"Ternyata kalian tidak sebodoh yang kukira," ucap Dave dengan senyum mengejeknya untuk Ella dan Grace yang kembali terduduk di hadapannya. "Kupikir, kalian berdua hanya dua nona manja yang bahkan hanya bisa menangis saat keinginannya tidak dituruti."
"Kupikir kau mengenalku, Dave."
"Jangan memancingku, Nona." Dave maju mendekati Ella. Ia mencengkeram kuat pipi Ella. "Jika kau berani sekali saja meremehkanku, maka aku akan langsung menghabisimu."
"Benarkah?" ejek Ella, lalu meludah ke wajah Dave. "Kau hanya seorang pengecut, Dave."
Satu tamparan keras langsung diberikan Dave untuk mantan nona majikannya itu. Ia menarik paksa tubuh Ella dan mendudukannya di kursi.
Rotterfort digemparkan dengan kabar penemuan mayat wanita korban pembunuhan di sebuah gudang kosong. Seluruh surat kabar lokal memuat berita tentang peristiwa pembunuhan itu. Tak terkecuali dua TV di ruang makan Blackford yang terus menanyakan berita pembunuhan sadis itu. Berita miring semakin tidak terbendung, tatkala mereka mengetahui pasti di mana lokasi dan identitas korban. Radella Softucker ditemukan tewas dengan wajah yang hampir tidak dikenali.Siapa yang menduga bahwa hidup seorang Nona Muda Kaya begitu mengenaskan. Bahkan tidak sedikit orang-orang yang menganggap wanita itu sebagai pembawa sial. Lihat saja semua peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Kematian orang tuanya, neneknya, dan sekarang dirinya sendiri. Hingga akhirnya membuat orang berpikir bahwa keluarga ini benar-benar sedang dikutuk, karena perbuatan mereka di kehidupan yang lalu. Keluarga itu benar-benar
Ben membuka mata dan mendapati seorang polisi duduk di samping ranjang rawatnya sambil membaca sebuah buku. Di saat itu pula dirinya menyadari bahwa tiga pil yang diberikan oleh kawan satu selnya tidak mempan untuk mengundang malaikat maut datang kepadanya. Ini sungguh memalukan!"Kau sungguh beruntung, dibawa kemari di waktu yang tepat," ucap si Polisi."Kenapa kalian tidak membiarkanku mati?""Kenapa kau ingin mati? Karena hukuman lima belas tahun? Kau tahu jika hukuman itu akan terpotong jika kau berkelakuan baik. Kau ahli dalam hal itu, 'kan?""Ya, kau benar. Setidaknya kalian memberiku makan di dalam penjara, jadi aku tidak perlu kelaparan," sahut Ben. "Bisakah aku di sana sampai mati?"
Ben meletakkan nampan makan malamnya di meja, matanya menyisir sekitarnya. Sudah hampir satu bulan Ben merasakan ketenangan dalam kehidupan penjaranya. Tidak ada lagi gangguan dari anak buah James, karena sang Pemimpin itu sudah mati di kursi listrik. Mungkin sesekali mereka mendatangi Ben, tapi tidak untuk mencari keributan. Hanya sekedar mengobrol biasa, seolah tidak ada sejarah buruk di antara mereka. Ben tidak heran dengan sikap mereka itu, karena Ben pernah mengalaminya selama 15 tahun.Namun, tidak dengan pria tampan yang duduk di pojokan, menunduk, dan menatap ke nampan makannya yang sudah kosong itu. Sudah hampir sebulan pula ia berada di sini. Seorang mantan pengacara, karena rasa cintanya pada seorang perempuan, harus berakhir mendekam di penjara. Ya, Ben tidak akan menyalahkannya, karena Ben juga melakukan hal yang sama.Ben beranjak setelah menghabiskan porsi makannya, berjalan menghampiri Gabriel yang masih diam di tempat favoritnya itu. Pria itu tersenyum kecil sebagai s
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap