"Istrimu," jawab Haidar sambil berlalu dari hadapan Sisil dan Aldin.
"Haaah ... kalian ini sungguh menyebalkan!" pekik Sisil sambil mengangkat bibir atasnya.
Aldin mendekati istrinya sambil menatap wanita paruh baya itu dengan senyuman nakal. “Apa selama ini aku kurang romantis?” Aldin menarik pinggang istrinya, hingga merapat ke tubuhnya.
“Ng-nggak, Hubby, aku nggak pernah bilang seperti itu,” jawab Sisil sambil berusaha melepas tangan sang suami dari pinggangnya.
Sisil celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan, ia malu jika terlihat oleh orang di desa itu yang tidak terbiasa dengan perlakuan romantis seperti di kota yang dilakukan di depan umum.
Namun, Aldin menarik kembali istrinya dan melingkarkan tangannya di dada sang istri sambil berbisik. "Cuaca di sini cocok ya untuk bulan madu."
“Hubby, lepasin! Nanti ada yang melihat," kata Sisil pelan.
Di rumah itu sedang ada acara pernikahan tentu saja banyak or
Sisil memeluk keponakanya dengan erat. “Tante pernah merasakan itu dan hampir bercerai dengan suamiku, tapi Om kamu mengalami kecelakaan dan saat itu Tante baru tahu kalau dia hanya dijebak.”“Itu berbeda.”“Ya ... situasi Tante saat itu memang berbeda, Om Aldin hampir melakukan itu karena dijebak, lain halnya dengan Bara dan Anisa.”Sisil mengembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan ucapannya. Masih terasa sakit jika teringat akan kejadian itu. Tidak bisa dipungkiri kalau masa lalu tidak akan pernah hilang dalam ingatan. Kita hanya berusaha untuk tidak mengingatnya lagi, bukan menghilangkan ingatan itu.“Sebelum mengetahui kebenarannya, dunia Tante seakan hancur, nggak ada yang bisa Tante lakukan selain mencoba menutup luka dengan rapat. Namun, Tuhan begitu baik menitipkan malaikat kecil di rahim Tante sebagai penghapus kesedihan itu, sama halnya dengan kehadiran Jennie dalam hidupmu. Dia datang untuk mengo
“Gara kamu jahat banget!” Jennie bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekati meja rias. “Apanya yang aneh sih?”Pria tampan yang masih tertawa itu mendekati istrinya. “Kamu nggak sadar bulu mata kamu cuma ada sebelah?”“Ah iya, aku buka saja yang ini.” Jennie mengambil bulu mata yang satunya lagi. Padahal tanpa memakai bulu mata palsu pun bulumatanya sudah lebat dan lentik.“Begini lebih baik.” Pria yang berdiri di belakangnya itu tersenyum manis padanya terlihat dari pantulan cermin.“Aku harus merapikan riasan mataku.” Jennie bangun dari duduknya. “Aku ke kamar Anisa dulu.”“Apa semua wanita seperti itu? Selalu ribet kalau berdandan,” gumamnya sambil menatap sang istri dari cermin. “Padahal dia lebih cantik kalau tidak berdandan.”Laki-laki itu menelpon orang suruhannya yang ia tugaskan untuk mengawasi ibu mertuanya setelah istriny
“Ya iyalah. Walaupun aku nggak cinta sama kamu, tapi kamu sudah menjadi suamiku. Itu artinya kamu milikku!""Oh begitu ya." Gara mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Jadi saya ini milik kamu?""Iya!" jawab Jennie dengan tegas. Selama kamu menjadi suamiku aku nggak akan membiarkan orang lain memilikimu walau hanya sebatas angan-angan. Aku nggak rela.""Tentu saja kamu tidak akan rela membiarkan suami sebaik saya diambil orang. Kalau kamu lepas dari saya, belum tentu kamu akan mendapatkan laki-laki sempurna seperti saya.""Astaga ...!" Jennie menepok jidatnya. "Kenapa dia malah semakin parah. Kayaknya dia gila ditinggal kawin cinta pertamanya.""Saya masih waras." Gara meniup wajah istrinya, lalu berkata, "Saya bersyukur terlepas dari dia, jadi saya bisa bersamamu."Ucapan Gara membuat Jennie salah tingkah, lalu ia mencoba mengajukan pertanyaan pada suaminya yang sempurna itu."Gara ... apa kamu rela kalau milikmu diambil or
Ada sedikit rasa tidak suka saat melihat suaminya tersenyum melihat kedua mempelai. Ia pikir Gara tersenyum kepada cinta pertamanya.'Dia memang suamiku, tapi aku tidak memiliki dia seutuhnya. Cintanya masih sama seperti yang dulu, bukan untuk istrinya, tapi untuk adik iparnya,' batin Jennie sambil memandang suaminya dalam diam.Sampai acara selesai pun Jennie hanya diam saja. Ia tidak bicara sedikit pun yang membuat Gara khawatir."Apa kamu sakit?" tanya Gara kepada istrinya."Ng-nggak. Aku baik-baik aja," jawab Jennie gugup, lalu melepas genggaman tangannya."Aku mau ucapin selamat dulu kepada mereka," katanya.Gara kembali menggenggam tangan istrinya. "Saya juga ingin mengucapkan selamat. Ayo kita ke sana!"Gara menghampiri adiknya di pelaminan."Selamat untuk kalian berdua, semoga kalian bahagia sampai tua nanti. Tapi, maaf ya kami harus pulang sekarang juga, banyak pekerjaan yang menunggu saya di sana.""Iya, Bang,
"Siapa? Aku?" Jennie menunjuk wajahnya sendiri. "Tentu aja nggak!"Jennie berusaha melepas pelukannya, tapi sang suami terlalu kuat untuk dilawan.'Saya tidak bisa menahannya lagi,' gumamnya dalam hati.Laki-laki itu menarik tengkuk istrinya dengan lembut, lalu menciumi bibir wanita seksi itu dengan penuh gairah. Dan akhirnya Jennie pun membalas ciuman itu."Terima kasih," ucap Gara setelah melepas ciumannya. "Cepatlah pakai bajumu, kau membuat saya kegerahan. Setelah sampai di rumah kamu harus segera mendapat hukuman yang lebih lagi supaya tidak menyiksa saya seperti ini.""Menyiksa apaan? Bukannya kamu yang seenaknya menciumku dengan alasan hukuman? Padahal kamu sendiri memang mesum."Mendengar ocehan istrinya, Gara hanya tersenyum saja. Memang benar apa yang dikatakan istrinya. Ia mengatasnamakan hukuman, padahal Gara selalu tidak tahan jika melihat bibir istrinya yang selalu menggoda."Sudah selesai?""Iya," jawab Jen
"Astaga! Cepat kalian beli minum dulu!" titah Jennie kepada dua laki-laki yang sejak tadi batuk-batuk."Baik, Nona."Yas dan pengawal pribadi Gara turun dari mobil meninggalkan Tuan dan nona mudanya."Aku belanja dulu ya," kata Jennie yang juga hendak turun."Tunggu!" Gara mencekal tangan istrinya yang hendak keluar. "Kenapa saya harus pakai kondom? Saya bukan laki-laki penyakitan.""Aku tahu. Aku hanya nggak mau hamil dulu," jawab Jennie. "Jujur aja, sebenarnya aku takut melakukan itu, takut kamu pergi di saat aku hamil anakmu.""Kalau kamu tidak percaya pada saya sebaiknya jangan melakukan itu!" tegas Gara. "Sekarang pergilah belikan saya minuman, tidak perlu beli kondom, saya tidak akan melakukannya.""Gara ... aku-""Sudahlah cepat! Saya haus."Jennie terpaksa turun dari mobil sambil cemberut. Ia masuk ke dalam minimarket, lalu keluar lagi dan menghampiri suaminya."Gara ... aku boleh pinjam uang? Aku nggak ba
"Kata siapa?" elak Gara. "Saya makan di mana aja yang penting makanannya enak," jawabnya berbohong.Bukannya tidak mau, tapi ia memang belum pernah makan di luar selain dengan para kliennya. Itu pun ia selalu membawanya ke restoran milik keluarganya dan di ruangan privat."Jadi, kamu mau makan di situ?" Jennie terlihat senang sekali. "Ayo, Sayang, aku udah laper banget." Jennie menarik tangan suaminya sambil membuka pintu mobil.Pria tampan itu menarik tangan istrinya. "Ucapkan sekali lagi, tadi saya tidak fokus!""Apa yang harus aku ucapkan?" Jennie terlihat bingung."Ah sudahlah." Gara melepas tangan istrinya. Lalu berkata, "Kita tunggu Yas dulu, dia juga pasti lapar."'Kenapa dia selalu lupa dengan apa yang diucapkannya? Apa dia mengatakan itu tidak tulus dari hatinya?' ucap Gara dalam hatinya sambil melirik sinis istrinya."Iya." Jennie merangkul tangan suaminya sambil tersenyum.'Senyummu sangat indah,' batin Gara sambil m
"Apa saya terlihat sepert suka menindas pegawai saya?”“Bukan terlihat, tapi memang kenyataannya kayak gitu. Apa kamu nggak sadar udah menipuku dengan kontrak kerja office girl itu? Terus mengancamku untuk menikahimu. Apa itu namanya bukan penindasan?”Jennie tersulut emosi lagi, padahal Gara bertanya dengan baik-baik. Tapi, dari ucapan laki-laki itu terdengar tidak merasa melakukannya yang membuat Jennie kesal saat mendengarnya.“Kamu menyesal menikah dengan saya?”Jennie menengadah menatap suaminya. “A-aku-”“Sudahlah. Saya sudah tahu jawaban kamu.” Gara melepas genggaman tangannya, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan istrinya.”“Asal kamu tahu aja Gara, aku menyesal karena dulu telah mengira kamu orang jahat. Sekarang aku mencintaimu Gara, aku baru sadar kalau aku menyukaimu. Mungkin terlalu cepat dan terkesan terpaksa, tapi hatiku merasakan kebaikanmu padaku.”