“Itu…” Ruby bingung. Kalau sangat jujur, Ruby akan mengangguk, tapi anggukan itu akan membuat tangis Liz semakin keras. “Siapa yang mengatakan itu? Jangan dengarkan.” Ruby menghindar. “Memang benar aku seperti itu bukan? Aku hanya punya cantik.” Liz berusaha menghapus air matanya sendiri, tapi masih terus mengalir. Dari perselisihan dengan Lana dan Laura, Liz menemukan satu hal yang mungkin seharusnya disadari dari dulu. Liz mendorong semua perasaan itu karena tidak ingin merasa bersalah—menyesal, dan akhirnya menangis, Tidak ada hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Liz tidak punya prestasi, atau apapun. Bahkan sifat yang ada dirinya juga tidak bisa dibanggakan. Tidak penting menurutnya. Liz tidak merasa sifat baik, prestasi, atau lainnya adalah penting. Liz sudah merasa memiliki segalanya, hidupnya tidak kurang apalagi cacat, dan seharusnya dirinya sebagai manusia juga begitu. Dirinya sempurna. Cantik dan selalu membuat orang kagum, tidak akan ada yang bisa mengalahkannya,
“Jangan diambil! Biarkan paling tidak dua puluh menit.” Liz menahan tangan Ruby yang baru saja akan menyingkirkan irisan mentimun dari matanya.“Ini juga bisa meredakan sembab?” Ruby akhirnya kembali berbaring diam. Membiarkan Liz mengoleskan masker ke wajahnya. Entah masker apa, tapi aromanya harum dan rasanya sejuk. Ruby menurut saja.“Bisa. Aku lebih suka mentimun dari pada es. Terlalu dingin terkadang.” Liz mengoles masker pada pipi Ruby, di dekat telinga.“Kau benar belum pernah melakukan ini semua?” tanya Liz. Menegaskan keheranannya karena tadi Ruby mengatakan ia belum pernah melakukan perawatan kecantikan apapun.“Belum. Kapan kemarin Lori pernah mengajak, tapi hanya rambut tidak sampai wajah.” Ruby tidak pernah memfungsikan salon lebih dari tempat memotong rambut. Perawatan wajah dan lainnya tidak pernah terpikir.“Kau perlu pelajaran cara memanfaatkan kekayaan. Ini tidak benar.” Liz menggeleng tidak percaya.Ruby terlalu pasif dalam memanfaatkan uang yang dipunyai Ed, dan
Meski sudah tersebut, Liz masih tidak mengenali namanya. “Maaf, siapa?” “Kita belum pernah bertemu, tapi aku melihatmu di tempat Lana kemarin, dan aku terkesan dengan penampilanmu. Kau memakai gaun dari tempatku bekerja. Aku kagum karena kau memadukannya dengan sangat apik.” Liz mengernyit. “Tempatmu bekerja? Aku memakai gaun Hermes.” Liz memakai gaun dari butiknya yang belum terjual. Gaun yang paling mahal.“Benar, aku bekerja di sana. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu, tapi kau tutup hari ini.” Rein terdengar kecewa. “Kau ada di Gemma’s?” Liz langsung melonjak bangung. “Benar, aku ingin melihat ke dalam sebenarnya. Butikmu cantik sekali.” “Aku akan datang! Tunggu sebentar. Jangan kemana-mana… eh, tunggu saja di kedai kopi di dekat situ. Yang ada di ujung. Aku jamin kopinya enak. Aku akan datang ke sana.” Liz meraba tubuhnya dengan panik. Berusaha mencari kunci mobil yang tentu saja tidak ada. Liz tidak berencana pergi kemanapun hari ini. Setelah kekacauan hatinya, Liz mema
“Setelah ini kita bekerja dimana?” tanya Asher, sambil menatap Val yang tengah memakai teropong untuk mengamati Eren di gedung seberang. Memastikan tugasnya berjalan dengan benar.“Mmm… Aku belum memutuskan. Ada dua pilihan, kalau tidak Paris, atau Jepang.” Val belum sempat memilih.“Kau tidak mengambil Kuba?” Asher ingat ikut memasukkan Kuba ke dalam daftar sebelum menyerahkannya pada Val.“Ada apa denganmu?” Val menurunkan teropong dan akhirnya berpaling pada Asher. Mengalihkan perhatian.“Apa?” Asher mengangkat alis, tidak tahu Val mempermasalahkan apa. Pertanyaan tadi seharusnya normal.“Ini kedua kali kau mempertanyakan keputusanku mengambil pekerjaan. Biasanya tidak pernah. Apa kau ingin pergi ke Amerika?” Val mengerutkan kening dengan curiga.Asher banyak mengeluh, tapi tidak pernah mempertanyakan keputusan Val dalam mengambil pekerjaan sebelum ini. Asher akan bekerja sesuai permintaan.“Aku tidak mempertanyakan.” Asher langsung berbalik dan kembali menekuni keyboard laptopnya,
“Perempuan! Aku punya adik perempuan!” AJ yang pertama memekik saat melihatnya, dan menari girang menangkap confetti yang berhamburan itu.“YEAHH!”Lalu Lori yang langsung menghambur memeluk Ruby. “Selamat ya… Kau akan punya putri yang lucu pasti.”“Dua.” Ed menyahut.“Huh?” Semua keriaan padam sekejap, dan menatap Ed yang menunduk, mengambil selembar kertas yang tadi ikut jatuh dari dalam pinata. Diabaikan oleh yang lain, tapi Ed melihatnya.“Apanya yang dua?” tanya Ruby.“Ini. Twin.” Ed menunjukkan tulisan pada kertas itu dengan tangan sedikit gemetar. Bukan takut atau yang lain, tapi karena tidak percaya. Ruby pun sama.“Benarkah?” Ruby mendekat dan mengambil kertas itu dari tangan Ed, dan yang membaca bukan hanya Ruby. Lori dan Liz ikut mengintip dari balik bahu—bahkan Otiz juga penasaran.Tulisannya tidak berubah tentu, memang tertulis kata ‘twin’.Ruby memandang Liz dengan air mata berlinang. Kehamilan kembar itu wajar dialami Ruby, karena ia memiliki Liz. Ia sangat bisa mengand
Liz membubuhkan tanda pada daftar yang ada di pangkuan. Untuk gaun ketiga yang baru saja lewat di depannya. Warnanya yang cerah dan rok bertumpuk itu menarik perhatiannya—cantik. Kebetulan Liz punya syal yang cocok. Sudah terbayang ia akan memajangnya seperti apa nanti.Pajangan manekin di bagian depan butiknya adalah kekuatan utama dari tempat itu. Banyak orang yang masuk karena kemampuan Liz dalam memadu padan. Gaun yang saat sendirian tidak tampak menarik, akan menjadi pantas untuk dipakai begitu Liz memberi gaya yang tepat.“Apa kau yakin? Gaun itu nyaris tidak lolos saat pemilihan. Banyak yang tidka suka.” Rein berbisik dari sebelah, saat melihat Liz menandai gaun lain. Gaun berwarna kuning mostar yang mengingatkannya akan telur dadar. Tidak indah.Semua gaun yang saat ini sedang tampil di catwalk memang sudah disetujui, tapi belum tentu semua cocok untuk dijual. Jajaran koleksi musim panas tahun ini “Apa aku pernah salah mengambil gaun?” Liz membalik pertanyaan dengan percaya d
Meski sudah tertelan banyaknya tamu yang ada di sana, tapi Liz masih menemukan Asher dengan mudah. Sosoknya mencolok untuk Liz.Pria itu masih membawa gelas, dan tampak memilih makanan, lalu berbelok ke ruangan lain. Liz akan memanggil tapi sudah kembali hilang.Dengan langkah lebar, Liz mengikuti arah perginya Asher. Saat melihatnya lagi, Asher tampak tengah berdiri di sudut remang-remang, menghadap tembok. Tempat aneh, dan sikap aneh.Liz menyipitkan mata, mempertajam pandangan, Asher memasukkan sesuatu kedalam minumannya. Ia menggoyangkan minuman itu sebentar, lalu berjalan lagi.Liz masih mengikuti, dengan sejuta tanya baru. Terutama apa yang dilakukan Asher tempat itu sebenarnya.Asher muncul di ruang lain yang lebih sepi. Masih ada tamu, tapi tidak seramai ruangan utama tadi. Liz langsung lega saat melihatnya berhenti melangkah, tapi langkahnya ikut terhenti saat melihat apa yang membuat Asher berhenti.Wanita, cantik. Sepertinya salah satu model yang tadi mengikuti fashion show
Liz menggeram saat mencoba membuka mata. Kepalanya sakit sekali—berat. Sudah lama Liz tidak bangun dalam keadaan seperti itu, karena sudah lama ia tidak berpesta sampai mabuk.“Eh?” Liz terkesiap dan membuka matanya lebar-lebar melawan sakit itu, teringat kalau dirinya memang tidak berpesta sampai mabuk. Ada orang yang membuatnya pingsan.“Landak itu…”Liz kembali menggeram, marah karena ingat betul siapa yang melakukannya. Asher!Liz menyibak selimut dan turun, tapi langsung ambruk ke lantai. Kepalanya tidak sejalan dengan keinginannya untuk marah. Ia belum bisa berdiri lurus.“Shit!” Liz mengusap kepalanya beberapa kali, mengusap perlahan. Menunggu sampai pandangannya jernih. Apapun yang diberikan Asher sangat kuat efeknya, membuat Liz semakin ingin membunuhnya. Berani sekali landak itu menyentuh dan membuatnya pingsan.Liz duduk sejenak di lantai, menatap sekitar. Kamar tempatnya berada bermodel rococo—penuh bunga dan berlapis. Sangat asing karena hotel tempatnya mempunyai kamar y
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad