Dari sepulang bertemu dengan Hana, hingga dirinya tiduran di tepi kolam renang, tidak terlihat kelebat Aresha. Biasanya ada meski tidak pernah saling sapa. Lebih tepatnya Herdion lah yang tidak ingin menegurnya. Abai akan pandang sang istri yang menyimpan raut sedih dan lara. Bukan tega dan tidak peduli, hanya harga diri masih terluka sebagai laki-laki. Sebenarnya mungkin rindu, ingin menyentuh dan memeluk. Namun, sekali lagi amarah jiwa masih meraja dalam dada dan kepala. Antara ragu, percaya dan curiga, membuat Herdion seolah malas untuk bersikap hangat dan perhatian semula pada istrinya. Ini hanyalah sementara …. Sambil ingin diselidiki sendiri serta berharap akan petunjuk nyata dariNya. Hingga mendapat pencerahan dan membuatnya merasa yakin. Bahwa istrinya memang setia dan tidak bersalah. Atau pengirim pesan bergambar itulah yang culas.“Fiq! Sudah maghrib, masuk! Shalat sana, terus turunlah lagi, makan!”Suara Siti Yasmin dari pintu samping melengking. Membuat sang putra yang
Pagi-pagi benar, Herdion telah bersiap pergi kerja. Merasa jengah dengan istrinya yang seringkali menangis dengan isak dan sedan yang sesekali terdengar. Meski rasa sesal juga terasa, tetapi setan gila masih berkuasa di jiwanya. Sebenarnya juga merasa iba, tetapi enggan.“Aku ada pertemuan penting pagi ini. Maafkan aku ...,” pamit Herdion yang ternyata masih menyimpan kebaikan. Tidak sekadar pergi dan mengabaikan.Aresha tidak menyahut. Terus rebah miring memunggungi suaminya. Masih menangis, bahunya tampak berguncang kian kencang. “Kuminta bersabarlah, Aresha. Seperti inilah mungkin caraku melampiaskan marahku. Sekali lagi, maafkan,” ucap Herdion lagi.Kemudian berbalik, berjalan melewati pintu dan keluar kamar. Tidak lagi menunggu tanggapan Aresha atau sekedar menyentuhnya. Hati lelakinya sungguh keras. Trauma akan luka cinta di masa lampau, membuat Herdion tidak mudah memafkan. Sebanding akan pertahannanya dalam menolak godaan wanita. Setianya sama sekali tidak diragukan.Ini masi
Sekretaris Hima baru saja memberitahu bahwa Nyonya Hana menunggu dan ingin makan siang bersama di rumah makan milik Herdion. Tidak jauh dari lokasi hotelnya ini di Pantai Marina. “Aku akan pergi ke restoranku untuk makan dan menemui Hana, Sekretaris Him. Bgaimana jika kau juga ikut?” Herdion berbicara setelah memikirkan cukup lama. Merasa enggan setelah kejadian semalam. Hana terang-terangan meminatinya.“Baiklah, aku akan menyertaimu, Tuan Fiq,” sambut Hima yang langsung mengiyakan. Itu adalah kode dari sang atasan jika sebenarnya perlu ditemani.“Apa tawaran investasinya kamu ambil, Fiq?” Hima berbicara sambil berjalan menuju mobil bersama Herdion. Seorang pegawai hotel baru saja menyiapkan kendaraan di teras lobi.“Syaratnya terlalu berat, Him. Bukan berat lagi, tetapi tidak mungkin akan aku penuhi,” ucap Herdion dan mulai memajukan mobilnya. “Apa syarat dari dia, Fiq?” tanya Hima sambil melepas kaca mata beningnya yang tebal.“Tidur, menidurinya hingga ada anak. Kurasa jika kuam
Herdion tiba di pantai, lebih tepatnya di depan area kolam pancing dalam waktu lima hingga sepuluh menit saja. Banyak orang berkerumun di sana. Menyaksikan jejak-jejak penculikan dari seorang perempuan lemah lembut. Hingga tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti.Herdion mendapati Siti Yasmin dengan tangisan pilu. Suster Lia tengah menggendong Venus yang terlihat pucat pasi. Juga ayahnya, Yunus Herdion yang bermata merah dan basah. Orang-orang di sana coba berspekulasi dan menenangkan keluarga itu.“Bagaimana Aresha bisa hilang, Ma?!” tanya Herdion keras.Siti Yasmin tidak mampu lagi berkata-kata. Hanya air mata yang meluah akan apa isi hati. Kian tersedu tanpa mampu mengangkat wajah pada sang putra.“Suster Lia, ceritakan, bagaimana?!” Herdion berpaling pada Lia dan Venus yang mulai rewel. Tampak ingin ikut sang paman, tetapi diabaikan.“Kami … habis belanja snack di kios depan itu. Saya jalan di depan sama Venus. Kak Aresha di belakang. Tahu-tahu beberapa orang membawanya d
Julian tidak juga menyentuh kian jauh. Begitu kesalnya, Aresha selalu akan muntah setiap didekati dan dipeluk. Wajah yang pucat dengan suhu tubuh sangat penas membuatnya jadi bimbang. Antara ragu, percaya dan gelisah. Khawatir juga jika terjadi apa-apa dengan wanita yang sedang sangat didamba.“Jangan bohong, Sha! Kau pikir aku bodoh, percaya dengan ancamanmu?! Lihat saja setelah kau mandi, habis! Kau akan mengandung anakku!” Julian melengking kesal. Rasa hasrat terus menggebu, tetapi Aresha bersikap menolak dengan cara meresahkan sebegitu.“Stop di sini, Julian! Aku bisa sendiri!” hardik Aresha. Julian telah melepaskan ikatan, kini mengantar Aresha ke kamar mandi. Memaksanya untuk membersihkan diri dan mandi. “Masuklah. Jangan coba berbuat yang tidak-tidak, Sha.” Julian berdiri di depan pintu menunggu.“Kau sadar sudah berbuat jahat dan menyakitiku. Hingga kau takut aku bunuh diri, kan?! Sayangnya, aku sangat mencintai suamiku dan rasa cintaku ini akan membuatku bertahan. Bukan se
Herdion mondar mandir di teras rumah dan sama sekali tidak tenang. Meski sudah dini hari dan sebentar lagi subuh, mata sama sekali tidak merasa mengantuk. Bukan hanya dirinya. Orang tua pun baru saja masuk kamar setelah lelah menemani. Mereka sama-sama galau dan sama sekali tidak mengantuk.Memikirkan Aresha yang belum ada titik terang juga di mana rimbanya. Merasa demikian gagal sebagai suami yang harusnya melindungi. Tidak menyangka jika mantan kekasih Aresha demikian gelap mata.Ponsel Herdion berdering nyaring di seantero teras rumah. Benda yang dia letak di atas meja teras segera disambarnya.“Bagaimana, Him?” Herdion mengangkat panggilan berdering yang seolah tidak sabar tersambut.Pria penuh gusar itu terdiam serius dan menyimak.“Shit! Begitukah?!” serunya pada Hima di seberang.Herdion terlihat menyimak kembali bicara sekretaris dalam talian. Sesekali mendongak dan meraup wajah berulang-ulang. Terlihat amarah di wajahnya yang tegang dan memerah. “Baiklah, Him. Minta Ari unt
Hisam baru keluar, kembali dengan membawa empat kotak nasi dan mereka pun makan pagi bersama di lobi. Sambil mengamati, barangkali Hana kembali ke apartemen pagi ini. "Apa wanita dengan nama Hana belum terlihat datang, Bang?" tanya Hisam. "Belum, Sam. Aku benar-benar tidak tenang. Jika tidak demi mendapat tenaga, aku tak sedap makan, Sam," ucap Herdion lirih."Aku paham perasaanmu, Bang Fiq. Kamu adalah suaminya. Aku yang orang lain saja sangat khawatir dengan keadaan Aresha saat ini. Mudah-mudah segera kita temukan dan tidak terjadi apa-apa padanya, Bang." Hisam kemudian memberesi sisa sampah makan mereka dari meja."Terima kasih, Sam. Maaf, pernah membuatmu kecewa ...," ucap Herdion dengan menatap Hisam. Merasa bersyukur memiliki saudara seperti lelaki tampan itu yang tulus."Tidak, Bang. Jangan bahas masalah itu lagi. Sekali lagi semua hanya kembali pada takdir dan jodoh." Hisam tersenyum dan berdiri. Membuang kotak-kotak kosong ke tempat sampah.Kedua rekan bodyguard, seorang ba
Wanita yang tidur nyenyak di atas pembaringan telah meminum obat ke dua kali dan suhu tubuhnya telah turun. Bukan benar-benar dingin, hanya kembali hangat dan normal.Julian juga berhasil memaksanya untuk makan bubur beberapa kali meski sedikit saja ditelan. Julian tidak mungkin melakukan semua itu sendiri. Namun, seorang asisten rumah wanita berbangsa Melayu dengan siaga pun membantu.Tidur nyenyak Aresha bukan sebab makan obat melulu dan kenyang, melainkan Julian dengan terpaksa bersedia menjauh darinya. Measa sungguh kesal, Aresha akan terbangun dan mengancam muntah setiap kali didekati. Antara percaya dan tidak, yang dipilih JuLian sementara ini hanya sekadar menuruti.Perasaan Julian sesungguhnya berubah campur aduk. Perlahan ada sesal menyelip dalam dada, iba dan merasa bersalah. Hanya egonya sebagai lelaki yang sudah terlanjur basah melakukan keinginan, maka pantang mundur dan tidak akan dikembalikan Aresha. Begitu gengsi dirinya!Wajah cantik sedikit pucat yang sesaat tadi tid
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw