Liz menggeram saat mencoba membuka mata. Kepalanya sakit sekali—berat. Sudah lama Liz tidak bangun dalam keadaan seperti itu, karena sudah lama ia tidak berpesta sampai mabuk.“Eh?” Liz terkesiap dan membuka matanya lebar-lebar melawan sakit itu, teringat kalau dirinya memang tidak berpesta sampai mabuk. Ada orang yang membuatnya pingsan.“Landak itu…”Liz kembali menggeram, marah karena ingat betul siapa yang melakukannya. Asher!Liz menyibak selimut dan turun, tapi langsung ambruk ke lantai. Kepalanya tidak sejalan dengan keinginannya untuk marah. Ia belum bisa berdiri lurus.“Shit!” Liz mengusap kepalanya beberapa kali, mengusap perlahan. Menunggu sampai pandangannya jernih. Apapun yang diberikan Asher sangat kuat efeknya, membuat Liz semakin ingin membunuhnya. Berani sekali landak itu menyentuh dan membuatnya pingsan.Liz duduk sejenak di lantai, menatap sekitar. Kamar tempatnya berada bermodel rococo—penuh bunga dan berlapis. Sangat asing karena hotel tempatnya mempunyai kamar y
“Aku?” Pria itu menunjuk dirinya dengan wajah kebingungan yang mulai dibenci oleh Liz. Tampak sangat bodoh.“Ya, kau! Aku tidak menduga kalau kau bisa setolol ini! Apa tidak ada ingatan apapun di otakmu tentangku? Kau menyombong tentang kepintaran dan lainnya, tapi ingatanmu lebih pendek dari jari!”Liz masih ingin mengumpat, tapi matanya menangkap pandangan dari dua anak yang kebingungan. Kalau ada yang dipelajari Liz dari hidup bersama Ruby, salah satunya adalah untuk tidak mengumpat di depan anak kecil, karena mereka akan mudah sekali meniru.“Maksudku… kau sedikit pelupa. Itu… saja.” Liz menurunkan tensi suaranya, dan sedikit salah tingkah. Ada lima pasang mata menatapnya sekaligus dengan tercengang. Sudah pasti kekasarannya adalah pertunjukan menarik. Wanita yang tadi bicara bahasa Italia, kini melambai dan mengajak mereka masuk. Tahu kalau jenis percakapan itu tidak untuk didengar anak kecil.Lalu Anne-marie yang memecah suasana. Ia tertawa geli. "Kau seperti ibuku,” katanya.
“Hilang? Maksudmu?” Ed mengernyit. Ia tidak ingin salah mendengar.“Benar. Saya mendapat laporan dari kepolisian. Rein Cardenas, partner kerja Senorita Liz melaporkan kalau beliau tiba-tiba menghilang dari acara fashion show, tidak bisa dihubungi hampir dua puluh empat jam, dan tidak kembali ke hotel.”Ibanez menyerahkan salinan laporan polisi kepada Ed.“Polisi disana mengkonfirmasi identitas Senorita ke sini, dan orang kita disana menyadari siapa dia, lalu mengatakannya pada saya.” Ibanez menjelaskan lebih lanjut.Ed terhenyak bangun, karena sumber info itu tidak terduga. “Tidak boleh ada polisi yang mengabarkan pada Ruby! Apa mereka sudah menghubunginya?” tanya Ed.“Eh… saya…”“Katakan pada mereka untuk menunda! Sekarang!” bentak Ed. Kesal. Ibanez patuh, tapi nalarnya belum secepat Otiz. Untuk detail seperti itu, Ed masih harus memberi perintah. Kalau Otiz pasti sudah sejak awal mencegah info itu bocor ke arah Ruby.“Siapkan penerbangan ke Perancis,” kata Ed sementara Ibanez belu
“Tidak ada di laporan polisi.” Ed sudah membaca sekilas tadi. Tidak ada menyebut saksi. Kabar ini sangat baru. “Mereka jenis yang tidak mungkin bicara pada polisi,” kata Ibanez. “Oh, illegal.” Ed langsung paham kalau saksi itu kemungkinan berasal dari imigran ilegal. Mereka tidak mau bicara pada polisi, tapi akan membuka mulut pada orang yang tepat. “Kumpulkan orang lebih banyak. Aku ingin semua orang yang tidak sibuk datang dan mencarinya.” Setelah memastikan kalau Liz ada dalam bahaya, Ed mulai serius. “Baik, Don Rosas.” Ibanez kembali mengirim pesan dengan cepat. “Apa ada yang tahu kemana Liz dibawa?” tanya Ed. “Saya berhasil mendapat nomor plat, dan mobil yang dipakai untuk membawanya ditinggalkan terparkir di bandara kecil di luar Etampes. Sepertinya Senorita Liz tidak lagi ada di Perancis.” Ibanez membaca sisa laporan anak buahnya dengan takut-takut. “Shit! Apa ini? Apa ada yang menjualnya atau bagaimana?” Ed tidak ingin berprasangka seburuk itu, tapi bisa jadi. “Saya sed
“Mereka berbeda sekali,” kata Liz, sambil mengunyah sandwich yang menjadi makanan pertamanya hari ini.“Hm?” Anne-marie yang menemaninya, berpaling mengikuti pandangan mata Liz—menatap Eren yang sedang bermain dengan kedua anaknya.“Sifat maksudmu? Kalau wajah agak sulit. Aku mengenal mereka dari kecil, tapi terkadang masih salah mengenali saat dari kejauhan. Tapi kalau dari dekat aku tidak akan pernah salah. Asher sangat jarang tersenyum.” Anne-marie menjelaskan lebih lanjut dan Liz setuju.Memandang Eren saat siang, dari dekat, berpakaian normal, Liz tidak akan salah mengenali. Eren bergaya lebih rapi, dan lebih banyak tersenyum memang, lebih ramah. Ia meminta maaf dengan mudah tadi. Hal yang sepertinya tidak akan dilakukan Asher.“Dia seperti aku,” gumam Liz.“Apa?” Anne-marie tidak terlalu mendengar gumaman Liz karena sudah teralihkan oleh salah satu anaknya yang menghampiri.“Tidak ada.” Liz menggeleng, karena memang gumaman itu lebih untuk dirinya sendiri.Eren dan Asher, memili
“Kenapa ada satu mobil lagi?” Ruby berpaling ke belakang dan melihat satu mobil lagi yang memang mengikuti mereka. Ruby baru menyadarinya setelah mereka sampai di jalan yang lebih sepi. Mobil itu bersama mereka.“Ya, karena perlu. Sekitar sini wilayah keluarga Val.” Ed menjelaskan dengan lebih lega.Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan Ruby selama perjalanan dari Paris ke Italy–Lake Como. Ruby diam seribu bahasa semenjak mereka meninggalkan restoran itu.“Wilayah bagaimana?” Ruby hanya tahu Val teman Ed.“Keluarganya memiliki bisnis disini, dan seharusnya aku tidak bisa masuk sembarangan.” Ed mengatakannya sambil menggertakkan gigi dan meremas ponselnya—kalau bisa ia akan membanting ponsel itu sebenarnya..Kejengkelan itu tertuju untuk Val. Di saat genting seperti ini, sejak tadi tidak ada panggilannya yang masuk. Menyambung pun tidak. Ed tidak tahu apakah ponsel Val sedang mati atau mungkin ia sudah mengganti nomor. Tidak bisa diprediksi, padahal hanya Val satu-satunya yang
“Aku tidak menculik.” Suara lemah Eren kembali terdengar. “Kau membuatnya pingsan dan membawanya pergi ke negara lain! Itu bukan menculik?” Asher mendelik pada wajah yang amat mirip dirinya itu. “Aku tidak tahu dia siapa, dandan menyebut nama Anne-marie! Kau pikir aku akan melakukan apa?!” Eren tidak mau kalah. “Kau menyebut Anne-marie?” Asher akhirnya memandang Liz setelah sejak tadi seadanya saja menatap. “Eh.. Iya. Kau pernah menyebutnya.” Liz mengangguk. “Kau masih ingat?” Asher heran, karena ia juga ingat kalau menyebut nama itu sambil lalu saja. “Untuk apa kau menyebut nama Anne-marie saat bersamanya?” Ivy menyambar tanpa peringatan, jelas penasaran. “Tidak ada!” Asher menepis seketika. Tapi Liz menjawab jujur pada saat yang bersamaan, lebih panjang, lebih didengar. “Saya memiliki butik dan Asher mengatakan ingin memberi hadiah untuk wanita—namanya Anne-marie.” Jawaban itu membuat semua orang yang duduk di speedboat itu, tercengang. Bahkan Matteo yang tadi tampa
“Maaf, apakah kau pernah melihat wanita ini?” tanya Ruby, sambil menunjukkan foto Liz dari ponselnya. “No! No… English.” Wanita yang ditanyainya tergagap, dan menggeleng, lalu berlalu tergesa. Ruby mendesah, sekali lagi gagal, bahkan sebelum bertanya. Tidak semudah dugaan rupanya, karena banyak orang yang tidak menguasai bahasa Inggris disana. Kemarin Ruby sudah merasa sangat pintar karena lancar berbahasa Inggris, tapi sekarang kembali merasa bodoh. Pengetahuannya tidak berguna di saat genting. “Saya rasa Anda harus beristirahat.” Theo dengan khawatir meminta Ruby berhenti. Theo tidak bisa banyak membantu juga, ia bahkan tidak bisa berbahasa Inggris. “Aku belum menemukannya, Theo. Dia kakakku.” Ruby mengabaikan usulan itu, dan kembali berjalan, tapi memang sudah tidak terlalu mampu. Napasnya sudah terengah dan keringat memenuhi keningnya. Tubuhnya belum bertambah sangat gemuk, tapi perutnya mulai membesar dengan ukuran lebih dari yang dulu dialaminya. Napasnya dengan mudah sesa
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad