Ini adalah awal season 2 dari Pengawal Nona Muda ... Selamat membaca ... . . Grace menggeram pelan saat merasakan pijatan lembut di pundaknya. Dirinya sangat butuh pijatan ini, mengingat selama sepekan kemarin ia harus berjibaku dengan kesibukan di kantornya. Begitu Ella menelepon dan mengajaknya menghabiskan waktu di spa, Grace tidak menolak. “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grace sambil menunjuk lengan kanannya, agar mendapat pijatan sedikit lebih kuat. “Biasa saja. Ehm, membosankan.” Grace hanya menggumam sekali dan kembali diam merasakan nikmat pijatan terapis di tubuh bagian atasnya. Sedangkan Ella memilih perawatan manikur sambil sibuk membaca majalah mode. “Seandainya nasibku seperti dirimu, aku tidak perlu bekerja hampir seharian untuk mengurus bos tua yang cerewet,” keluhnya. “Setiap hari, aku hanya perlu ke salon, mal, atau pergi ke luar negeri untuk menghabiskan uang suamiku.” “Kalau bisa, dengan senang hati aku bertukar nasib denganmu.” Ella menutup majalahnya, men
“Apa aku tidak salah dengar?” Ella menggeleng. “Kau sudah sejauh ini. Jika aku menaikan kembali dosis obatmu, maka kau tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu, El. Semua proses harus diulang dari awal, jika tiba-tiba kau berubah pikiran lagi. Apa kau benar-benar ingin melakukannya?” “Sudah hampir setahun aku melakukan semua ini dan belum juga mendapatkan ingatanku kembali.” Ella menghela napas. “Aku lelah.” “Pikirkan baik-baik. Setahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak kemajuan yang sudah kau alami. Kau mengingat sebagian besar kenangan bersama orang tuamu dan itu adalah hal yang baik.” “Ya, tapi kau tahu sendiri, tidak hanya kenangan baik yang kembali dalam kepalaku, tapi juga ingatan mengerikan saat orang tuaku dibunuh!” gusar Ella. “Setiap malam aku selalu melihat tubuh orang tuaku terkapar, berlumuran darah di sana, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku… aku …” “Kau menyesal mengetahui kebenaran itu?” Ella menatap tajam kedua mata Dokter Peggy. “Kau
Ella terpaku di tempatnya berdiri saat ini. Dirinya masih tidak menyangka nekat untuk datang ke tempat yang benar-benar asing baginya. Bahkan mungkin lebih dari setengah penghuninya ingin menghabisinya. Tatapan Ella terus mengedar mengawasi keadaan sekitar. Tidak banyak orang berlalu lalang, beberapa mobil terpakir dengan rapi—termasuk mobilnya—, sejauh Ella memandang, hampir tidak terlihat batas ujung dari tembok merah ini. Ella hanya melihat dua menara yang menjulang di bagian ujungnya nun jauh di sana. Tepat di hadapannya, sebuah papan melengkung dengan ukiran huruf yang menyusun dua kata Penjara Blackford terukir di sana.Mungkin seharusnya Ella tidak berada di sini. Seharusnya ia menuruti saran Dokter Peggy untuk berlibur menenangkan pikiran, bukannya datang ke penjara untuk menemui Arian. Sialan! Ini semua bersumber dari pembicaraannya dengan Abby semalam. Wanita itu menceritakan bagaimana ia mengenal Arian dan kawan-kawannya, apa hubungan mereka, penyebab mereka berpisah, dan r
“Ella!”Ben berteriak memanggil nama wanitanya, tapi semua sia-sia, karena mobil itu sudah melaju pergi meninggalkan Ben. Kini, hanya tersisa dirinya dan tiga orang pria yang mengelilinginya. Salah satunya mengeluarkan pisau—tidak, itu lebih mirip pedang—dan mengayunkannya ke arah Ben. Dengan sisa tenaganya, ia berguling menjauh, tapi ayunan pedang itu malah mengenai betisnya dan membuat luka terbuka di sana.“Cepat kita selesaikan!” perintah yang lainnya.Ben berusaha bangkit, lalu berlari menerobos rimbunan pepohonan. Ben tidak peduli lagi seberapa sakit dan perihnya luka menganga di kakinya. Hal yang paling penting saat ini adalah menyelamatkan diri, berlari sejauh mungkin meninggalkan orang-orang yang menyerangnya. Ben menerjang ranting-ranting pohon di hadapannya, ia terus berlari membelah pekatnya gelap malam di antara pepohonan. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan langkah-langkah cepatnya tidak terkejar.Sial!Hingga pada akhirnya Ben perlahan dipaksa menyerah oleh luka
“Kau sudah gila, Kim?”“Papa, itu adalah jalan keluar terbaik bagi semuanya.” Kim mendesah kecewa, melihat penolakan ayahnya akan usul gilanya. “Siapa yang akan mengurus Papa dan semua ini, saat aku tidak ada nanti?”“Jangan bicara seperti itu! Jangan bicara seolah-olah kau akan mati dalam waktu dekat.”“Bukankah memang benar adanya? Dua tahun adalah waktu yang lebih dari cukup, yang diberikan Tuhan padaku, Pa. Tapi Papa tahu sendiri, bahwa kondisiku tidak pernah benar-benar membaik.”“Kalau begitu, Papa bisa menulis surat wasiat yang berisi harta keluarga Wade akan disumbangkan seluruhnya setelah kita berdua tidak ada di dunia ini. Papa tidak bisa menyerahkan semua ini ke tangan orang lain, Kim. Para investor tidak akan mengerti. Papa memang menolong Nic, karena rasa iba, tapi permintaanmu sudah melampaui batas.”“Aku yakin, investor akan mengerti. Tapi jika Papa menjual semua aset lalu menyumbangkan semua hasil penjualan, bagaimana dengan para pekerja? Berapa ribu orang yang harus k
Setelah pengumuman pertunangan antara Nicholas dan Kimberly, pesta menjadi semakin membosankan bagi Ella. Semua orang kembali sibuk membicarakan tentang keberlangsungan bisnis masing-masing. Sekilas Ella mencuri dengar, bahwa keadaan ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Penyebabnya adalah perang dan bencana di belahan dunia lain yang membuat roda perekonomian terhambat. Menyebabkan barang-barang menjadi langka, harga mahal, dan kemiskinan meningkat.Meski tidak selalu mengerti dengan usaha yang dijalankan James dan Prince, tapi dari reaksi mereka setiap kali bertemu, Ella bisa membaca bahwa keadaan di luar sana juga sangat memengaruhi keuangan keluarga. Ella yakin, saat ini baik Softucker maupun Loshen, bukan lagi menjadi keluarga terkaya, mungkin sudah berada di nomor tiga atau bahkan lebih buruknya keluar dari lima besar.Namun, sepertinya keadaan berbanding terbalik untuk takdir Tuan Wade. Seorang pria botak di dekat Ella bahkan terang-terangan memuji keberhasilan Garret Wade yang
“Holyshit!” maki Grace sambil matanya menyipit memperhatikan dengan seksama sosok yang menjadi sampul majalah lokal Rotterfort. “Dia benar-benar mirip Max!”“Namanya bukan Max. Nama sebenarnya adalah Ben. Dan ya, dia memang Ben!”Grace mengerutkan keningnya, tapi perhatiannya masih pada foto di majalah. “Kau yakin? Max—maksudku Ben tidak setampan pria ini, Nicholas. Bahkan Max tidak memancarkan karisma yang menarik seperti Nicholas Wells ini.”“Aku sudah memastikannya. Dia memang Ben. Kalau kau bertanya pada Peter pun, ia akan menjawab bahwa itu adalah Ben,” yakin Ella sembari mengangguk ke arah Peter yang sedang melayani pelanggan.Kalimat Ella yang satu itu menarik perhatian Grace. “Bagaimana caranya? Kau …”“Singkirkan pikiran kotormu, Grace!” sergah Ella, seolah tahu apa yang dipikirkan sahabatnya ini. Meski tak ayal dengan memikirkan peristiwa kemarin malam berhasil membuat wajahnya kembali memerah. “Aku cukup memprovokasinya, lalu dia mengakui semua ucapanku.”Grace masih menata
Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya mobil yang menjemput Ella dan Grace berbelok memasuki sebuah pekarangan cottage mungil yang terlihat begitu asri dengan deretan pohon kelapa dan bunga-bunga yang tertata rapi di sana, lalu berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang supir membukakan pintu untuk mereka, lalu mempersilakan dua wanita itu masuk. “Selamat datang,” sambut Kim, lalu memeluk dan mencium kawan barunya. “Bagaimana perjalanannya?” “Sedikit membosankan, tapi champagne-mu cukup menghibur,” jawab Ella yang membuat Kim terkekeh. “Ayo! Aku ajak kalian berkeliling, sekaligus memberitahu hal-hal apa saja yang akan kita lakukan selama tinggal di sini.” Kim langsung menggamit lengan Ella dan Grace. “Oh, tolong masukkan langsung ke kamar mereka, Fred,” titah Kim pada supir yang sudah menurunkan barang-barang Ella dan Grace. “Benar-benar hanya kita di sini?” tanya Grace memastikan, saat tidak melihat siapa pun di sekitarnya.
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap