"Kau yakin, ini dia?"
"Ya. Saya yakin seratus persen, bahwa perempuan itu adalah Radella Softucker."
"Hm, fotonya tidak jelas. Kenapa justru pria ini yang menjadi fokus foto?"
"Itu ... itu, karena kami mendapatkannya dari unggahan seorang wanita. Kemungkinan, wanita itu adalah penggemar Gabriel Nielson."
"Kau tidak bisa mencari foto yang lebih baik? Kalau begitu, bagaimana aku bisa yakin kalau itu Ella? Bagaimana kalau kau salah sasaran?"
"Maaf."
"Cari info yang lebih pasti. Setelah itu, kau laporkan padaku."
***
"Kau langsung pulang?" tanya Ella pada Jensen, ketika mereka sudah sampai di rumah Kim lagi.Jensen mengangguk. "Lagipula ini sudah larut malam. Gabriel juga sudah lebih dulu pergi. Ada apa?" tanyanya, saat melihat wajah Ella yang nampak khawatir."Apa?""Kau ... sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Jangan bilang kalau sekarang kau berubah pikiran membantu Kim?"Ella menggeleng. "Bukan, bukan itu.""Kau memikirkan bagaimana caranya menghabiskan harta yang ditinggalkan ayahmu?" goda Jensen, mencoba menghibur.Ella terkekeh. "Ya, itu salah satunya.""D
Sudah hampir tiga jam Jensen menatap layar komputer di hadapannya. Jemarinya sibuk memuar tombol, menekan, keningnya mengerut, sesekali berdecak kesal, tapi masih belum menemukan yang ia cari dari rekaman cctv jalanan. Sejak ia memutar video rekaman semalam, ia tidak menemukan orang atau mobil siapa pun selain milik Ben yang mengarah ke peternakan, lalu berbelok memasuki pekarangan."Sampai kapan kau akan terus memeriksa rekaman itu?" tegur salah seorang rekan Jensen. "Itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Nicholas Wells adalah pelakunya.""Dia tidak mungkin melakukannya.""Kenapa kau begitu yakin? Dia punya motif paling besar dibandingkan seluruh warga Rotterfort untuk menghabisi anggota keluarga Softucker. Kau menangani kasusnya, 'kan? James Softucker? Radella Softuc
Ini sudah keempat kalinya Grace meneguk ludahnya dengan kedua matanya yang melihat waspada ke segala penjuru. Orang-orang banyak yang berkelompok, mereka berteriak, berlari tak tentu arah, bahkan ada yang tergeletak diam—mungkin sudah mati. Buku-buku jemarinya mengetat di setir mobil dan dalam hatinya cemas setengah mati menunggu Ella kembali ke dalam mobilnya.Ketika Ella muncul dari dalam gang yang tak jauh dari tempatnya parkir, Grace menyadari bahwa ini adalah sepuluh menit terlama yang pernah ia jalani. Buru-buru ia menyalakan kembali mesin mobilnya, membuka kunci pintu, dan begitu Ella sudah kembali duduk di sebelahnya, Grace langsung menginjak pedal gasnya."Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali? Apa kita perlu lapor polisi? Sebaiknya kita telepon Jensen!"
"Sekarang kau bisa jelaskan padaku, El?" tuntut Grace dengan kedua tangannya di pinggang serta menatap Ella tak percaya. "Jadi, kau mengajakku ke sana, untuk mendapatkan benda ini?" lanjut Grace sambil menunjuk sebuah pistol yang tergeletak di ranjang."Maafkan aku, Grace. Aku tidak memberitahumu lebih dulu.""Bagaimana kau bisa tahu tempat itu? Kau ... kau ..." Grace kehabisan kata-kata. "Kau bahkan tidak tahu letak toilet di mal. Bagaimana kau bisa tahu tempat kumuh itu?"Ella menghela napas. "Ben pernah mengajakku ke sana.""Ben?"Ella mengangguk. "Saat itu, dia mencari teman mendiang ayahnya, yang dia anggap sebagai salah satu penyebab kematian ayahnya."
Sidang Ben yang akan digelar besok lusa di pengadilan Rotterfort, tentu saja membuat Jensen hampir kehabisan waktu untuk menemukan lokasi Charlie dan Larry. Bahkan ia sampai tidak tidur berhari-hari demi mencari dua pria asing itu dan ia pun sudah sampai di tahap meminta bantuan koleganya yang paling menyebalkan di kantor, untuk membantu pencarian. Namun, sidang ini akan diadakan secara tertutup dan tanpa liputan media.Tentu saja keputusan ini tidak terlepas dari peran Ella yang mengajukan permohonan pada hakim agar masalah keluarganya tidak menjadi santapan publik. Ella tidak ingin memberi makan orang-orang yang lapar akan kehidupan keluarga Softucker. Sudah cukup mereka dijadikan bahan berita atas kasus-kasus besar yang terjadi di kota terkutuk ini."Hakim juga menyetujui permintaanmu dan Rosaline yang menolak untuk berada
Kim menekan bel di pintu di depannya beberapa kali, hingga akhirnya pintu itu terbuka dan wajah Prince menyambutnya. Pria itu nampak terkejut, tapi langsung tersenyum ramah."Kim, ada perlu apa?""A—Aku datang untuk menjenguk Ella.""Dari mana kau tahu Ella sedang tidak enak badan?""Dari suster di rumah sakit. Saat aku kontrol kesehatan kakiku, aku tidak sengaja mendengar mereka bergunjing tentang Ella.""Dia kelelahan, lalu pingsan," sahut Prince, lalu mempersilakan Kim masuk. "Aku akan panggilkan dia.""Oh, Prince, omong-omong kenapa kau di sini? Kau kembali bersama Ella?"
"Kau yakin ingin melakukannya? Ini bukan lagi kau menginginkan keadilan untuk Nicholas. Kali ini, nyawa Ella bisa terancam, begitu pun dengan bayinya.""Aku tidak peduli dengan mereka. Aku akan gunakan informasi ini untuk menyelamatkan Nicholas!""Bagaimana caranya? Kau pikir James akan setuju dengan tawaranmu?""Tidak ada salahnya mencoba. Ini adalah jawaban Tuhan atas doa-doaku untuk membebaskan Nicholas dari ancaman James.""Kau pikir begitu? Ayolah, kau tidak mungkin benar-benar akan melakukannya, 'kan?""Mengapa tidak?""Mengapa tidak? Sudah berapa kali kukatakan, apa akibat yang bisa terjadi dari per
"Ternyata kalian tidak sebodoh yang kukira," ucap Dave dengan senyum mengejeknya untuk Ella dan Grace yang kembali terduduk di hadapannya. "Kupikir, kalian berdua hanya dua nona manja yang bahkan hanya bisa menangis saat keinginannya tidak dituruti.""Kupikir kau mengenalku, Dave.""Jangan memancingku, Nona." Dave maju mendekati Ella. Ia mencengkeram kuat pipi Ella. "Jika kau berani sekali saja meremehkanku, maka aku akan langsung menghabisimu.""Benarkah?" ejek Ella, lalu meludah ke wajah Dave. "Kau hanya seorang pengecut, Dave."Satu tamparan keras langsung diberikan Dave untuk mantan nona majikannya itu. Ia menarik paksa tubuh Ella dan mendudukannya di kursi.
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap