"Ayo bangun, kita Shalat Subuh!" Aku membuka ritsleting pintu tenda. Beberapa orang tampak sudah bangun di luar sana. Kasak-kusuk yang kudengar tadi ya, berasal dari mereka pastinya. Aku pun keluar tenda.Bang Aldin bangkit dari posisi tidurnya. Tampak pria itu meregangkan badan atletisnya. Seketika aku teringat sesuatu yang tadi ...."Ntar, Abang minta air dulu sama junior buat wudhu, semalam airnya udah habis," kata pria itu sembari keluar dari tenda. "Cepet!" Bang Aldin menghela napas melihatku. "Kamu kenapa, sih? Uring-uringan gitu subuh-subuh gini."Kamu tuh, bikin aku sebel, Abaaaang!Aku hanya bisa menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh dengan perasaan kesal.Tak berapa lama, pria itu pun kembali membawa sebuah jerigen berisi air. Kami lalu mengambil wudhu dan shalat berjama'ah.***Pagi seusai sarapan bersama, para panitia dan peserta lomba berkumpul dan berbaris. Tampak mereka berdiri sesuai kelompoknya masing-masing. Ada grup cowok, ada grup cewek. Bang Aldin bil
"Ayo kita lanjut jalan!" seru Bang Boy kepada semua.Kami pun mulai kembali melakukan pendakian. Baju yang kupakai terasa agak basah karena seperti ada embun yang kami lewati. Mungkin ini awan?Katanya sudah tidak jauh lagi puncaknya sampai. Namun, pepohonan masih menutupi pemandangan. ***Oleh karena mendaki dengan sangat santai, akhirnya kami sampai di puncak dalam waktu lebih dari dua jam. Kakiku terasa pegal, tapi hati ini merasa puas! Pemandangan di sini sangat indah, maa syaa Allah. Hutan, pegunungan ... bahkan langit biru berbalut awan tipis itu terasa sangat dekat. Aku merasa melayang ... di angkasa!Bibir ini tak berhenti tersenyum melihat pemandangan di hadapan. Ya Allah, betapa kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan-Mu. Ada rasa haru yang seketika saja singgah ke dalam hatiku."Indah ya, Mil?" Terdengar suara Bang Aldin yang tiba-tiba berada di sampingku. Aku mengangguk-angguk tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya tak puas-puas melihat panorama di sana. Allah
Hmmm ... sekarang tubuh Bang Aldin sudah tertutup selimut yang sama denganku. Kutatap wajahnya yang begitu damai dalam lelap. Tiba-tiba aku teringat pada Ivan. Apa kabar bocah tampan itu? Ya, ia mirip dengan sang ayah. Aku merindukan bocah kecil yang tiap malam memintaku membelai rambutnya sebelum tidur. Aku berharap anak itu baik-baik saja. Jaga dia ya, Rabb."Mila ... sedang ... apa?" Tiba-tiba Bang Aldin terbangun. Bibirnya tampak bergetar. Ya Allah ... apa benar ia kedinginan karena dari tadi tidak memakai selimut tadi?"Abang kedinginan?" Aku balik bertanya, karena seketika panik melihat ia bergetar seperti itu. "I–iya ... dingin ... banget," ujarnya seraya menggigil.Aku mencoba menyentuh lengannya.Ya Allah, dingin sekali! Aku terlonjak dan bangkit dari rebahan."Bang, a–aku harus gimana? Apa aku bangunkan yang lain?"Lelaki itu menggeleng. "Gak ... usah," katanya gemetar."Abang sampe menggigi
Tiba-tiba kakiku oleng dan tergelincir."Mila!" Bang Aldin tampak terkejut.Yang lainnya juga ikut berteriak kaget. Begitu juga Bang Dion. Aku sempat mendengar suaranya tadi.Tak sengaja aku menginjak batu, membuat kaki tidak stabil, dan akhirnya aku berada di tebing tanah berbatu yang cukup curam. Aku melihat ke bawah dengan ketakutan. Sebuah lembah yang tidak begitu dalam sepertinya, mungkin sepuluh meteran. Akan tetapi, tetap saja, kalau jatuh pasti akan berbahaya. Tanganku mampu meraih akar pepohonan, sehingga tidak jatuh ke dasar."Mila! Ka–kamu gak papa?!" Bang Dion tampak panik di atas sana. Aku berusaha menjejakkan kaki ke bebatuan yang ada. "Ssshhhh ...," desisku. Tangan ini terasa perih, karena sebagian lecet akibat tergesek dengan tanah dan bebatuan tadi, "to–long, Bang!"Bang Dion tampak gelisah di atas sana. Aku bisa melihat teman-teman yang ada di bagian pinggir, karena tebing ini bersudut sekit
Aku mengangguk-angguk, sembari memelankan langkah ini."Sini kita bersihkan luka kamu!" Amel menarikku menjauhi para pria yang mau membantu Bang Aldin naik.M tak mau aku pun mengikuti gadis itu, duduk di bawah sebuah pohon. Amel membersihkan lukaku dengan air, kemudian menyiramkan sedikit alkohol. Perih! "Ssshhh!" Aku berdesis."Makanya hati-hati, Non. Nyusahin aja," omelnya.Aku tersentak dengan perkataan Amel barusan. "Namanya juga kecelakaan, Mel. Kamu ini." Mbak Nela membelaku.Amel menghela napas, tampak kesal. Aku mencurigai bahwa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini. Mengapa ia berubah jadi jutek begitu? Padahal tadinya ia sangat ramah kepadaku.Aku terdiam.Bang Dion terlihat kembali ke arah para pria yang hendak membantu menarik Bang Aldin."Aldiiiin!" Bang Boy dan yang lainnya tampak berteriak panik dan histeris."Ada apa?" Aku refleks berdiri karena kaget."Aa
Hah? Anu ...? Juga gede ...?"Abaaaaang!" Aku cubit lengan lelaki itu dengan keras."Ya Allah, Milaaa! Ganas banget. Maksudnya kalau kaki gede, sepatu juga gede! Kamu gak tertarik beliin sepatu baru? Yaelaaah ... emangnya apaan?"Hah?Aku langsung berdiri, melangkah menjauh, dan mengenyakkan bokongku ke sofa di pinggir ruangan itu. Kesal! Wajah ini terasa sangat panaaas!"Hahahahaaaa!" Pria itu terbahak-bahak."Hai, Nak! Gimana, senang di tempat nenek?" tanya Bang Aldin kepada Ivan di layar hapenya. Lelaki itu tengah melakukan video call saat ini dengan sang putra. Ivan menambah hari berada di sana, sebab sang ibu masih harus mengurus beberapa administrasi pernikahan di sana.Ya, kami sudah di rumah sekarang. Kaki kanan Bang Aldin yang patah sudah dioperasi. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, saat ini adalah masa pemulihan."Senang, Yah! Nenek tadi bikinin aku bakso ... enaaak banget!" Terdengar suara Iva
Dahiku berkerut demi mendengar ucapannya. Tukang pijatnya cantik-cantik? Di salon?"Ya udah, nanti kita ke Mall aja, ya! Sore nanti habis ashar kita pesan taksi online.""Di salon itu gak ada tukang pijat lelaki?" tanyaku penasaran."Gak ada," sahut pria tampan itu."Loh, gak boleh dong, Bang! Mereka bukan mahram Abang pasti!" cetusku padanya."Ini 'kan terpaksa, Mil. Badan Abang pegel-pegel gini." Ia menjalankan kursi roda menuju ke arah kamarnya."Eh, Bang!" Aku memanggil pria itu, "ya udah, nanti aku yang pijetin!" Lelaki itu menghentikan kursi rodanya lalu menoleh ke arahku. "Beneran?""Iya!" jawabku. Hmmm ... aku tak mau Bang Aldin melakukan itu. Saling menyentuh dan disentuh orang yang bukan mahram? Hal itu tidak boleh dibiasakan. "Ya udah, aku mau tidur siang dulu, Bang.""Oke!" Lelaki itu tampak tersenyum semringah di sana.***Aku baru saja selesai mandi sore dan menelepon ay
Aku menunda membawa piring kotor kami ke dapur. "Ya, kalau bukan lelaki, siapa lagi yang memakmurkan masjid pada waktu shalat fardhu? Masak wanita? Wanita justru afdhal-nya shalat di rumah," jelasku panjang lebar."Oh, gitu?" "Dulu, Rasulullah bilang kepada para shahabat bahwa ingin sekali membakar rumah para lelaki yang shalatnya di rumah, tidak mau ke masjid.""Wow!" serunya kaget."Nah, makanya, Bang ... sebagai lelaki, mesti shalat ke masjid. Hehehe ....""Kalau rumahnya kebetulan jauh dari masjid, bagaimana? Gak bisa terkejar waktunya shalat berjama'ah, dong?" tanyanya."Kalau sudah tahu jauh dari masjid, maka harusnya datang lebih awal, Bang. Lagian masjid di sini 'kan gak jauh," kilahku."Oke-oke ... in syaa Allah kalau Abang sudah boleh jalan lagi, ya."Aku melebarkan senyuman dan mengangguk, kemudian bangkit, dan membawa piring kotor kami ke dapur. Aku hanya meletakkan piring tersebut di dalam wastafel
"Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup
Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika
Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d
Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian