juga sebenarnya terlambat menyadari tanda-tanda itu. Tuhan benar-benar membantunya! Kini, Ben hanya perlu membuat Ella semakin menginginkannya, semakin bergantung padanya, dan tidak bisa tanpa dirinya. Kedengarannya terlalu berlebihan? Well, Ben tidak peduli dengan kenyataan itu.
“Kau pengawal baru?”
Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang seluruhnya digelung, dan berpakaian sangat rapi yang menyambut Ella tadi, kini berbalik menatap Ben dengan ekspresi penuh selidik.
“Biasanya Dave dan Lucas yang mengantar nona kemari.”
Ben mengatur ekspresinya agar tampak sedikit lebih ramah. “Ah, iya, aku pengawal baru. Max,” ujar Ben memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.
Wanita itu ters
Ella menatap pintu ruang kerja ayahnya yang sudah kembali tertutup. Hening seketika kembali menyergapnya setelah kepergian Max. Dulu, Ella sering menghabiskan waktu menunggu makan malam di ruangan ini. Menemani ayahnya mempelajari banyak dokumen, sedangkan dirinya akan duduk di sofa dengan setumpuk boneka dan buku cerita. Biasanya mama akan ikut masuk dan menyuruh Ella untuk mandi, tapi sering kalinya akan berakhir dengan mama membacakan buku cerita untuk Ella. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan, ketika kedua orang tua Ella pergi untuk selamanya.Ella masih ingat hari itu, ketika dirinya terbangun di rumah sakit dan Eden terlihat begitu cemas. Di hadapannya James tersenyum, lalu menghampiri dan memeluknya erat, seraya mengabarkan bahwa mama dan bibinya menjadi korban kecelakaan. Belum juga Ella mencerna informasi itu, beberapa bulan kemudian, papa juga pergi meninggalkannya. Sejak saat itu, hanya Eden yang selalu menjaganya, sedangkan James sibuk bekerja mempertahankan b
“Tentang alasanmu dan ayahmu menerima pernikahan ini.”“Kau bodoh atau memang benar-benar tidak tahu?” cibir Ella. “Seperti yang pernah kau katakan, jika keluarga kita bersatu, maka tidak akan terkalahkan. Lagipula, ide menikah denganmu tidaklah terlalu buruk bila dibandingkan aku harus tidur jalanan.”“Maksudmu, James akan mengusirmu jika kau menolak pernikahan ini? Kau terlalu berlebihan, El.”“Kau sendiri? Apa alasanmu menerima pernikahan ini?” tanya Ella balik. “Jangan bilang karena cinta. Aku tidak percaya itu.”“Bagaimana jika itu memang benar adanya?”“Ayolah, Prince! Hentikan sandiwaramu. Kita masih sangat muda untuk pernikahan ini, tapi memang kepentingan bisnis lebih utama, ‘kan? Apa Loshen sedang di ambang kebangkrutan, sehingga membutuhkan bantuan Softucker?”Prince tertawa mendengar pertanyaan Ella, dan tawanya itu sungguh menye
Ben menarik napas panjang dan tatapannya lurus pada langit-langit kamar yang terasa asing baginya. Biasanya sarang laba-laba atau atap yang hampir roboh akan menjadi pemandangan rutinnya setiap kali ia membuka mata, tapi kali ini berbeda. Tidak ada hal-hal menjijikkan, hanya atap kayu yang kokoh dan sebuah lampu gantung. Sisi ranjang di sebelahnya yang kosong sudah terasa dingin. Itu berarti Ella sudah cukup lama meninggalkannya. Di luar masih gelap, dingin, dan sepertinya gerimis. Menikmati suasana yang menenangkan seperti ini memang pas dengan ditemani secangkir minuman hangat. Mungkin selain itu, juga mengulang kegiatan panas dan penuh gairah yang beberapa saat lalu ia lakukan bersama Ella. Memikirkannya saja membuat Ben ingin tertawa keras sekali. Ia masih tidak menyangka akan berakhir kembali bercinta dengan Ella. Itu adalah satu dari sekian banyak hal yang diinginkannya, tapi berada di bagian bawah daftarnya. Namun, jika bercinta bisa membuat Ella tergila-gila padanya, itu juga
“Hari ini sepertinya akan turun salju,” celetuk Vernon.Ben menoleh ke luar kedai dan keningnya mengerut. “Ini masih musim gugur, lagipula di luar matahari bersinar terang.”“Aku hanya menyindirmu, Bodoh! Karena kau sudah lama tidak datang.”Vernon menggelengkan kepalanya, kehabisan kata-kata melihat tingkah Ben. Pria itu sudah beberapa hari tidak datang ke kedai. Ia sudah tidak serajin dulu mengunjungi Vernon. Konon, Ben sedang menikmati masa-masa penuh bahagia dengan kekasih barunya.“Kau sudah mendapatkannya. Lalu apa rencanamu selanjutnya?” Vernon menuang vodka ke gelas Ben. “Aku dengar desas-desus dari pelanggan, kalau pernikahan dua keluarga itu akan diadakan bulan depan. Benarkah itu?”Ben mengangguk.“Kurasa, Ella hanya butuh adrenalin dan bersenang-senang sebelum terkurung di rumah Loshen. Kau jangan senang dulu, Ben. Bisa saja yang kukatakan benar, ‘kan?”
Matahari sudah tenggelam saat Ella dan Max melaju pulang. Mereka sempat mampir di swalayan untuk membeli kebutuhan harian yang mulai habis. Sepanjang perjalanan, mereka masih mengobrol tentang masa kecil. Tidak banyak yang bisa Ella ceritakan pada Max, karena dirinya tidak begitu mengingat bagaimana rasanya memiliki orang tua. Tidak seperti Max, pria itu masih bisa menceritakan keseruannya bersama ibu dan ayahnya. Sedangkan Ella? Bisa mengingat sedikit tentang teater—yang katanya sering ia datangi bersama keluarganya—saja, itu sudah bagus. Lebih baik lagi, jika ia bisa menemukan jawaban tentang ingatan asing yang beberapa hari belakangan ini terus menghantuinya.Laju mobil tiba-tiba saja melambat dan Max terlihat kebingungan. Ia segera menepi dan langsung keluar mobil untuk memeriksa keadaan. Ia memutar ke bagian belakang mobil, lalu ke depan dan menemukan masalahnya. Ban mobil kanan bagian depan kempes.“Aneh,” gumam Max.“Ada apa?” tanya Ella sembari melongok keluar jendela.“Saat k
Ini adalah awal season 2 dari Pengawal Nona Muda ... Selamat membaca ... . . Grace menggeram pelan saat merasakan pijatan lembut di pundaknya. Dirinya sangat butuh pijatan ini, mengingat selama sepekan kemarin ia harus berjibaku dengan kesibukan di kantornya. Begitu Ella menelepon dan mengajaknya menghabiskan waktu di spa, Grace tidak menolak. “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grace sambil menunjuk lengan kanannya, agar mendapat pijatan sedikit lebih kuat. “Biasa saja. Ehm, membosankan.” Grace hanya menggumam sekali dan kembali diam merasakan nikmat pijatan terapis di tubuh bagian atasnya. Sedangkan Ella memilih perawatan manikur sambil sibuk membaca majalah mode. “Seandainya nasibku seperti dirimu, aku tidak perlu bekerja hampir seharian untuk mengurus bos tua yang cerewet,” keluhnya. “Setiap hari, aku hanya perlu ke salon, mal, atau pergi ke luar negeri untuk menghabiskan uang suamiku.” “Kalau bisa, dengan senang hati aku bertukar nasib denganmu.” Ella menutup majalahnya, men
“Apa aku tidak salah dengar?” Ella menggeleng. “Kau sudah sejauh ini. Jika aku menaikan kembali dosis obatmu, maka kau tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu, El. Semua proses harus diulang dari awal, jika tiba-tiba kau berubah pikiran lagi. Apa kau benar-benar ingin melakukannya?” “Sudah hampir setahun aku melakukan semua ini dan belum juga mendapatkan ingatanku kembali.” Ella menghela napas. “Aku lelah.” “Pikirkan baik-baik. Setahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak kemajuan yang sudah kau alami. Kau mengingat sebagian besar kenangan bersama orang tuamu dan itu adalah hal yang baik.” “Ya, tapi kau tahu sendiri, tidak hanya kenangan baik yang kembali dalam kepalaku, tapi juga ingatan mengerikan saat orang tuaku dibunuh!” gusar Ella. “Setiap malam aku selalu melihat tubuh orang tuaku terkapar, berlumuran darah di sana, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku… aku …” “Kau menyesal mengetahui kebenaran itu?” Ella menatap tajam kedua mata Dokter Peggy. “Kau
Ella terpaku di tempatnya berdiri saat ini. Dirinya masih tidak menyangka nekat untuk datang ke tempat yang benar-benar asing baginya. Bahkan mungkin lebih dari setengah penghuninya ingin menghabisinya. Tatapan Ella terus mengedar mengawasi keadaan sekitar. Tidak banyak orang berlalu lalang, beberapa mobil terpakir dengan rapi—termasuk mobilnya—, sejauh Ella memandang, hampir tidak terlihat batas ujung dari tembok merah ini. Ella hanya melihat dua menara yang menjulang di bagian ujungnya nun jauh di sana. Tepat di hadapannya, sebuah papan melengkung dengan ukiran huruf yang menyusun dua kata Penjara Blackford terukir di sana.Mungkin seharusnya Ella tidak berada di sini. Seharusnya ia menuruti saran Dokter Peggy untuk berlibur menenangkan pikiran, bukannya datang ke penjara untuk menemui Arian. Sialan! Ini semua bersumber dari pembicaraannya dengan Abby semalam. Wanita itu menceritakan bagaimana ia mengenal Arian dan kawan-kawannya, apa hubungan mereka, penyebab mereka berpisah, dan r
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap