“Ups! Liar sekali. Apa karena ini ia menyimpanmu? Kau menarik memang. Tidak buruk.” Russel terkekeh.“HENTIKAN!” Ruby tidak akan membiarkan AJ mendengar kata-kata seperti itu.“Ck, anakmu itu harus belajar menjadi dewasa. Ia harus mengerti bagaimana dunia pria.” Russel melihat bagaimana Ruby terus menutupi telinganya. Melindunginya.“Kita melakukan apa setelah ini? Apa aku harus mengirim ancaman atau mungkin mengirim jarinya?” Orang yang tadi menculik Ruby maju mendekati Russel.“Sementara ini tidak perlu. Aku ingin melihat bagaimana dia kebingungan mencari ‘kucingnya’. Setelah itu, baru kirimkan ‘kucing’ ini padanya. Sedkit demi sedikit. Mulai dari jari kalau perlu, seperti usulmu itu. Aku ingin dia merasa putus asa. Dia telah menghancurkan leherku. Aku akan membalas lebih keji.”Russel menyeringai, memandang jari Ruby. Seakan tengah mempertimbangkan jari mana dulu yang akan dikirimkannya pada Ed.Ruby bergidik, dan tidak bisa mengucapkan apa pun lagi. Meski Ruby menyebut jutaan kali
“Bagaimana bisa…” Russel menjauhkan kursi rodanya dari moncong senjata di tangan Ed.“Tentu bisa. Aku sudah mengatakan padamu kemarin. Tidak harus kau yang mau mengurus masalah penjualanku di sini. Dan kebetulan orang yang bersedia mengurusnya tanpa banyak syarat, bersedia juga untuk membantuku sekarang.”Ed tentu punya cadangan dan beres tanpa harus menemui kendala seperti Russel.“Dia dengan senang hati membantuku untuk menyingkirkanmu.” Tangan Ed lurus masih terarah pada Russel, sementara matanya mencari ke sudut-sudut ruangan itu.“Dimana mereka?” tanya Ed. Ia berharap Ruby dan AJ akan ada bersama Russel.“Siapa? Aku tidak tahu apa yang…Mmmm!” Usaha Russel untuk berpura-pura langsung gagal, karena Ed menjejalkan moncong pistol ke dalam mulutnya. Russel kembali menggeleng panik.“Mari kita tidak membuang waktu dengan omong kosong. Katakan saja mereka di mana, dan mungkin aku akan ingat untuk tidak meledakkan isi kepalamu.” Ed menekan pelatuk, sementara tangan yang lain menahan kepa
Tangan Ed bergerak lebih cepat dari apapun—bahkan lebih cepat dari pikirannya. Ia mengambil pistol dari balik jaket, dan langsung menarik pelatuk dengan kepala sebagai sasaran. Ed tidak ingin membunuh Russel, tapi tidak lagi akan mengampuni. Russel diam saat itu juga, dengan luka menganga di belakang kepalanya. “Apa kalian… Sialan!” Ed memaki saat berpaling, karena keadaan lebih buruk dari dugaannya. “AJ!” Ruby tengah memekik sambil merengkuh tubuh AJ yang ambruk dan diam sambil memegangi pahanya. AJ tidak lagi sadar sementara darah terus mengalir dari luka itu. Tanpa meminta pertimbangan, Ed mengangkat tubuh AJ dan membawanya berlari keluar dari pintu tempatnya masuh tadi. Ruby tersaruk-saruk mengikuti di belakangnya. “Don Rosas… Oh…” Otiz akan melapor, tapi saat melihat darah dan AJ yang terkulai, ia langsung melompat turun dan membuka pintu mobil Ed. Tidak ada lagi bahaya, Ed dengan mudah keluar dari rumah itu. “Dimana rumah sakit terdekat?” tanya Ed, pada Ruby yang ada di sa
“Siapkan tiket untuk pulang.” Perintah yang tentu mengejutkan Otiz. Kakinya yang sudah menginjak pedal gas kembali terangkat. Mobil yang ada di parkiran rumah sakit itu tersendat diam. Batal maju.“Bagaimana?” tanya Otiz, sambil melirik Ed dari spion. Malam telah larut, Otiz tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi melihat sikpa tubuh Ed yang tampak tersampir sembarangan di atas kursi—seperti mantel yang tersangkut, Otiz tahu ada sesuatu yang salah.“Siapkan tiket untuk pulang. Secepatnya!” Ed hampir membentak, tapi kemudian menghela napas panjang. Sadar kalau Otiz tidak pantas mendapatkan amarah itu. Ia sudah bekerja dengan sempurna hari ini. Melakukan hal yang sulit tanpa cela.Dirinya lah yang tercela. Kejadian tadi adalah salahnya, dan Ruby membuatnya menyadari itu. Ia merusak kehidupan Ruby dan AJ. Ini benar. Mereka hanya keluarga normal dengan kehidupan yang tenang di New York .Russel menganggu karena dirinya. Ed terlalu dekat.“Bukannya Anda ingin menunggu laporan dari
“Maaf, tapi apakah ada riwayat penyakit tertentu dalam keluarga Anda?” tanya dokter itu dengan sopan. Dokter pria itu juga tampak berhati-hati.“Tidak ada, dokter… Shelby.” Ruby membaca nama yang ada di kartu yang menggantung di lehernya. Dokter setengah baya itu ramah sejak awal merawat AJ, dan terlihat sangat kompeten.“Oh, ibu saya menderita Alzaimer. Apa ini yang Anda maksud?” Ruby masih bingung, tapi berusaha menjawab selengkap mungkin.“Saya turut berduka, tapi bukan itu yang saya maksud.” Shelby menggeleng sambil tersenyum.“Bagaimana dengan ayahnya? Apa mungkin memiliki riwayat penyakit tertentu?”Shelby bertanya hal unik yang Ruby tidak tahu jawabannya, sekaligus membuat Ruby semakin panik.“Maaf, saya tidak tahu. Tapi kenapa ini?” Ruby menggeleng.“Apa ada kemungkinan Anda bisa mencari tahu?”“Itu… akan sulit.” Ruby menggeleng semakin kuat. Bukan hanya sulit, tapi hampir mustahil. Ruby mengusir ayah AJ untuk selamanya malam kemarin.“Oh, begitu.” Shelby tampak mengangguk, da
Ruby menarik tangannya yang gemetar, menutup wajahnya agar tidak berteriak. Keadaan itu terlalu kejam. “Maaf, tapi apa AJ memiliki saudara?” tanya Shelby. Ruby menggeleng. “Ayah AJ masih hidup?” Shelby semakin berhati-hati. Ruby mengangguk perlahan, semakin tidak ingin bicara. Tapi itu kabar gembira bagi Shelby. “Kalau begitu, Anda mungkin bisa menghubunginya. Kemungkinan besar AJ akan memiliki kecocokan dengannya. Masih harus diperiksa, tapi saya rasa akan cocok. Kalau AJ memiliki saudara, maka saya akan menyarankan saudara, tapi ayahnya juga bisa.” Shelby menepuk pahanya sendiri untuk menyalurkan kelegaan. Keadaan yang jauh berbeda diderita Ruby. Ia kembali dipaksa menghadapi kenyataan penuh ironi. Ia harus menjilat ludahnya sendiri yang bahkan belum kering. “Bagaimana dengan donor lain? Apa tidak bisa?” Ruby berharap bisa, tapi Shelby menggeleng pelan. “Mungkin ada, tapi akan sulit menemukan yang cocok kalau bukan dari keluarga, dan kemungkinan akan lama kalau harus mencari.
Ada beberapa orang yang pernah berlutut dan memohon padanya, tapi biasanya Ed tahu apa sebabnya, yang ini terlalu random.“Ruby… “ Ed berusaha melepaskan tangannya, tapi Ruby mencengkram dengan sangat kuat.“Jangan pergi!” Ruby tidak akan melepaskannya.“Mrs. Herrera, maaf. Tapi jangan di sini.” Otiz yang sudah menyusul, akhirnya memaksa Ruby untuk berdiri. Ed dan Ruby terlalu banyak menarik perhatian dan itu tidak bagus, terutama kalau ada petugas keamanan yang terlibat.“Aku…” Ruby melawan Otiz, tapi Ed menunduk dan mendesis di telinganya.“Aku tidak tahu kau menginginkan apa, tapi jangan membuat drama di hadapan umum.” Ruby langsung diam, dan mengikuti Ed yang melangkah keluar dari ruang tunggu itu. Ruby tidak tahu kemana, hanya menurut saja, sampai akhirnya masuk ke dalam chapel kecil di bandara itu. Ruangan yang tentu saja sepi. Hanya ada satu orang yang tampak menunduk berdoa, lalu keluar saat melihat rombongan masuk.“Apa yang kau inginkan?” tanya Ed sambil duduk di salah sat
Kaki Ed seperti melayang kehilangan pijakan. Ia meraih Otiz yang ada di sampingnya agar tidak oleng, sebelum akhirnya mampu melangkah dan berdiri di hadapan Ruby. Menunduk menatap mata kecoklatan yang penuh air mata itu. “Maaf… maafkan aku…” Ruby merintih, dan memejamkan mata saat melihat tangan Ed bergerak, terulur ke arahnya. Ruby akan menerima apa pun, bahkan jika tangan itu mencekik, ia akan diam dan tidak meronta.Tapi Ruby tersentak, karena tangan itu mengusap pipinya. Ujung jari Ed yang hangat tidak menyakiti, tapi mengelus seluruh wajahnya. Mengusap air matanya.Ruby membuka mata, dan mata hijau itu masih menatapnya. Namun, Ruby terpaksa memejam saat Ed mengusap kelopak matanya. Ed seakan ingin merasakan seluruh detail wajahnya. Kemiripan yang kemarin dianggapnya keajaiban rupanya menyimpan sesuatu.“Ed…” Ruby memanggil dengan takut-takut saat perlahan tangan itu turun.“Teh… kau teh yang itu.” Ed bergumam, kembali menyatukan uraian titik yang tadi salah tempat. Kesimpulan ya
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad