"Ehemm ..!"Aresha dan Herdion sama-sama membuang muka saat Hisam sengaja berdehem pada mereka.Herdion kembali melanjutkan makan dengan tenang tanpa merasa berbuat kesalahan sedikit pun. Sedang Aresha terlihat canggung dan gugup. Namun, sebagian orang di sana menganggap gadis itu salah tingkah sebab diminta berdansa dengan Hisam."Itu ide yang sangat bagus. Kurasa Hisam dan Aresha akan menjadi pasangan dansa yang serasi. Prianya sangat gagah dan tampan, wanitanya demikian menarik dan jelita. Mereka akan menjadi pengiring Herdion dan Miana yang sepadan." Pak Yunus Herdion yang terus menyimak dengan saksama berkomentar.Maka disepakati jugalah akhirnya. Aresha dan Hisam wajib turun mengiringi Miana dan Herdion saat dansa. Hal itu disambut antusias oleh Nur Fatimah. Hisam pun menyanggupi dengan wajah sangat cerah."Permisi ....Selamat malam, Pak!" Seorang lelaki pegawai hotel datang menghampiri Herdion dengan sopan."Ada apa, Ari?" tanya Herdion menyambut. Sedikit menoleh pada Ari yang
"Ari ...!" Herdion berseru pada pegawai kepercayaaan. Ari berhenti dan berbalik. Mendekati Herdion yang tegak berdiri di tempat menunggunya."Ada apa, Pak ...?" tanya Ari siaga."Jangan empat menit. Perpanjang menjadi tujuh menit, Ari ...!" Herdion berbicara dengan tegas. Sepertinya sedang menyampaikan hal sangat penting."Siap, Pak ...!" sahut Ari tidak kalah tegas. Herdion mengangguk. Merasa puas dengan keloyalan Ari yang tanpa banyak tanya.Tidak ada lagi yang disampaikan. Ari pun undur diri. Meninggalkan sang tuan yang juga berjalan menjauh nenuju ke meja di barisan paling depan.Kehadiran kedua orang tua Aresha menambah riang suasana. Mereka duduk di tiga meja yang saling didekatkan. Keluarga Hisam, keluarga Herdion dan keluarga Aresha duduk bergabung berhampiran.Lebih menarik, adiknya Aresha pun diajak turut serta. Entah bagaimana, Alya dan Taufiq tampak sudah akrab dan memilih duduk berdua yang jauh di meja sebelah. Hingga mereka menggunakan empat meja pribadi di barisan palin
Dalam kegelapan yang gulita, Aresha membawa kedua kaki mengikuti tarikan tangan di pinggangnya. Tidak jauh, hanya tempat lebih lapang dan sedikit menjauh dari pusat latar dansa. Sayup terdengar suara Hisam yang memanggil namanya dengan lirih.Sosok itu telah berhenti dan menahannya. Tangan yang terasa kokoh dan keras, telah memeluk di kedua pinggang Aresha. Tubuh pemilik tangan bukan lagi sangat dekat, melainkan sudah merapat. Hingga hembus nafas hangatnya mengenai kening di pangkal hidung Aresha.Harum aroma sabun dari badan itu sudah sangat dihapal. Brand sabun mewah yang harganya sanggup menghabiskan upah gaji Aresha dalam semalam. Aresha menduga bahwa pemilik tangan besar yang sedang menempel di pinggang langsingnya adalah Herdion.Rasa di sendi raga perlahan lunglai. Detak jantung di dada semakin laju berdenyut. Aroma harum sabun kian berhembus dan memenuhi rongga dalam dadanya.Tangan itu tidak diam. Telah bergerak mengelus di tubuh belakangnya. Dari usap memutari punggung hingg
Lampu menyala terang benderang semula disertai bunyi musik yang serta merta kembali berputar. Semua saling memandang lega dengan berbagai ekspresi. Tertawa, mengulum senyum dan bahkan wajah cemas.Bersyukur sekali, mati lampu selama tujuh menit itu tidak membuat para balita dalam ruangan menangis. Hanya terdengar ringik sesekali tanpa sempat tersedu dan melolong. Demikian juga dengan Venus. Wajah cantik bayi itu hanya terlihat tegang dan siaga. Aresha menyangka jika Venus sudah mulai bisa hidup tanpanya."Aresha, bagaimana bisa kamu berdiri sangat jauh dariku? Aku berusaha mencarimu," ucap Hisam dengan raut menyesal. Mereka telah kembali ke meja dan berkumpul dengan keluarga."Iya, Pak Hisam. Rasanya lucu sekali. Tidak sengaja aku bisa terbawa arus tarikan hingga ke tepi," sahut Areesha dengan senyum lebar yang sebetulnya di dada terasa hambar."Maaf, aku tidak sigap mengambil tanganmu, Aresha," ucap Hisam masih tampak menyesal."Ah, itu tidak masalah, Pak Hisam. Aku justru mengalami
Kini sudah ada kursi baby pribadi yang dibelikan Siti Yasmin untuk Venus. Baby dan pengasuh telah diwajibkan untuk pergi ke meja makan bersama keluarga yang lain setiap tiba waktu makan."Kamu ini putri sahabat mama, Aresha. Jangan sampai mama memperlakukan kamu dengan tidak layak. Jika terjadi, sungguh akan sangat memalukanku," ucap Siti Yasmin menyambut. Menoleh pada gadis dengan wajah cerah berbinar meski tanpa sapuan make up di wajah mulusnya."Terima kasih, Bu," sahut Aresha tersenyum sambil duduk. Dia baru datang bersama Venus setelah senam pagi di taman dan mandi. Paling belakangan datang di antara Siti Yasmin, Yunus Herdion dan Syahfiq."Hei, Aresha. Kenapa matamu sangat sembab seperti itu?" tanya Siti Yasmin dengan memperhatikan kedua mata Aresha.Kini bukan hanya ibu rumah saja yang melihat. Pak Yunus dan Syahfiq Herdion juga ikut memandang menelisik."Benarkah, Bu? Mungkin sebab saya lambat tidur dan tadi pun terbangun buru-buru," sahut Aresha menjelaskan. Menyadari jika ke
Meeting singkat selama tiga puluh menit pun berakhir. Mereka sedang saling bersalaman. Terlihat Herdion sangat dihormati dan disegani oleh para peserta rapat yang bisa jadi seluruh dari mereka adalah pekerja di bawahnya.Pria itu terlihat paling mentereng di antara mereka di sana. Mencolok dengan paras kelewat tampan dan posturnya yang ideal. Aresha menduga pasti tidak kurang-kurang wanita yang berniat mengejar dan memilikinya. Bukan hanya Miana saja ....Kelebat sangka jika Herdion sempat berniat melamar, membuat Aresha kembali menyesali. Harusnya saat ini menjadi wanita yang merasa beruntung dan istimewa. Namun, peluang itu telah ditepis jauh dengan mudah begitu saja. Tidak disangka jika sekarang disadari akan sesal hatinya yang terlambat.Venus dibawa keluar dari ruang meeting oleh Herdion. Bayi itu menelungkup di pundaknya dan tidur meletak kepala di sana. Terlihat nyaman dan nyenyak. Sepertinya harapan pria itu agar Venus bisa tanpa Aresha pun terjawab. Herdion bisa mengcover pon
Aresha melangkah ke dalam kamar. Diikuti Hima yang berjalan di belakangnya. Mereka mendapati Herdion tidak sendirian. Ada seorang perempuan setengah baya di dalam kamar bersama pria itu."Aresha, dia ini adalah perawat resmi yang baru kubawa dari Rumah Sakit Besar Nagoya. Dia akan menggantikanmu menjaga Venus. Beritahulah apa-apa kebiasaan Venus dan apa pun yang wajib dia lakukan," ucap Herdion tegas dengan menatap Aresha sesekali. Pria itu seperti tidak menyukainya. Seperti tidak nyaman jika Aresha berada di depan matanya."Menggantikan aku? Apa aku harus berhenti dari merawat Venus?" tanya Aresha dengan tercekat. Sikap Herdion sungguh keterlaluan padanya. Aresha memandang perawat baru yang juga sedang menatapnya. Mereka pun saling melempar satu senyuman."Hanya selama kamu bercuti. Kamu tidak punya kesalahan apapun yang bisa kujadikan alasan untuk mengehentikanmu bekerja padaku," sahut Herdion buru-buru. Aresha menganggap itu sebagai sindirian agar dirinya cepat resign."Apa sudah t
Lelaki pengayom dua keluarga yang sempat berdiri itu, kini duduk kembali dengan menyandar luruh di kursinya. Seperti terengah memandang gadis bak dewi malam yang sedang berdiri menggoda penuh amarah di depannya. Susah payah dikencangkan diri dan kepalanya untuk terus berakal dan berpikir. Jika tidak, hasrat malam dalam raga akan menumbang, menguasai dan mengendalikan akalnya."Bagaimana, Pak Syahfiq Herdion? Segera katakan pendapatmu, jangan mengulur waktu, ini sudah malam. Jawab saja, mau menikah denganku atau tidak? Jika tidak, suruhlah aku pergi sekarang juga malam ini," ucap Aresha dengan tegas dan terdengar agak ketus. Jari lentiknya sedang menyisipkan sejumput anak rambut ke balik telinga.Herdion terus bungkam dalam duduknya. Mata yang biasa tajam berkilat, kini menatap redup dan sayu pada Aresha. Kebimbangan yang luar biasa sedang meraja di jiwa dan di raga lelaki itu."Kumohon cepatlah putuskan apa yang kamu inginkan. Ini sudah malam, Pak Syahfiq. Aku tidak ingin merasa taku
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw