“Apa itu!?”
Suara lantang seorang pria membangunkan Ruby yang masih terlelap, merasa lelah setelah malam panjang yang membuat area bawahnya perih.
Saat Ruby membuka mata, wanita itu terkejut melihat pria yang sudah sah menjadi suaminya berdiri menjulang di samping ranjang, memandangnya dengan kening berkerut.
Ruby memaksakan kepalanya berpaling, manik cokelatnya mengarah ke telunjuk Eduardo. Tepat saat itulah, Ruby menyaksikan noda merah pekat yang mengotori bed cover tempat keduanya bergumul semalaman.
“Darah.” Ruby menjawab dalam gumaman, karena tidak yakin jawabannya benar. Noda itu sudah jelas adalah darah, tidak perlu ditanyakan. Ruby curiga kalau pertanyaan itu hanya jebakan.
“Aku tahu itu darah! Tapi kenapa kau berdarah?! Kau tidak sedang menstruasi, kan?!” Bentakan Eduardo, semakin keras. Ruby tentu saja dengan otomatis tersentak, sementara perlahan wajahnya memerah–malu.
Ia jelas tahu darah itu berasal dari mana, dan seharusnya Eduardo juga tahu. Hal itu membuat Ruby terdiam. Apakah mungkin pria itu menganggap bahwa dirinya adalah wanita murahan yang tidur dengan sembarang pria?
Ruby masih menunduk dan meremas kedua tangannya—kebingungan hingga akhirnya wanita itu menggelengkan kepalanya dengan keras. Darah itu bukan karena tamu bulanannya.
“Jawab aku!” bentak Eduardo. Tidak puas dengan jawaban tanpa suara.
Bentakan yang membuat Ruby beringsut menjauh karena ketakutan. Tapi gerakan menjauh itu malah membuat Eduardo semakin jengkel. Ia menarik selimut yang menutupi tubuh Ruby.
“AH!” Ruby berteriak kaget sambil berusaha mempertahankannya, tapi Eduardo menyentak dan menepis tangan Ruby, lalu membuang selimut itu ke lantai. Kemudian ia menarik kedua kaki Ruby mendekat.
“Lepaskan!” Ruby sadar kalau ia seharusnya tidak melawan, tapi Ruby merasa dirinya akan mati kalau sampai pria itu mengulang apa yang dilakukannya tadi malam.
“Jangan…” Ruby mulai terisak dan memohon dengan tubuh gemetar, karena Eduarado menahan pinggangnya, dan membuka lebar kakinya. Ruby berusaha menutupi dengan kedua tangan, tapi Eduardo juga menyentakkan tangan itu ke samping.
“Aku mohon…jangan... ” Ruby benar-benar memohon. Selain sakit, Ruby merasa malu, karena pria itu memandang di tepat diantara kedua kakinya yang terbuka.
“Jangan katakan kau belum pernah tidur dengan pria!”
Eduardo akhirnya melepaskan kedua kaki Ruby, dan kembali menegakkan tubuh. Ruby dengan lega berguling menjauh, dan meringkuk memeluk tubuhnya yang masih gemetar. Ia ingin menutupi tubuhnya memakai selimut. Malu sekaligus takut.
Tapi selimut itu ada di dekat kaki Eduardo. Ruby tidak ingin mendekatinya, karena terlalu takut.
“Bagaimana bisa…” Eduardo terdiam karena melihat Ruby menangis. Tidak mungkin mengajaknya bicara lagi. Ruby gemetar dan tidak mungkin bisa menjawab pertanyaannya lagi.
Eduardo mendecak, lalu masuk ke dalam lemari untuk berganti pakaian. Keningnya masih tampak berkerut karena heran.
Ruby tidak memandangnya, tapi isakannya semakin keras saat mendengar pintu kamarnya tertutup, terjebak antara perasaan lega dan meratapi nasib.
***
“Aku tidur dengannya.” Eduardo duduk dan menyilangkan kaki.
“Aku pastor, Ed. Apa menurutmu pantas membahas hal itu denganku?” Javier menutup buku yang ada di tangannya dan memandang Eduardo. Tidak heran sebenarnya, karena Eduardo memang selalu terbuka padanya.
“Mungkin tidak pantas, tapi kau adikku dan kau juga yang menyuruhku menikah dengannya. Jadi kau harus tahu.” Eduardo meraih kopi yang ada di meja dan meminumnya. Tanpa permisi, meski sudah jelas kalau kopi itu milik Javier.
“Aku tidak menyuruh, tapi menyarankan. Kau yang tiba-tiba saja memutuskan Mayte. Aku mengkhawatirkan masa depan keluarga Rosas. Kau tahu aku tidak mungkin menikah.” Javier tidak mau menjadi tertuduh karena memang tidak memaksa.
“Aku merasa kalau tawaran Esli untuk mnenikahkan anaknya denganmu—sebagai bentuk tanggung jawab juga cukup bagus. Pernikahan ini akan membuatnya tidak banyak bertingkah lagi. Memastikan ia akan setia. Dan kau juga sempat jatuh cinta pada Lizeth bukan?”
Eduardo mendengus. “Jatuh cinta? Aku hanya menganggapnya cantik, dan kapan itu? Empat belas? Lima belas? Itu sudah dua puluh tahun berlalu.”
Eduardo bahkan tidak bisa mengingat kapan hal itu terjadi, dan jelas Liz tidak masuk dalam umur untuk dicintai saat itu. Umur Liz mungkin baru tiga saat mereka bertemu. Eduardo melihatnya seperti boneka lucu yang cantik dan bermain dengannya.
“Itu modal. Paling tidak wajahnya masih masuk dalam seleramu.” Javier mengambil sisi positf.
“Wajahku yang tidak masuk dalam seleranya,” desis Eduardo, sambil mengusap bagian wajahnya yang tidak rata.
“Itu…” Javier terdiam dengan wajah sedih. Ia tidak punya penghiburan untuk masalah itu.
“Aku bukan ingin membahas wajah tadi. Aku tidur dengannya.” Eduardo mengembalikan pembicaraan.
“Aku harus melakukan apa dengan informasi itu? Merayakannya?” Javier merebut kopinya dari tangan Eduardo, sambil memutar bola mata. Ia tidak mengerti kenapa Eduardo harus mengulang informasi itu.
“Dia masih perawan. Lizeth Marin Ramos masih perawan,” kata Eduardo.
Javier menyemburkan kopi di mulutnya. Tersedak karena terkejut.
“Lizeth? Dia perawan?! Bagaimana mungkin? Wanita itu jelas bukan Liz kalau masih perawan!”
“Lalu kau pikir aku tidur dengan siapa? Aku mabuk tapi masih bisa membedakan wajah!” bentak Eduardo. Jengkel karena Javier malah berpendapat absurd. Eduardo tahu ia mabuk tadi malam, tapi tidak mungkin menduri wanita yang salah.“Tapi bagaimana mungkin? Ini Liz. Aku tahu benar pergaulannya seperti apa. Dia beruntung lolos dari tanganku… dulu.” Javier menambahkan karena pergaulannya saat ini tentu berbeda.“Aku sering bertemu dengannya di hotel bersama pria bergantian setiap kalinya. Sebentar! Aku ingat dulu.” Javier mengerutkan kening, lalu melipat telunjuknya untuk menunjuk hitungan pertama.“Aku bertemu dengannya di Cancun, lalu Chilangolandia*. Terakhir aku bertemu dengannya di resort Playa del Carmen. Ia memakai bikini dan bergandengan tangan ke pantai—dia delapan belas saat itu.” Javier menampilan sederet bukti yang membuatnya sulit percaya kalau Lizeth Ramos masih perawan.“Dia juga pernah dikabarkan dekat dengan salah satu pemain film bukan? Aku lupa yang mana.” Kabar itu terl
Ruby bisa melangkah dengan lebih baik. Masih merasakan nyeri diantara kakinya, tapi tidak lagi menyiksa. “Sebentar.” Ruby mendengar ketukan di pintu kamar tadi, dan memaksakan diri untuk berjalan. Ruby bersyukur telah merapikan diri. Setelah menangis dengan puas tadi, Ruby berendam cukup lama di bak mandi mewah yang ada di kamarnya. Penampilannya cukup layak sekarang, meski rambutnya masih separuh basah. Ruby berharap matanya yang lebam tidak terlalu kentara. “Senora* Rosas, Anda sudah bangun dan terlihat cantik..” Ruby mendengar sapaan bernada ramah dan lembut saat membuka pintu. Ruby jelas tidak tahu siapa. Semua orang yang dilihatnya saat hari pernikahan kemarin tidak lebih sepintas lalu—baik tamu maupun penghuni rumah itu. “Saya, Tita. Pelayan di sini. Saya mengurus makanan dan kebutuhan rumah.” Tita mengulurkan tangan sambil membungkuk. Kulitnya gelap, sementara tubuhnya kurus, tapi tampak tegap. Rambutnya yang berbaur dengan warna abu-abu, terkepang dua dengan rapi. “Ru
“Perkenalkan, Pedro. Aku tinggal di sini juga. Aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi aku ikut menolong saat kau pingsan kemarin.” Pria itu mengulurkan tangan. Meski tidak ingin, Ruby terpaksa menerima. Ia tidak ingin bersikap tidak sopan pada salah satu penghuni rumah itu. Dan tentu Ruby tidak ingat pria itu menolongnya. Ia benar-benar pingsan tanpa menyisakan kesadaran setelah melihat wajah Eduardo.“Halo.” Ruby mengangguk pelan, sambil melirik lorong. Berharap Tita lebih cepat kembali. Ia tidak ingin bersama pria itu berdua saja.“Aku pikir pernikahan kalian tidak akan terjadi. Tapi akhirnya rumah ini bisa lebih ceria. Wajah baru yang cantik membuat perbedaan yang nyata.” Pedro memuji, tapi Ruby sama sekali tidak gembira mendengarnya. Jenis pujian cantik itu berbeda dengan yang didengar dari Tita tadi. Jenis yang ini sering didengar Ruby saat ia bekerja di restoran. Sebagai pelayan restoran, Ruby tentu sering bertemu konsumen hidung belang, dan membuat muak.“Kau pendiam rupa
“Senora Mía!” Tita memekik kaget, sambil memandang kerja kerasnya yang terbuang.Wanita yang bernama Mía itu tidak peduli tapi. Ia terus memandang Ruby dengan mata tajam.Ruby tidak tahu siapa dia, tapi Ruby tahu kebencian wanita itu pada dirinya sama seperti Eduardo. Mata yang memandang dengan dendam.“Siapa yang mengatakan kau boleh memberinya makan?!” Mía marah pada Tita, tapi wajahnya tetap memandang Ruby. Maka Ruby memutuskan untuk bicara. Membela Tita paling tidak.“Maaf, aku tidak bermaksud…”“Saat jam sarapan datang dan kau tidak muncul. itu berarti aku anggap kau tidak ingin makan! Jangan berani-beraninya meminta sarapan khusus hanya untukmu saja!” Mía memotong penjelasan Ruby. Sejak awal memang tidak ingin mendengar.“Senora, saya yang…”Bahkan pembelaan Tita pun diputus dengan dejakan lidah.“Aku tidak memintamu bicara! Bekerjalah, dan bereskan itu!”Mía menunjuk kekacauan yang ada di lantai, lalu telunjuknya beralih pada Ruby.“Kau dengar, Lizeth Ramos! Kau mungkin menika
“Halo?” Ruby menjawab dengan takut-takut. Pria tua itu tampak ramah dan lemah awaknya, tapi itu tipuan. Ruby tidak akan lupa tamparan yang diberikan pria itu kemarin.“Kau belum mengacau bukan?” Terdengar pertanyaan bercampur geraman dari Esli.Rasa takut Ruby berkurang jauh seketika. Menyadari kalau geraman itu tidak lebih dari ancaman kosong. Ia tidak perlu takut, Esli tidak bisa menyentuhnya saat ini. kalau hanya omelan, Ruby masih bisa menanggungnya.“Mengacau dalam hal apa?” tanya Ruby dengan sedikit lebih berani. Sikap hormat yang kemarin ditunjukkan Ruby karena menganggap Esli pria yang tengah bersedih akibat anaknya mengalami kecelakaan dan koma, tidak lagi ada. Baginya, Esli tidak lebih dari penipu yang memanfaatkannya.“Kau jangan macam-macam!” Esli terdengar semakin marah.“Aku tidak mengacau.” Ruby tidak ingin membuatnya marah lebih jauh. Teringat ibunya masih ada bersama Esli. Kalau tahu wajah asli Esli adalah penipu, Ruby tidak akan membiarkan Esli membawanya. “Kalau
“Tidak akan terjadi! Kau tidak akan menikah dengannya.” Esli menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke kursi. Lelah dengan tiba-tiba.“Oh, syukurlah.” Liz lega ayahnya tidak ingkar janji.“Tapi kau pergilah! Ke Paris atau kemana terserah. Jauhi negara ini. Jangan pulang sebelum aku minta,” kata Esli dengan tegas.“BENARKAH?!” Liz memekik girang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Liburan mendadak selalu terdengar menyenangkan.“Jangan sampai bertemu dengan teman-teman yang mengenalmu tapi.” “Hah? Kenapa begitu?” Liz merajuk dengan menghentakkan kaki. Apa gunanya berlibur kalau tidak bisa bersama teman-temannya?“Kau pergi saja dan jangan menghubungi siapapun dari sini! Aku akan mengawasimu!” Esli tidak mendengar protes itu dan menyuruh dengan lebih tegas.“Tapi…”“BERANGKAT SEKARANG!”Liz tersentak dan menatap ayahnya dengan mata memerah. Ini pertama kali ia mendengar ayahnya membentak. Liz menyambar vas yang ada di atas meja lalu membantingnya ke lantai. Ungkapan emosi sebag
“Kau tahu aku sibuk,” kata Ed, sambil memijat keningnya. Nyeri itu masih ada. Obat itu sepertinya tidak berguna.”“Dan kenapa kau bertanya?” Ed bertanya, tapi sudah tahu apa jawabannya.“Kau punya istri sekarang. Tanggung jawabmu adalah untuk pulang.”Tebakan Ed tidak salah. Javier membahas hal yang tidak ingin didengarnya.“Kau terlalu peduli dengannya!” desis Ed.“Dia istrimu sekarang. Tentu aku peduli. Kau seharusnya datang dan mencoba untuk dekat dengannya. Meminta maaf paling tidak. Kau menyakitinya.” Javier mengomel.“Haruskah? Aku tidak memaksa…”“Entah kau memaksa atau tidak, kau membuatnya menangis! Kau ingat menangis? Hal yang terjadi saat ada yang merasa sakit, terluka atau sedih, marah juga.” Javier tentu hanya tengah bersikap sarkastik. Menyindir Ed—menyebutnya tidak berperasaan karena tidak mengerti emosi.“Aku tidak sangat bodoh!” gerutu Ed.“Tapi sekarang terlihat seperti itu! Pulang dan urus dia!” Javier kini tidak menyarankan lagi, tapi menyuruh.“Nanti!” Ed tidak me
Ruby memegang rak penyimpanan piring sambil mengatur napas. Tiba-tiba saja pandangannya gelap tadi, hanya sekilas. “Senora, apa Anda yakin bisa membawanya?” Tita menyerahkan nampan makanan pada Ruby dengan wajah ragu. “Oh, bisa.” Ruby menegakkan tubuh. Ia sudah meminum teh manis tadi, dan tubuhnya sudah cukup segar. Ia membantu Tita sejak tadi tanpa masalah—bersama dua pelayan lain. Makanan itu adalah jatah Pastor Javier. Satu-satunya penghuni rumah yang boleh tidak datang ke meja makan rupanya Javier. Biasanya Tita yang mengantar. Ruby menawarkan diri untuk membawa makanan itu pondok di sebelah chapel yang menjadi tempat tinggal Javier. Bukan karena terlalu rajin, tapi pilihan yang lain adalah menyiapkan makanan di meja. Ruby tidak ingin berada di ruang makan itu. Bisa jadi Pedro akan mendatanginya lagi. Mía mungkin buta sampai tidak bisa melihat kalau pria itu mata keranjang. “Ini tidak berat.” Ruby mengangguk meyakinkan Tita. Nampan itu tidak sangat berat. Ruby biasa membawa
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad