“Kenapa hilang? Aku sudah mengunggahnya di banyak tempat!” Lana meraih ponsel yang diulurkan Laura sambil mendecak tidak percaya.Ia sedang menikmati pijatan di punggung. Spa di salon adalah cara Lana dan Laura melepaskan stress akibat rencana mereka yang setengah jadi tadi. Tapi seharusnya tidak sangat gagal. Lana yakin ia sudah mengunggah dengan benar.Lana memakai file yang ada di ponselnya saat mengunggah tadi. Didapat dari temannya, yang memang sudah bersiap merekam sejak awal, berpura-pura menjadi bagian dari kerumunan setelah itu. Seharusnya tidak ada kesalahan.Lana bahkan menyertakan tautan ke beberapa akun besar, meminta pertolongan agar menyebarkan ketidakadilan yang dialaminya. Akun media sosialnya hanya memiliki lima ratusan pengikut—lebih banyak dari Laura. Tidak sangat ramai, tapi lumayan untuk memulai keributan, apalagi dengan topik hangat.Tapi Laura juga tidak berbohong. Semua video unggahannya tidak tersedia. Tautan yang dibagikan tidak lagi valid.“What the fuck? K
“Undangan di fashion show Hermes? Kau bercanda, Lana!” Rein tertawa, karena tidak percaya juga saat Lana menyebut ia mendapat undangan kemarin.“Aku tidak berbohong! Lihat ini!” Lana menunjukkan pesan yang didapatnya kemarin pada Rein.“Woa!” Rein memeriksa pesan itu, dan teryakinkan juga, karena memang bentuknya sangat rapi.“Tapi aku tidak bisa mengisi ini. Awalnya bisa, tapi ponselku error setelah itu,” keluh Lana.“Hmm… Itu… kau yakin ini asli?” Rein juga mencoba membuka tautan itu tapi tidak bisa.“Asli! Kau tidak lihat lambang dan lainnya di profil pengirimnya? Ini asli. Karena itu aku ingin kau bertanya. Mungkin kau bisa bertanya dan meminta pada bagian yang mengurus ini untuk mengirim ulang link yang masih berlaku. Aku akan berhati-hati saat membukanya.” Lana memohon dengan manis. Tujuannya mendekati Rein adalah itu. Ia membuat acara dadakan di rumahnya agar tidak mencurigakan kalau mengundang Rein tiba-tiba. Mereka tidak dekat, tapi Lana butuh karena tahu Rein memiliki konek
“Bagaimana kalau sekarang kita bicara seperti orang yang beradab? Tanpa kekerasan dan pemerasan.” Liz lalu menatap Laura,“Kau juga. Apa aku perlu menunjukkan sesuatu tentangmu juga?” Liz mengancam tentu.Laura menggeleng. Ia melihat foto Lana dengan jelas, dna bisa membayangkan Liz memiliki foto kurang lebih sama, karena ia juga menyimpan beberapa di dalam ponselnya.“Ayo, kecuali kau mau mereka semua tahu tentang ini.” Liz melangkah terlebih dulu ke bagian dalam, sambil melambaikan ponselnya di udara. Layarnya mati, tapi dalam sekali sentuh akan menyala dan kemungkinan tamu disana akan melihat foto itu.Mereka berdua langsung bergegas mengikuti sebelum layar ponsel itu benar-benar menyala dan mempermalukannya.***“Apa aku pernah mengemis pada kalian?” tanya Liz, sambil duduk di tepi ranjang Lana.Mereka mengungsi ke kamar. Tempat dimana tidak ada tamu dan tidak ada yang mendengar.“Apa maksudmu?” Lana bertanya dengan takut-takut.Ia berdiri sedikit jauh dari ranjang, sambil melirik
“Kau ingin mengambil apa?”“Aghhh!” Liz memekik kaget karena tidak menyangka ada orang di dapur yang gelap itu.Liz memandang sekitar dengan bantuan cahaya dari lampu kulkas akhirnya menemukan seseorang duduk di depan konter dapur.“Ruby? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Liz, sambil beranjak menghidupkan lampu. Ia membutuhkan es untuk mengompres matanya yang sembab, tidak menyangka ada yang datang lebih pagi ke dapur rupanya.Liz menyusup ke dapur pagi-pagi sebelum fajar agar tidak bertemu siapapun. Ia memang membatasi pertemuan dengan seluruh penghuni rumah. Kalau perlu hanya bertemu saat di meja makan—yang mana sudah seperti aturan wajib di rumah itu.“Kau makan… itu?” Liz akhirnya melihat dengan jelas setelah lampu menyala. Ruby duduk sambil memeluk box yogurt ukuran besar, terbuka dan ada botol madu di samping tangannya. Sendok yang ada di tangan kanannya juga belepotan. Tidak sulit menebak.“Aku lapar…” Ruby menutup box yogurt itu sambil meringis bersalah. Menyendok yogurt l
“Itu…” Ruby bingung. Kalau sangat jujur, Ruby akan mengangguk, tapi anggukan itu akan membuat tangis Liz semakin keras. “Siapa yang mengatakan itu? Jangan dengarkan.” Ruby menghindar. “Memang benar aku seperti itu bukan? Aku hanya punya cantik.” Liz berusaha menghapus air matanya sendiri, tapi masih terus mengalir. Dari perselisihan dengan Lana dan Laura, Liz menemukan satu hal yang mungkin seharusnya disadari dari dulu. Liz mendorong semua perasaan itu karena tidak ingin merasa bersalah—menyesal, dan akhirnya menangis, Tidak ada hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Liz tidak punya prestasi, atau apapun. Bahkan sifat yang ada dirinya juga tidak bisa dibanggakan. Tidak penting menurutnya. Liz tidak merasa sifat baik, prestasi, atau lainnya adalah penting. Liz sudah merasa memiliki segalanya, hidupnya tidak kurang apalagi cacat, dan seharusnya dirinya sebagai manusia juga begitu. Dirinya sempurna. Cantik dan selalu membuat orang kagum, tidak akan ada yang bisa mengalahkannya,
“Jangan diambil! Biarkan paling tidak dua puluh menit.” Liz menahan tangan Ruby yang baru saja akan menyingkirkan irisan mentimun dari matanya.“Ini juga bisa meredakan sembab?” Ruby akhirnya kembali berbaring diam. Membiarkan Liz mengoleskan masker ke wajahnya. Entah masker apa, tapi aromanya harum dan rasanya sejuk. Ruby menurut saja.“Bisa. Aku lebih suka mentimun dari pada es. Terlalu dingin terkadang.” Liz mengoles masker pada pipi Ruby, di dekat telinga.“Kau benar belum pernah melakukan ini semua?” tanya Liz. Menegaskan keheranannya karena tadi Ruby mengatakan ia belum pernah melakukan perawatan kecantikan apapun.“Belum. Kapan kemarin Lori pernah mengajak, tapi hanya rambut tidak sampai wajah.” Ruby tidak pernah memfungsikan salon lebih dari tempat memotong rambut. Perawatan wajah dan lainnya tidak pernah terpikir.“Kau perlu pelajaran cara memanfaatkan kekayaan. Ini tidak benar.” Liz menggeleng tidak percaya.Ruby terlalu pasif dalam memanfaatkan uang yang dipunyai Ed, dan
Meski sudah tersebut, Liz masih tidak mengenali namanya. “Maaf, siapa?” “Kita belum pernah bertemu, tapi aku melihatmu di tempat Lana kemarin, dan aku terkesan dengan penampilanmu. Kau memakai gaun dari tempatku bekerja. Aku kagum karena kau memadukannya dengan sangat apik.” Liz mengernyit. “Tempatmu bekerja? Aku memakai gaun Hermes.” Liz memakai gaun dari butiknya yang belum terjual. Gaun yang paling mahal.“Benar, aku bekerja di sana. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu, tapi kau tutup hari ini.” Rein terdengar kecewa. “Kau ada di Gemma’s?” Liz langsung melonjak bangung. “Benar, aku ingin melihat ke dalam sebenarnya. Butikmu cantik sekali.” “Aku akan datang! Tunggu sebentar. Jangan kemana-mana… eh, tunggu saja di kedai kopi di dekat situ. Yang ada di ujung. Aku jamin kopinya enak. Aku akan datang ke sana.” Liz meraba tubuhnya dengan panik. Berusaha mencari kunci mobil yang tentu saja tidak ada. Liz tidak berencana pergi kemanapun hari ini. Setelah kekacauan hatinya, Liz mema
“Setelah ini kita bekerja dimana?” tanya Asher, sambil menatap Val yang tengah memakai teropong untuk mengamati Eren di gedung seberang. Memastikan tugasnya berjalan dengan benar.“Mmm… Aku belum memutuskan. Ada dua pilihan, kalau tidak Paris, atau Jepang.” Val belum sempat memilih.“Kau tidak mengambil Kuba?” Asher ingat ikut memasukkan Kuba ke dalam daftar sebelum menyerahkannya pada Val.“Ada apa denganmu?” Val menurunkan teropong dan akhirnya berpaling pada Asher. Mengalihkan perhatian.“Apa?” Asher mengangkat alis, tidak tahu Val mempermasalahkan apa. Pertanyaan tadi seharusnya normal.“Ini kedua kali kau mempertanyakan keputusanku mengambil pekerjaan. Biasanya tidak pernah. Apa kau ingin pergi ke Amerika?” Val mengerutkan kening dengan curiga.Asher banyak mengeluh, tapi tidak pernah mempertanyakan keputusan Val dalam mengambil pekerjaan sebelum ini. Asher akan bekerja sesuai permintaan.“Aku tidak mempertanyakan.” Asher langsung berbalik dan kembali menekuni keyboard laptopnya,
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad