Hari kedua ditinggalkan hanya berdua dengan baby Ghaazi, kuputuskan mengajak putraku keluar rumah. Karena belum memungkinkan membawanya bermain di playground maka kupilih taman kota yang sore ini terasa sejuk.
Baby Ghaazi kuangkat dari stroller dan kududukkan di atas rumput beralas tikar plastik daur ulang yang tadi dijajakan penjual. Wajah montoknya antusias tengadah memandangi langit nan cerah. Kusuapkan biskuit bayi untuk digigit merangsang gusi yang mulai menonjolkan gigi susu."Suka main di sini, sayang? Kalau nanti bisa jalan, Egha pasti seru berlarian seperti kakak-kakak itu?" kuajak putraku ngobrol sambil sekilas memperhatikan balita lain yang sudah bisa dituntun atau berlarian di lapangan berumput hijau.Bruukkk. Aaaaarrggh! Papaaaa!Aku sigap mengangkat putraku begitu stroller terjungkang. Kereta beroda tiga itu ditabrak oleh tubuh mungil yang tadi berlari, dan sekarang melengkingkan tangis sambil mencoba bangkit duduk. Baby Ghaazi yangMalam turun semakin larut ditandai jarum waktu yang menunjuk pukul 22.40 WIB. Dengan cepat kuiris wortel dan kentang serta brokoli untuk racikan bubur baby Ghaazi esok pagi. Bahan sayur minimalis juga kusiapkan buat porsi sarapan. Tangkapan cctv di layar monitor memperlihatkan putraku nyenyak dalam ranjang tidurnya. Dua kamera cctv di rumah ini ditujukan untuk memantau depan rumah dan pojok kamar yang menampilkan aktivitas baby Ghaazi jika ia terbangun dari tidur. Kukembalikan kasur lipat dan kotak mainan ke dalam kamar serba guna, bermaksud menyapu dan ngepel lantai ruang tamu. Biar Besok sudah aman buat arena bermain putraku, entah kenapa tangan malah menggapai ponsel di meja.Beberapa file image yang masuk ke laman WatshApp, menghentikan aktivitas. Foto yang dikirim berupa bidikan zoom itu menampakkan pasangan lelaki dan wanita yang tengah makan malam, juga beberapa fose akrab di tepi kolam renang.Drrrtttt. Mode getar yang kuatur untuk pangg
Ternyata baby Ghaazi terus saja gelisah, bahkan dalam tidurnya. Suhu badannya sedikit di atas normal ketika diukur dengan termometer. Kuhalau kecemasan dengan banyak istigfar dan tak berselang satu jam putraku muntah.Tak bisa abai lagi, kukemas keperluan mendesaknya ke dalam tas ransel, mengambil dokumen asuransi kesehatan di laci dan memesan taksi online. Turun ke lantai bawah untuk mengambil susu formula dan MPASI.Pukul sebelas siang dokter jaga di IGD rumah sakit merekomendasi pemeriksaan lab. darah, kuiyakan saja karena baby Ghaazi kubawa ke rumah sakit setelah gejala panas disertai muntah. Tetap berada di rumah sendirian menghadapi kondisi itu hanya membuatku bertambah panik."Maaf ibu, jumlah trombosit dalam darah putra ibu turun di bawah seratus ribu. Kami sarankan dirawat supaya penanganannya intesif?" Dokter jaga memberi rekomendasi yang membuat tubuhku lemas. Kecemasan mulai melanda, juga bingung dengan gejala putraku itu."Sakit apa anak saya, Dok?" "Jika trombosit di baw
"Bagaimana bisa sih, anak kita sampai terkena DBD?" Pertanyaan itu dilontarkan Erland begitu tersambung video call."Aku nggak paham, Mas? Kita kan baru pindahan ke lingkungan baru, siapa tahu itu penyebabnya..." sahutku lalu mengarahkan layar ponsel ke arah baby Ghaazi yang sedang dipegang oleh kakek.Putraku melonjak sumringah mengenali wajah sang papa, sebelah tangannya yang terdapat slang infus terpaksa kupegangi. Beginilah repotnya merawat bayi yang lagi sakit, gerakannya tak mau diam, rewelnya karena jenuh disertai rasa tak nyaman akibat demam.Beberapa saat Erland mengajak putranya ngobrol, sesekali ditingkahi celotehnya terbata menyebut papa-papa. Ayahku sampai ikut tertawa gemas menyimak interaksi antara cucu dan menantunya. Sore ini Ayah langsung pergi ke rumah sakit begitu menerima kabarku.Restu kemudian pamit pulang sebentar, katanya setelah agak malam datang lagi menemani aku dan ayah. Tak bisa kutolak kebaikannya karena dia bilang m
"Aku pergi, Mas?" Kukuatkan hati pagi ini mendekati Erland dan menciumkan tangan mungil baby Ghaazi ke bibirnya. Putraku terkekeh wakaupun raut wajah dan senyum papanya sangat kaku."Aku baru bertemu Egha sebentar, mau kau bawa pergi Al?" sorot mata Erland yang tajam menyambarku, aku berpaling kalah. Kulepaskan tubuh baby Ghaazi yang condong menjangkau papanya."Dengan papa sebentar ya, mama tunggu di depan?" Sakit. Terlampau sakit yang kurasakan saat tidak ada bantahan lagi dari Erland. Perselingkuhannya dengan Tyas berarti benar terjadi.Ingin sekali meraung memaki lelaki yang berstatus suami sekaligus ayah putraku. Sayangnya akal sehatku menolak memberikan trauma bagi baby Ghaazi. Aku juga masih menghormati mama mertuaku yang kini nampak pasrah."Alia, kamu sebentar saja pergi? Kasihan cucu mama baru sembuh.....Kamu dan Erlan hanya perlu menenangkan diri, kan?" mama Netty merengkuhku lagi begitu kuambil tangannya untuk pamit.Kuanggukkan kepala dan menyusut sudut mata, lalu bergega
"Kau sengaja melakukannya, Tyas?" Kulempar pertanyaan itu begitu wanita berleher jenjang bisa kutemui di kediamannya. Tyas mengerutkan kening hingga alisnya bertaut, duduk di sofa menumpukkan lutut hingga betisnya yang jenjang terekspos dengan indah. "Apa memangnya yang kulakukan?' balik bertanya sambil menggigiti kuku jarinya yang dikutek, Tyas sukses membuatku menelan saliva. Gesturnya amat menggoda, sayangnya saat ini aku sedang tak minat menanggapi."Foto-foto ini, kau meminta seseorang menjepret kita lalu mengirimnya kepada Alia?" kutunjukkan sederet foto yang diteruskan Alia kemarin."Aku tidak tahu apa-apa, tapi.....ini kan foto waktu kamu menghadiahiku surpraise dinner?" sergahnya tersenyum. Aku menarik napas. Makan malam yang entah dirancang oleh siapa itulah mengawali kedekatan kami. Rasanya aku seperti terjebak tapi tak bisa melawan daya pikat yang ada pada seorang Tyas Fahira."Lalu soal lingerie yang ada dalam koperku, kau juga tidak
Seperti dugaanku pagi ini Erland sudah berangkat kerja ketika aku datang rumah baru kami. Pintu masih bisa kubuka dengan kunci sidik jari, tapi kini harus kutambahkan sederet pasword yang juga masih sama. Aku langsung ke kamar utama di lantai dua untuk mengambil baju ganti tambahan untukku dan baby Ghaazi. Kuputuskan datang pada saat Erland tidak ada karena memang belum siap bertemu, bahkan baby Ghaazi tidak kubawa supaya bisa lebih cepat dan ringkas menuntaskan rencana pagi ini.Hari ketiga menginap di rumah Om Rudi, kupikirkan langkah yang harus kuambil setelah mendengarkan nasihat orangtua Rivana dan tentu saja orangtuaku."Kenapa tidak pulang ke rumah, Nak? Kamu khawatir bunda jadi terbebani memikirkan nasibmu dan cucu bunda ya?" Bunda mengelus pucuk kepalaku ketika tangis tanpa suara kulabuhkan dalam pelukannya.Kuanggukan kepalaku membenarkan kata-katanya, lama aku hanya mendekap tubuh beliau mengumpulkan kekuatan sebelum mulai bercerita. S
Sudah lewat tengah hari ketika tiba di kediaman om Rudi, Erland turun dari mobil mengikutiku tanpa diminta."Terima kasih, Mas?" Kuucapkan singkat menerima tas yang diangsurkannya. Langkahku segera berbalik masuk, sekali lagi tanpa mengajaknya."Aku mau bicara sebentar dengan om atau tante Fifi. Bisa tolong sampaikan ya Al?" Erland berinisiatif duduk di kursi teras yang berupa bangku kayu panjang etnik dengan beberapa bantalan segiempat bermotif.Tante Fifi yang segera menyongsong keluar begitu kusampaikan permintaan lelaki itu. Entah apa yang ingin disampaikan Erland, aku memilih tidak ingin tahu. Kutemui baby Ghaazi yang dijaga oleh suster.Ternyata putraku sedang tidur, suster mengatakan selama di tinggal beberapa jam tadi baby Ghaazi tidak rewel. Dia sedang asik-asiknya belajar jalan, jadi itu sudah menguras atensi dan tenaga hingga cepat tertidur.Sepertinya Erland juga meminta izin bertemu anak kami karena tante Fifi sempat menengok
Tak bisa lagi kutahan rindu pada baby Ghaazi, putraku. Pukul sebelas pagi kulajukan mobil ke arah kediaman om Rudi, setelah kemarin tak bisa kutemui karena putraku sedang tidur siang.Kupelankan mobil begitu melihat Alia turun menggendong anak kami disusul oleh susternya menjinjing tas perlengkapan bayi. Mereka memasuki rumah dan mobil pun meninggalkan halaman rumah.Sepertinya Alia datang entah dari mana menggunakan taksi online. Perlahan kuparkir mobil lalu turun dan memencet bel. Rumah yang tidak terlalu asing karena dulu sering mengunjungi atau menjemput Rivana saat kami melakukan pendekatan.Siapa sangka jodohku ternyata justru sepupunya, Alia. Seorang ART yang membuka pintu sudah mengenalku dengan baik, jadi langsung kukatakan tujuanku bertemu Alia dan putraku."Silakan masuk bila ingin bermain dengan putranya, Pak? Tidak apa-apa bila saya tinggal Egha sebentar?" Suster yang kemudian menemuiku dengan menggendong baby Ghaazi. Kusambut putraku dan mempersilakan wanira itu meningg