“Ini bagus sekali! Ini kesempatan bagus!” Lori berseru sambil menepuk paha Ruby dengan bersemangat.“Bagus bagaimana? Apa kau tidak mendengarku?” Ruby jengkel. Ia baru saja mengatakan kalau posisinya serba salah di hadapan EdRuby lebih lega sudah bisa bertemu AJ, tapi tentu tidak menyenangkan kalau setiap kalinya ia harus bertemu Ed juga yang sama sekali tidak ramah. Ruby berharap simpati pastinya, bukan malah sorakan girang dari Lori.“Kau terlalu kaku! Lihat dari sisi yang lain. Justru dengan kau berada di dekat Ed, ia tidak bisa menghindar. Kau bisa dengan bebas merayunya lagi! Tidak kah kau menyadarinya?” Lori mendecak dengan gemas.“Tapi aku tidak ingin merayunya!” Ruby menggeleng sambil mendesah.“Kau tidak ingin berdamai dengannya?” Lori mengernyit.“Ingin—paling tidak untuk AJ, tapi aku tidak yakin caranya dengan merayu. Aku tidak ingin Ed salah paham dan mengira aku mengejarnya lagi. Ed akan marah dan menganggapku lancang dan kurang ajar!” Ruby tidak ingin memperumit keadaan
“Se…senora Lizeth?” Tita terbata sambil mundur menjauhi Ruby yang baru akan menyapanya. Ruby bahkan sudah tersenyum. Tapi melihat Tita yang sama sekali tidak hangat—bahkan takut saat melihatnya, Ruby tahu kalau sikap Liz padanya pasti juga amat buruk. “Bukan. Ini ibuku.” AJ menyahut dengan mulutnya yang masih penuh oleh telur dadar. “Apa?” Tita tentulah semakin bingung. “Kau memanggilnya Lizeth, tapi ini ibuku. Bukan Lizeth. Namanya Ruby.” AJ dengan lancar menjelaskan. “Saya tidak…” “Mudahnya, dia bukan Lizeth—meski mirip, tapi Ruby. Dan ibu dari AJ. Sudah, itu saja.” Ed bergumam dan berjalan melewati Tita, menghampiri AJ. Tita tampak mengedipkan mata dengan cepat, menatap Ruby yang kini melambai ke arahnya dan tersenyum canggung. Ruby akan bicara padanya lagi nanti. Mungkin sedikit menjelaskan agar tidak salah paham. “Kau ingin makanan lain? Dokter mengatakan kau sudah boleh memakan apa pun asal tidak berlebihan,” kata Ed. Seperti yang dikatakannya, Ed sama sekali tidak meman
Ruby memang punya keinginan mengikuti saran Lori, tapi tidak sebrutal itu dengan tinggal di satu atap bersama Ed. “AJ, aku tidak akan tinggal di rumah itu. Mommy akan ada di rumah lain.” Ruby belum punya rencana, tapi kemungkinan akan mencari homestay, atau air bnb yang murah, karena akan tinggal berbulan-bulan. “Kenapa? Aku akan di sana. Beast juga disana. Rumahnya besar, kamarnya banyak.” AJ tidak mau menerima. “Kau boleh berada di sana, tapi aku tidak bisa.” Ruby menggeleng sambil melirik Ed yang membisu, keberatannya terlihat dari matanya yang menyipit. “Tapi kenapa?” AJ mengerutkan kening, tanda-tanda kekecewaan terlihat jelas. “Rumah itu… bukan rumah kita. Mommy tidak bisa tinggal di rumah orang lain dalam waktu lama.” Ruby beralasan dengan gugup, sambil mengusap ponselnya yang ada di meja. “Aku… Tapi aku boleh tinggal di sana kata Beast.” AJ menunduk dan menurunkan sayap ayam yang baru habis separuh, lalu memandang Ed. “Beast, apa mommy tidak boleh tinggal disana juga? A
AJ tidak melebih-lebihkan saat mengatakan rumah itu indah. Letaknya di tepi danau yang besar, sudah memberi keunggulan tersendiri. Pemandangan biru menyejukkan yang tentu sangat berbeda dengan apa yang biasanya dilihat AJ di New York. Bagian itu saja sudah membuatnya girang pasti.Rumah berlantai dua berwarna putih dengan atap segitiga biru itu memang didesain untuk bersantai, karena Ruby melihat hamock, ayunan, kolam pasir, tempat barbeque, sampai tenda kecil persis di tepi danau untuk memastikan penghuninya bisa menikmati aneka macam rasa liburan.“Mommy, kemari.” AJ masih sedikit bungkuk karena punggungnya masih ada luka, menarik Ruby menuju tangga.“Aku akan menggendongmu.” Ruby mengulurkan tangan. Naik tangga adalah pekerjaan berat yang belum boleh dilakukan AJ.“Aku ingin kamar di lantai dua juga, tapi kata Ed tidak boleh.” AJ terdengar mengadu, sambil memeluk Ruby.“Itu benar. Kau belum boleh naik turun tangga.” Ruby mendukung sepenuhnya.AJ langsung cemberut. Rupanya tidak ber
“Kau pikir apa yang akan aku lakukan padanya?” Ed bertanya balik sambil mengernyit.“Aku yang bertanya! Kenapa kau membawa ibuku dalam hal ini?!” Ruby tidak bisa tidak panik. Ia bisa menerima hinaan atau amarah apa pun dari Ed, tapi tidak akan rela jika hal itu menyangkut ibunya.“Ibuku tidak tahu apa pun tentang ini. Dia sakit dan…”“Mommy, kenapa kau marah pada Beast?” AJ menyentak tangan Ruby. Menatap dengan kebingungan.“Otiz.” Ed memanggil Otiz yang segera berjongkok di hadapan AJ.“Hei, apa kau tahu, tadi Tita menyebut kalau ia menemukan ruang bawah tanah. Bagaimana kalau kita melihatnya sekarang?” Otiz tengah membujuk.“Ruang bawah tanah? Apa gelap?” AJ tertarik tapi masih takut-takut.“Tidak, tapi kau akan menemukan banyak keju. Bagaimana?” Otiz mengulurkan tangan, dan AJ meraihnya.“Ayo.” Otiz menggendong AJ dan dengan langkah cepat membawanya menjauh dari keributan.“Kau mengira aku melakukan sesuatu pada ibumu? Rendah sekali penilaianmu tentangku,” dengus Ed. Baru bicara se
LIMA TAHUN LALU“K… kau… kenapa kau… Apa yang kau inginkan?” Ruby tergagap karena ketakutan, sambil memandang pria botak yang duduk di hadapannya.Ruby mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya, tapi sejauh ini, diseret paksa masuk ke dalam klub malam adalah yang paling menakutkan. Ia tadi sedang berjalan pulang dari bekerja, saat ada tangan yang tiba-tiba menyambarnya.“Perlu sedikit dipotong.” Pria itu menyahut.“Apa?” Ruby sampai lupa dengan ketakutannya karena kaget.“Ruby Herrera.”Mata Ruby melebar. Pria itu menyebut nama lengkapnya. “Bagaimana…”“Aku ingin menawarkan uang padamu. Kau memerlukannya bukan?” Ruby ingin tertawa karena histeris dan terlalu tegang. Pertanyaan itu seperti lelucon di waktu janggal. Sudah jelas jawabannya adalah iya—semua orang di muka bumi ini perlu uang begitu lahir.“Aku akan membayar semua hutang, juga biaya pengobatan ibumu, asal kau melakukan sesuatu untukku.”“Bagaimana kau tahu?!” Ruby terkejut. Bahkan rekan kerjanya saja tidak banyak yang tahu
Ed membuka botol pil yang diberikan Diego, masih ada beberapa sisa. Ed tidak lagi meminumnya setelah sampai di New York. Obat itu hanya untuk rasa sakit di wajahnya dan tidak ada lagi rasa sakit.Obat untuk depressi dan lainnya, tidak lagi diresepkan oleh Diego selama beberapa bulan ke belakang. Menurutnya keadaan Ed sudah membaik. Seiring semakin tidak peduli pada Liz, keadaan Ed membaik.“Salah…semua salah…” Ed bergumam. Ed tidak menyalahkan Diego. Ia bertindak dan mengambil kesimpulan berdasar keadaan yang diceritakan Ed. Dasar cerita salah, tentu kesimpulannya salah.Ed menuang seluruh obat yang tersisa ke dalam wine yang tadi diminumnya. Masih tersisa separuh di dalam gelas. Seluruh pil itu tenggelam, tidak langsung larut, tapi tidak mungkin bisa dikonsumsi lagi.Ed tidak ingin mengkonsumsinya lagi. Sudah cukup. Seharusnya ia tidak memerlukannya lagi.Ed kembali duduk dan memandang ke arah tangga. Hanya menatap, karena masih tidak tahu harus memutuskan apa untuk menenangkan hatin
Ed menurunkan cangkirnya, memutar jarinya pada bibir cangkir. Memilih kata karena tidak terlalu ingin mengakui pikiran konyol itu. “Aku dulu hanya menyukai kopi. Pahit, asam, harum dan menurutku cukup. Tapi ada yang membuat teh untukku. Aku tidak tertarik, tapi aku mencoba, dan ternyata… rasanya tidak buruk. Harum yang lebih tenang, pahit yang lebih halus… aku juga menyukainya.” Ruby mendengar semua penjelasan itu, tapi masih belum bisa meletakkan penjelasan itu sebagai jawaban. “Kau… teh itu adalah dirimu. Kau seperti teh! Karena itu aku memilih daun teh untuk ponsel itu!” Ed akhirnya menyebut dengan jelas, karena Ruby tidak juga paham. “Oh… Ooo… begitu.” Ruby mengangguk, dan membatin apa yang membuat Ed harus memutar jauh saat menjelaskannya. Ia hanya harus menyebut dengan mudah. Pipi Ruby perlahan bersemu. Jawaban itu yang membuatnya memerah. Teh yang menjadi misteri itu ternyata sederhana. Tapi tidak meninggalkan rasa yang sederhana dalam hatinya. Itu semua pujian. Tidak langs
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad