Lelaki pengayom dua keluarga yang sempat berdiri itu, kini duduk kembali dengan menyandar luruh di kursinya. Seperti terengah memandang gadis bak dewi malam yang sedang berdiri menggoda penuh amarah di depannya. Susah payah dikencangkan diri dan kepalanya untuk terus berakal dan berpikir. Jika tidak, hasrat malam dalam raga akan menumbang, menguasai dan mengendalikan akalnya."Bagaimana, Pak Syahfiq Herdion? Segera katakan pendapatmu, jangan mengulur waktu, ini sudah malam. Jawab saja, mau menikah denganku atau tidak? Jika tidak, suruhlah aku pergi sekarang juga malam ini," ucap Aresha dengan tegas dan terdengar agak ketus. Jari lentiknya sedang menyisipkan sejumput anak rambut ke balik telinga.Herdion terus bungkam dalam duduknya. Mata yang biasa tajam berkilat, kini menatap redup dan sayu pada Aresha. Kebimbangan yang luar biasa sedang meraja di jiwa dan di raga lelaki itu."Kumohon cepatlah putuskan apa yang kamu inginkan. Ini sudah malam, Pak Syahfiq. Aku tidak ingin merasa taku
Nenek si bayi meninggalkannya di kamar sang paman. Sebab merasa sangat mengantuk yang tidak sanggup lagi ditahan. Pijat nikmat dari wanita di ujung komplek perumahan sungguh melenakan. Membuat badan sangat nyaman hingga ingin tidur lena saja hawanya.Namun, Siti Yasmin sempat juga mengemaskan kamar sang putra. Menaikkan semua barang berguna yang dibuang ke lantai itu kembali ke tempatnya semula.Bahkan, sarung bantal, sarung guling dan selimut yang berpindah ke lantai itu telah ditukarnya yang baru. Tidak ingin terdapat kuman dan tungau yang bisa jadi penyebab gatal-gatal di kulit. Setelahnya, wanita senja itu meninggalkan anak dan cucunya berjuang sendiri dalam kamar.Herdion yang semula berusaha abai, justru kembali ingat Aresha setelah Venus hanya ingin bersamanya. Menolak suster Tiwi dan tidak tidur nyenyak di kamarnya. Sebentar-sebentar bangun dan kembali menangis dengan keras. Hanya sang pamanlah yang membuat si bayi seketika diam dan tenang. Serta merta Herdion pun menyambarnya
Perempuan mempesona dan enerjik dengan celana panjang jins biru dan Tshirt katun warna putih itu berjalan cepat, mondar-mandir dan hilir mudik. Membawa nampan berisi menu pesanan untuk diantar ke meja pengunjung yang menunggu. Juga membawa kembali piring dan gelas kosong yang ditinggalkan di meja untuk dibawa ke belakang."Na, satu cangkir kopi pahit!" seru gadis itu menghampiri sang koki yang bernama Na."Siap, Re! Masih rame nggak?" tanya Na pada gadis pelayan yang dia panggil Re, tak lain adalah Aresha."Ngalir, tutup pukul berapa?" tanya Aresha sambil meluruskan kedua tangannya."Sebelas?" tanya balik Na dengan tidak yakin. Menatap Aresha dengan peluh merembes di dahinya. Bagian dapur memang lumayan kerja berat dan gerah."Sampai nggak ada yang datang aja ...?" tanya Aresha mengusulkan."Waduh, bisa dua puluh empat jam kita buka, Re. Ogah ...!" Na menggelengkan kepalanya dengan lelah."Ya sudah, sebelas tepat!" putus Aresha dengan tegas. Tidak ingin mengulur waktu dengan kebingung
Pemilik kafe yang sudah hampir sepuluh hari membuka sendiri usahanya sebab ditinggal mudik keluarga ke Tanjung Pinang, sangat keberatan ditinggal Aresha. Memohon dengan sangat agar terus ditemani hingga kafenya benar-benar dia tutup.Bahkan tidak lagi pukul sebelas, tetapi Bona menutup kafenya saat itu juga dengan dibantu Aresha. Merasa takut andai lelaki mabuk tadi mendendam dan kembali ke kafenya diam-diam."Bye,Na. Aku pulang, ya! Assalamu'alaikum!" pamit Aresha sambil menyambar bungkusan yang disiapkan Na khusus untuknya."Wa'alaikumsalam. Iya, hati-hati. Tolong, jangan lupa kuncikan pagar, Re!" ucap Na dengan berdiri di ambang pintu dapur."Iya ...!" sambut Aresha sambil berjalan cepat melewati pagar kafe. Kemudian ditutup dan dilocknya dengan angka. Pagar kafe sekaligus pagar rumah keluarga Na sudah terkunci dengan aman.Na masih terlihat memandangnya di pintu. Mengawasi hingga Aresha juga masuk ke dalam pagar rumah sewa. Malam ini rasanya sangat lelah. Mengantar Aresha hingga k
Herdion yang terlihat tegang dan kaku, sebenarnya sedang mengulum senyum dengan pandangan fokus ke jalanan di depan. Melirik gadis baik yang duduknya pun tidak kalah tegang di sampingnya. Juga ... terlihat gelisah tidak tenang.Merasa jika sebenarnya tidak sangat susah membujuk Aresha agar ikut. Hanya dengan kata kunci bahwa Venus sakit, seketika kepanikannya berujung damai. Aresha hanya membuntut saat Herdion kembali mengajaknya. Menurut kala diarahkan masuk ke mobil dan duduk bingung di sana. Dibawanya sendiri kendaraan tanpa seorang driver yang disewa. Sang sopir mengeluh sakit kepala dan mengantuk yang sangat tiba-tiba. Sebab kebetulan rumahnya cukup dekat di kawasan perumahan yang disewa Aresha. Herdion menyuruh pulang setelah membayarnya dengan pantas."Ada apa?" tegur Herdion saat tatapan matanya dengan Aresha tidak sengaja bertemu. Wajah itu tampak gelisah dan bingung."Anu, aku tidak membawa apa pun. Buru-buru sekali tadi membawaku. Bagaimana ini ...," jawab Aresha dengan s
Kedatangan Aresha disambut ucap syukur oleh Siti Yasmin dan Suster Tiwi. Sedang Yunus Herdion tidak tampak batang hidungnya. Pria kepala keluarga itu masih berlayar gembira di lautan bersama klub mancing kesayangan.Begitu pintu rumah dibuka dan Aresha masuk ke dalam, mereka berdua menghadang di sana. Venus baru saja terlelap, mungkin tidak sanggup melawan efek kantuk obat yang hebat.Aresha bergegas ke kamar lama dan membersihkan diri di kamar mandinya. Sebab dari kafe pun belum mandi, maka totalitas diguyurnya seluruh badan. Ingin benar-benar bersih sebelum menemui Venus di kamarnya.Beberapa pasang baju baru dipilihnya satu dan dipakai. Tampak melekat pas dan bersih di badan Aresha yang berkulit cerah dan ramping. Meski baru dibeli, seluruh baju sudah steril dan bisa langsung dikenakan. Sudah kebiasaan di saat genting, baju yang dipilih wajib dilaudry spesial di tempat membelinya.Aresha mendapat ketukan di pintu saat akan mengeringkan rambut. Serta merta diletaknya mesin pengering
Bayi cantik dengan kulit putih dan berhidung mungil itu masih juga terlelap. Belum memberi tanda bangun dengan sedikit gerakan awalan. Aresha tidak yakin apa kebiasaan bangunnya pagi ini masih sama dengan minggu lalu. Terbangun sebentar, tidur sejenak, kemudian benar-benar bangun.Adzan subuh yang berkumandang dari masjid baru di pulau, terdengar ke seluruh penjuru rumah dan kamar. Aresha terbangun sedari tadi dan tidak bisa tidur lagi.Kesadaran berada di mana dirinya, membuat perasaan tegang dan jadi tidak tenang. Was-was jika pemilik kamar akan masuk ke dalamnya kapan saja, maka ditinggalnya sementara Venus sendirian di sana. Tidak siap untuk bersemuka dengan Herdion di pagi-pagi buta saat itu.Dapur terdengar berisik oleh adanya Bu Dira yang menyiapkan makan pagi di sana. Aresha menyapa, begitu juga Bu Dira. Mereka saling bertukar kabar dan berbincang sejenak. Tidak lama, keduanya kembali meneruskan aktivitas masing-masing di dapur.Aresha membawa cangkir kopi di meja makan dan be
Dua lelaki berjas dan berdasi dengan gaya elegant, sedang duduk tegak di sofa lobi. Mereka adalah Herdion dan salah satu pejabat terbaik di hotelnya yang bernama Ari. Pegawai yang mengatur pemadaman lampu atas perintah Herdion malam itu. Kini, Herdion dengan membawa Ari, mendatangi hotel besar berbintang di kota Singapura demi urusan yang pribadi.Bukan mudah, selain harus keluar uang tidak sedikit, mereka juga harus bernegosiasi dengan petinggi hotel yang lumayan rumit. Semua dilakukan demi mendapat kepercayaan sekaligus uluran tangan dari pihak hotel."Apa menurutmu akan lama, Ari?" tanya Herdion pada pegawainya yang bernama Ari."Tidak, Pak, tidak lama. Kita sudah membayar uang pelicin tidak sedikit. Orang hotel di bagian teknisi dan IT sedang mengupayakan lebih cepat. Anda bersabarlah sebentar," jawab Ari yang terdengar menyenangkan. Herdion pun terdiam. Tidak lagi duduk tegak. Namun, menyandar condong dengan kaki yang menjulur lebih panjang di lantai.Dua puluh lima menit beriku
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw