“Daddy, apa Mommy sakit lagi?” tanya AJ, sambil meremas selimutnya. Khawatir.“Tidak. Ia hanya lelah. Untuk beberapa hari ini smapai kita kembali ke Zurich, aku yang akan menemanimu saat tidur. Apa kau tidak suka?” Ed menyipitkan mata.“Suka!” AJ tertawa pelan. Tidak keberatan, tapi tentu akan meminta alasan dari perubahan itu. Ia tidak memprotes saat Ed yang mengantarnya ke kamar, dan baru bertanya setelah Ed selesai membacakan buku.“Tidurlah, aku akan mematikan lampu.” Ed turun dari ranjang, tapi tangannya tertahan karean AJ menarik lengannya.“Can I give you a hug?” (Apa aku boleh memelukmu?)Senyum terbentuk dengan mudahnya, seiring hangat yang menerpa sampai ujung kakinya. Terlalu bahagia.“Tentu saja.” Ed membungkuk dan membiarkan AJ melingkarkan tangan ke lehernya.“Terima kasih. Kau membantu Mommy.” AJ tidak tahu bagaimana kenapa, tapi ia tahu kalau Ruby tidak benar-benar melakukan apapun setelah mereka pulang menjenguk Jade.Saat makan malam pun—Ed memesan pizza, Ruby hanya
Ruby memejamkan mata. Ia tidak heran dan tahu Ed sulit memaafkan. Bagaimana mungkin Ed akan memaafkan, kalau Ruby saja sangat sulit memaafkan mereka? Tapi Ruby tidak ingin mereka mati. Sebelum tahu tentang fakta ini, Ruby punya bayangan bagaimana nasib Esli dan mengabaikan. Ia tahu Ed akan keji, dan membiarkan. Tidak mendukung atau melarang. Ruby marah pada Esli, tapi lebih menyerahkan nasibnya pada Ed. Ruby sudah sibuk memikirkan nasibnya sendiri yang tidak pasti kemarin. Tapi Ruby tidak bisa lepas tangan saat ini. “Aku sudah menyiapkan beberapa hal untuk Esli terutama, tapi… kalau kau melarang, aku tidak akan melakukannya.” Ruby tersentak, meluruskan duduknya dan memandang Ed yang mengulurkan tangan. Mengusap pipinya. “Aku marah. Aku benci. Ia berusaha membunuhku, menipuku dan lainnya. Tapi aku tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu menyesal atau sakit.” Ruby mengira air matanya kering, tapi tidak untuk Ed. Air matanya mengumpul oleh haru akibat janji itu. “Aku tidak aka
“New York? Amerika?” Esli mengulang nama kota itu untuk memastikan.“Benar, Senor. Don Rosas ada di sana untuk mengurus ‘bisnisnya’.” Mendez mengangguk. Urusan ini bukan rahasia. Hal yang lumrah diketahui oleh orang-orang yang ada di dekat Ed.“Apa sekarang masih disana?” Esli bertanya lagi.“Tidak lagi. Tapi memang beliau tinggal lebih lama dari rencana. Ada keributan dan beberapa orang tewas. Saya belum tahu pasti apa sebabnya, tapi sedang mencari tahu.” Mendez memang baru menemukan separuh. Sulit mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan Ed di New York.“Untuk apa ia ada di sana lebih lama? DEA* akan memburunya kalau sampai tahu ia ada disana.” Esli kebingungan.Ed seharusnya tidak berlama-lama berada di kota yang ada di Amerika—dua atau tiga hari tidak masalah, tapi lebih dari itu sudah menantang maut. Musuh besar Ed adalah DEA. Ed aman di Mexico, tapi tidak di Amerika. Esli tahu kalau Ed pastinya sudah melakukan pencegahan—mungkin memakai identitas palsu atau yang lain—tapi mas
“Apa itu?” Ed menunjuk ke arah kolam renang di rumahnya, karena melihat benda aneh yang sebelumnya tidak ada. Semacam tonggak berwarna kuning terbuat dari balon yang mengambang dipermukaan, dan ada keranjang di atasnya—seperti ring basket ukuran mini. “Mmm… Senor…. Liz membuat pesta di rumah ini beberapa hari lalu. Kemungkinan benda itu sisa perlengkapannya.” Otiz masih kesulitan menyebut Liz sebagai apa. Menghela nafas panjang tidak mengira kalau suara benar-benar pesta yang kemarin didengarnya saat menghubungi list berasal dari rumahnya “Sebut seperti biasa saat kau bersamanya, jangan sampai Liz curiga.” Ed memperingatkan. “Saya mengerti.” Otiz meminta maaf sambil membungkuk. “Singkirkan itu.” Ed menunjuk benda yang terlihat janggal itu, lalu meneruskan langkahnya. Ed memeriksa keadaan rumahnya di Puerto Valarta, yang entah sudah berapa lama ditinggalkannya. Ed kemarin tidak ambil pusing—dan menghindari tempat itu karena Liz. Kini Ed tidak perlu lagi merasa enggan, menghindar
Ed mengernyit karena Liz dengan ringan menggandeng tangannya saat mereka menaiki tangga teras rumah Esli.“Aku saja atau kau tiba-tiba mudah sekali menyentuhku?” tanya Ed.Ini bukan pertama kali mereka menghadiri pesta atau acara bersama, tapi baru kali ini Liz menggandengnya dengan mesra.“Ada apa denganmu? Kenapa kau sensitif sekali?” Liz kembali bertanya balik.“Kau berbeda sekali setelah kembali. Apa ada sesuatu terjadi?” Liz mungkin terlihat tidak peduli, tapi tentu menyadari kalau Ed yang biasanya akan diam sudah berubah. Ed mungkin mencoba mempertahankan kedataran suaranya, tapi ada ketus yang tercetus beberapa kali. Ini saja sudah berbeda dari Ed yang biasanya.“Tidak ada.” Ed menyudahi kecurigaan Liz. Akhirnya tetap bergandeng tangan memasuki ruang pesta di rumah Esli itu.Pesta itu seperti dulu yang dihadiri Ed dan Ruby, bagian dari kampanye Esli untuk menebar janji dan mencari dukungan. Hanya suasananya sudah berbeda—yang paling jelas adalah pebedaan jumlah tamu.Esli yang
Liz sejak tadi hanya bisa diam karena shock, menatap gaun barunya yang sudah tidak mungkin diperbaiki. “Aku rasa kau membutuhkan air. Apa aku perlu mengantar?” Ed menawarkan dengan ramah, sambil mengulurkan scaf yang juga telah bernoda. Sikapnya sempurna. Tamu yang lain hanya memandang tanpa menghakimi. “Tidak perlu!” Liz dengan kasar menyambar scarf itu dan berbalik. Ia tidak mungkin berani membuat kekacauan saat pesta ayahnya. Liz cukup peduli untuk muncul membantu ayahnya berkampanye, ia peduli dengan kekuasaan—dan mendapat keuntungan—dari ayahnya. Ed tersenyum dan sejenak menyingkir ke sudut yang tidak terlalu ramai. Ia bebas, tapi perhatian banyak orang tertuju padanya. Ed menunggu sampai keadaan tenang, dan tamu yang lain menemukan bahan pembicaraan yang lebih menarik dari sekadar minuman tumpah. Ed memakai waktu itu untuk mencari sasarannya. Sudah terlihat beberapa, tapi Ed ingin mencari yang paling mudah dulu. “Disana.” Ed begumam pelan, dan bergerak dengan langkah santai
“Aku bukan vampire abadi. Tentu akan berubah. Aku bertambah tua,” kata Ed.Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Ed lupa kapan persisnya, tapi mungkin tiga tahun lalu. Tentu banyak perubahan terjadi.“Wajahmu… Kau memutuskan untuk melakukan operasi.” Mayte memandang bekas luka Ed yang berkurang.Ed tersenyum. Bukan untuk Mayte. Ia tersenyum karena tiba-tiba merasa sejuk, karena teringat kalau Ruby sama sekali tidak membahas wajahnya. Bahkan setelah mereka ‘berdamai’ Ruby tidak sekalipun menyebut keadaan wajahnya. Mayte dan Liz menyebutnya. Mereka tahu wajahnya berubah dan membahas. Mungkin terkesan Ruby tidak memberi perhatian cukup padanya, tapi Ed justru tahu kalau bukan hal itu penyebabnya.Ruby tidak membahas karena menurutnya tidak penting. Wajahnya yang dulu dan sekarang sama saja untuk Ruby. Apa pun bentuknya untuk Ruby tidak berbeda. Ia menerima semua.Seluruh pemikiran itu yang membuat Ed tersenyum. Ed tahu hatinya telah memilih wanita yang tepat.“Aku pikir kau tidak ingin
“Aku hanya mengatakan kenyataan.” Mayte dengan anggun menatap Liz yang tampak memerah murka. Sama sekali tidak merasa bersalah.“Fitnah! Kau jangan sembarangan bicara!” Liz memekik, dan keinginan Ed untuk mendapat ketenangan hangus. Tamu lain yang tadi tidak terlalu tertarik mulai memandang dengan heran, bahkan sengaja datang dari ruangan lain untuk melihat keributan.“Cukup. Kita pergi.” Ed meraih lengan Liz, karena tidak ingin menjadi bahan tontonan. Geram, tapi tidak mungkin melanjutkan rencananya lagi setelah ini.“Tidak! Aku tidak terima!” Liz menepis tangan Ed, dan menunjuk ke arah Mayte.“Kau berani sekali menghinaku di sini! Di rumah ayahku!” bentaknya.“Aku tidak menghina. Semua orang tahu apa yang kau lakukan di belakang Ed.” Mayte menyipitkan mata. Tidak sangat emosi seperti Liz, tapi jelas sudah bertekad untuk tidak mundur.“Kau itu bicara apa?! Aku tidak melakukan apapun!” Liz semakin panik.“May, kau pulanglah.” Ed dengan lega menunjuk Marco yang tampak tergopoh menghamp
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad