Happy Reading. Melihat Kafkan yang melesat ke area pertarungan, membuat aku menatap Almosa dengan tatapan kecewa. "Mengapa kau melakukan ini padaku?" tanyaku lirih pada Almosa. "Mengapa kau mengorbankan Kafkan?!" "sebab Rajamu mengorbankan dirinya untuk seorang manusia biasa sepertimu!" balas Almosa dengan suara rendah, menatapku dengan tatapan tak suka. Sebelum pria itu pergi dari tempatnya. Aku harus berpikir positif. 'Almosa tidak mungkin membiarkan Kafkan terluka'Tap! Tap! Tap! Seseorang menghampiri, ia adalah "Damor?!" Mataku melebar, menatap tak percaya ke arah tubuh Damor yang dipenuhi oleh darah musuh. Tapi, ia bahkan tak menegurku, membiarkanku begitu saja. Aku cemas. Kafkan…apakah Almosa serius? Bagaimana jika….Tatapanku teralih pada tubuh Darka lll yang terbaring lemah. Sebelum mengepalkan tanganku kuat, aku memantapkan hati untuk mendekat ke arahnya. "Aku Emabell, tidak pernah mengharapkanmu. Tetapi aku Emabell dari Clossiana Frigga, mengharapkan perdamaian setia
Selamat membaca. Uwekkk!Aku memuntahkan semua darah yang masuk ke dalam tubuhku, sulit. Tapi untukku, itu bukanlah masalah. Hosh! Hosh! Hosh! Aku membiru, sebab mengeluarkan semua darah yang ia berikan dengan cara yang menjijikan. Aku tidak kuat lagi. "Aku tidak mau berakhir menjadi budak seksnya! Cukup, aku lelah!" ujarku, sambil menarik semua kain yang menutupi tubuhku yang tak lagi indah. Sebab dipenuhi oleh luka, dan bercak merah karena memberontak. Bagian dadaku juga terasa perih, sebab ia menekan cukup kuat. Menatap diriku sendiri. Membuat aku merasa benar-benar kotor. "Aku harus pergi meski akan mati ditengah Jalan karena penyakitku!" tekadku sudah bulat. "Aku mencari perdamaian, tapi aku tidak pe-pernah mencarinya. Dari orang yang telah merampas segalanya dariku!"Aku tidak akan pernah percaya. ***Bermodalkan tekad, aku sudah merencanakan hari ini. Tinggal dan terkurung hanyalah alasan agar aku bisa mengenal setiap karakter mereka. 98% mungkin akan gagal. Itu adalah
Selamat membaca. Aku menuruti Almosa malam itu, dan untungnya rencanaku yang ternyata gagal total tidak membuatnya marah. Aku tahu ia ingin menghabisiku malam itu, sorot mata pria itu seolah berkata 'tunggu saat kau pilih!' Pemikiran yang cukup membuatku merinding. Pasti alasan mengapa ia tak menghukumku karena mencoba untuk kabur darinya. ***Pagi yang indah, suara kereta kuda menghampiri. Dan Kafkan, ia yang mengantarku agar tidak tersesat nantinya. Selama perjalanan. Aku tak bicara, jelas aku marah pada mereka. Aku sembuh. Tapi perang sebentar lagi akan terjadi! Aku tidak tahu akan masa depan, jika sampai identitasku terbongkar nantinya. "Kau siap?" Kafkan bertanya, aku tak menanggapinya. Dan ia terlihat hanya menghembuskan nafasnya kasar, memaklumiku. GEKKK!!! Seperti pintu kebebasan yang hanya ada dalam khayalanku. Aku bersukacita, saat mendengar suara mereka. DEG! Senang. Itu aku rasakan. "Emabell?" Nike memanggil. Sungguh aku merindukannya. "Abell!" Ia berlari ke ar
Selamat membaca. Nike bersiap melempar batu dengan ukuran sedang, sedang aku bersiap dengan kayu pohon. Saat ia melempar! Aku menangkisnya. "Aku menang!"PRANGGG! Namun itu mengenai jendela utama yang terhubung di aula utama. "O-ow, ini gawat!"***Di dalam, aku dan Nike hanya menundukan kepala. Tapi mengapa Nike mulai menangis seperti bukan dirinya saja! Apa ia mencoba untuk selamat dari amukan ibu dan ayahku?! "BERHENTILAH MENANGIS DAN KATAKAN SESUATU PADA IBU!" Aku hendak menjelaskan. Tapi Nike mencela, "Emabell yang memukulnya!""Tapi kau yang melemparnya Nike," balasku. "Tapi kamu yang memukul ke arah jendela!""Kau kan melemparnya ke arah jendela!" Ayah memijat kepalanya pusing, sedang ibu menatapku dan Nike dengan tatapan jengkel. "Kalian berdua…""Di Desa, Emabell yang melempar, dan ia tidak dihukum! Kalau begitu aku tidak dihukum dong!""Tidak bisa begitu dong Nike!" kataku membela. Sebab Nike membawa-bawa kasus lama yang sudah terjadi sekitar 205 kali. "Bisa!""HENT
Selamat membaca. Bukh! Sebuah patung hancur karena aku menyenggolnya. "Maaf!" ucapku sembari membersihkan pecahan-pecahan patung. Setidaknya aku punya alasan untuk menjauhi itu. "Letakan semua itu!" Tapi aku tak menurut, dan tetap membereskan semua puing-puing. Menumpuknya pada pakaianku. Sampai sebuah tangan menarik lenganku kasar. "EMABELL! KAU TIDAK MENDENGARKANKU?!" bentaknya—membuatku ketakutan, menatapnya dengan mata berkaca-kaca menahan tangisku agar tak jatuh. Meletakan semua puing-puing itu kembali ke lantai. Lalu menatap baginda yang seakan menusukku, dengan tatapan tajamnya. "Maafkan aku," kataku. Memutus pandangan dengan menundukkan kepalaku ke bawah. Yang dengan tidak tahu dirinya. Ia bertanya padaku. "Jika suatu hari kehancuran terjadi. Siapa yang akan kau pilih?!" ia menjeda menatap dengan tatapan dinginnya. "Aku, atau Clossiana Frigga?!"Aku diam. Tak menjawabnya, sebab aku tidak tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Ia tiba-tiba saja mengangguk-anggukan ke
Selamat membaca. Kami saling tatap selama beberapa saat. Sebelum aku melompat dengan gesit dari istana yang begitu tinggi. 'Patah kaki pun tak masalah!' Asalkan aku lepas malam ini saja. Namun detik berikutnya, pria itu menyambarku seperti elang yang membunuh mangsanya, atau menyelamatkan mangsanya. Ia menggendongku. Dan kami terbang semakin tinggi. "A-aku bisa kehabisan nafas la-lagi!" mataku mulai naik ke atas, sebab semakin tinggi. Udara semakin menipis. Menatap. Baginda menurunkan sedikit jarak antara ia dan bumi—sontak, aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya. "Wah…""Wah?" tanyanya mengulang kekagumanku pada kerajaannya ini. Utara, harusnya tak seindah ini. Tidak. Semua indah, hanya istananya saja yang tidak. "Nama siapa yang kau sebutkan itu?""Itu kekaguman!"Jawaban mulus yang disertai ketakutan. Aku bahkan harus menelan salivaku kasar, karena jujur saja. Suaranya itu masih membuat semua tubuhku merinding—seolah ingatan pada malam kembali lagi. Hingga, sekitar 7 ja
Selamat membaca. Ia membawaku pulang, padahal. Ku pikir ia akan meninggalkanku sendirian di tengah hutan seperti ini tanpa busana. Tapi saat kami kembali, ia sama sekali tak bicara padaku. Tak makanan, tak ada dunia luar. Aku dikurung! Bahkan, baik Almosa dan aku tidak boleh mengobati lukaku. Aku kesakitan. "Aku ingin kembali ke rumah, aku ingin meringkuk di samping kasur kamar di rumah bibi Anne. Aku ingin berteriak, aku ingin tenggelam lagi…. Hiksss…"Menangis adalah jalan. Sampai aku sadar. "Mengapa aku begitu lemah di hadapannya?" lantas aku menatap ke arah tanganku sendiri yang masih dipenuhi oleh bekas luka. Bangkit. Membuka peti, sebelum mengobati luka-lukaku dengan herbal yang dikirim oleh kakak—tidak peduli lagi jika baginda akan memperkosaku atas tindakan yang ku anggap benar. "Aku tidak peduli lagi!" Aku, harus jadi lebih kuat….***Malam harinya, berbekal tekad karena perutku yang kosong. Aku dengan nekatnya berjalan keluar dari kamar yang tidak dijaga, ke arah dapur.
Selamat membaca. Jarum itu membuat aku tak bisa bergerak! Sebenarnya, apa yang mereka inginkan dariku? BUGH! Tiba-tiba saja Baginda mencekik leherku, sampai membuat tembok yang menahanku retak. "Ulahmu?" tanyanya dengan tatapan dingin yang menusuk. Padahal aku tengah kesakitan. Lukaku juga belum kering. "Panas…" Kukunya muncul, menancap di leherku—aku tahu, ia marah karena penyebab informasi raja yang sedang tak sadarkan diri karena racun Damor adalah memang karena ulahku. Aku berbohong. Sebab aku takut pada apa yang akan terjadi. Dan akhirnya, hal yang ku takutkan benar-benar terjadi. "Ba-baginda!" ringisku. Seperti digantung hidup-hidup! "Akhh… sakit!"Kafkan menahan bahu pria itu. Mencoba untuk menahan emosi yang sebentar lagi akan pecah dari dalam dirinya! Aku takut, tapi ini tidak adil baginya. Arggghhh! Aku menangis. Tubuhku gemetar saat kuku baginda menancap menyebabkan luka baru pada leherku. Hiksss! "Yang mulia!" Semua terlihat terkejut. Tapi, mereka tetap tak bisa b
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb