“Saya…”Ed ingin menjawab teman, tapi kemudian sadar kalau seseroang yang nyaris berusia empat puluh sangat tidak cocok berteman dengan anak laki-laki berumur empat. Ia akan terlihat seperti predator anak yang mencari mangsa.“Apa kau kekasih dari ibunya?”Pertanyaan bernada curiga lain datang saat Ed masih berpikir, dan semakin aneh saja. “Apa maksuda Anda?” tanya Ed.“Untuk apa Anda mendekati AJ?” Masih dengan pertanyaan yang tajam, dan kini gerak-gerik wanta itu juga terlihat agresif. Ia berdiri di tengah lorong, menghalangi Ed. “Saya hanya ingin mengembalikan barang milik AJ yang kebetulan ada pada saya. Tidak bermaskud yang lain.” Ed mengangkat tangan dan mundur. Memperlihatkan sikap tenang. Ia tidak ingin terlihat agresif pada lingkungan dimana ada banyak anak-anak.“Benarkah?” Ms. Rosemore masih terlihat ragu, dan mengamati Ed dengan seksama. Dari luar, Ed tidak terlihat mencurigakan karena memang penampilannya rapi. Ia memakai mantel hitam mahal dan juga sepatu yang tidak ber
Ed menghitung dalam kepalanya. Mengingat jumlah obat dari Diego yang telah dikonsumsinya. Tidak menampik kemungkinan ia mungkin melihat hal aneh karena over dosis. Tapi Ed ingat kalau terakhir kali ia mengkonsumsi obat itu adalah dua hari lalu. Saat ini tidak ada obat apapun di tubuhnya. Pikiran dan matanya sangat jernih. Jadi seharusnya apa yang saat ini dipandangnya adalah nyata.Ed meraba kantong mantel, dan mengambil ponsel. Menghubungi Otiz. “Istriku ada dimana?” tanya Ed. Ia ingin menganulir perasaan ia telah gila. Mungkin memang Liz ada di New York.“Mmm.. Masih sama. Senora belum meninggalkan kota itu.” Otiz menjawab dengan rasa heran tentu. Sementara Ed memerlukan pegangan, kepalanya mendadak sangat ringan.“Kau yakin?” Ed mengernyit dan mengusap bagian wajahnya yang nyeri dengan tiba-tiba. Kebingungan yang amat sangat.“Ya, saya akan meminta mereka untuk mengirim foto kalau Anda tidak yakin.” Otiz memberi usulan.“Boleh.” Ed mengakhiri panggilan itu, sementara suara dalam
“Apa Anda baik-baik saja?” Otiz menyerahkan botol air mineral pada Ed.Mereka sudah ada di ruang tunggu VIP di bandara, tapi Otiz akan berlari keluar kalau perlu—kalau memang Ed memerlukan bantuan medis.Di mata Otiz, Ed terlihat seperti terkena serangan jantung. Ed kembali ke mobil dalam keadaan pucat pasi, sama sekali tidak bisa diajak bicara, bahkan tidak melarang saat Otiz menyetir. Ed hanya duduk sambil menopang kepalanya selama perjalanan.Kini pun ia duduk dan masih tampak seperti sakit. Otiz tentu cemas melihatnya.“Apa ada sesuatu terjadi?” tanya Otiz. Ia tahu pertanyaan itu bodoh, karena sudah pasti ada sesuatu yang terjadi yang membuat Ed sampai terlihat kosong.“Liz ada di Mexico?” Ed bertanya lagi, sementara menekan sisi wajahnya yang sakit. Tidak mungkin ia bisa tenang setelah semua itu.“Benar. Saya juga sudah memastikan beliau akan ada ada di San Miguel de Allende selama beberapa hari kedepan.” Otiz tentu tidak hanya meminta foto, tapi juga keterangan lain.“Lalu siapa
“AJ? Kau sudah selesai? Sarapan sekarang!”Ruby berseru sementara melirik ke arah ranjang. Pakaian yang disiapkannya sudah tidak ada. Sudah beberapa bulan ini AJ tidak lagi memerlukan bantuannya untuk memakai baju. Terakhir AJ belajar untuk mengancingkan kemeja, dan sekarang sudah cukup lumayan. Ia sekarang menolak setiap kali Ruby membantunya.“Sudah selesai!” AJ muncul di ujung tangga. Ia sudah dibawah tadi.“Oh, ya sudah. Pintar.” Ruby menepuk kepalanya, memuji, sambil berjalan masuk ke kamar AJ.“Tunggu, dimana kaus dalam yang kau pakai di sekolah beberapa hari lalu? Aku hanya menemukan kemeja?”Ruby sekali lagi memeriksan tumpukan baju menggunung—yang mencoba diabaika
“Maaf, saya rupanya sibuk sekali hari ini.”Ruby mengulurkan kopi untuk Ed, dengan nada yang masih seramah mungkin.“Kau pemilik tempat ini?” tanya Ed, meski sudah tahu. Berjam-jam duduk bukan berarti Ed tidak memperhatikan apapun selain membaca.Ed lebih banyak melirik ke arah Ruby, mengamati saat ia bekerja. Melihat bagaimana beberapa pegawai—baik yang dari dapur maupun pramusaji bertanya padanya, membuat Ed tahu kalau wanita yang saat ini duduk di hadapannya bukan hanya sekadar petugas kasir.“Benar.” Ruby mengangguk.“Pencapaian yang hebat.” Ed tidak berbasa-basi. Bisa memiliki usaha yang berukuran sedang dan terlihat berhasil bukan hal yang mudah.
[Anda ada dimana?] Pesan dari Otiz. Meski hanya pesan, tap Ed bisa membayangkan wajah khawatir Otiz saat mengirimkannya. Ia pasti panik saat menyadari Ed pergi tanpanya, tidak memberi tahu juga akan kemana.Mereka masih ada di New York, bukan di Mexico. Otiz selalu merasa Ed akan berada dalam bahaya. Jalanan di sana ‘dimiliki’ Russel, tidak seharusnya Ed mondar-mandir tanpa beban di sekitar kota itu.[Tunggu saja]Ed membalas singkat, dan kembali bersandar pada tempat duduknya. Menunggu sambil memangku buku dan sesekali melirik kumpulan anak kecil yang bermain tidak jauh dari kursi tempatnya duduk.Ada playground cukup besar di taman itu, dan Ed tahu AJ akan ada di sana setiap hari rabu serta jumat. Hasil mengamati hari minggu lalu.AJ akan ada di sekolah saat pagi, selain rabu dan jumat, Ruby akan menjemputnya sendiri. Tapi dua hari itu, AJ akan dijemput oleh petugas dari salah satu tempat penitipan anak (Daycare). Ruby baru akan menjemputnya saat malam. Ed tidak tahu kenapa dua har
Ruby melotot pada Ed, tapi tidak langsung marah padanya. Ia berjongkok dan membersihkan lutut AJ yang kotor, sementara AJ terus menunduk.“AJ, kau lupa apa yang aku katakan?” tanya Ruby. Bukan bentakan tapi tajam dan tegas.AJ menggeleng dan belum berani mengangkat kepala.“Kalau begitu, kenapa kau bersamanya, dan bukan bersama Ms. Summers? Kau tidak boleh mendekati orang asing.” Ruby menunjuk pengasuh daycare yang mengawasi dari kejauhan.Ed ikut memandang wanita itu dan akhirnya paham. Ia tadi sedikit heran melihat Ruby, karena seharusnya ia datang nanti. Tapi saat melihat ponsel di tangan Ms. Summers, maka jawabannya mudah. Ruby datang karena mereka melapor.“Tapi aku hanya bicara pada Beast. Dia tidak asing.” AJ bergumam dengan tangan terus bergerak-gerak gelisah.“AJ tidak…”“DIAM! Kau tidak boleh ikut campur! Aku sedang menegur anakku!” Ruby memotong Ed yang berusaha membela AJ. Bentakan yang terlalu keras, karena AJ tampak terkejut, sampai mendongak memandang Ruby dengan mata k
“Kita akan menempati rumah baru di kota yang baru. Mungkin bahkan lebih cantik dari ini.” Ruby membujuk sambil menyibak rambut ikal AJ yang menutupi kening. Ia masih ingin AJ menerima usulannya. “Aku suka rumah ini! Kenapa kita harus pergi? Aku suka di sini… semua temanku di sini…” AJ menggeleng. Ia tidak bisa berempati pada alasan itu dan akan terus menolak. “Kau akan punya teman baru di sana, akan ada juga…” “Aku mau disini! Teman yang disini. Kenapa pergi? Bagaimana Abuela? Dia sakit.” Bahkan AJ saja paham kalau neneknya tidak boleh dibawa pergi jauh. Ruby menghela napas dan mengusap kepala AJ, lalu membuka kunci mobil. “Turunlah. Ms. Rosemore akan khawatir kalau kau terlambat.” Ruby mengelus kepala AJ, dan mengecup keningnya. “Aku tidak ingin pindah!” AJ mengulang sekali lagi. “Aku tahu.” Ruby menepuk pelan pipi AJ lalu membuka pintu mobil. "Bye.. Bye, El Cielo… " AJ baru bisa tersenyum setelah mendengar panggilan itu. Ia lalu turun dan melambai masuk ke bangunan seko
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad