Aksen memijat kepalanya yang terasa pening. Untuk menetralkan stressnya, ia memilih duduk di kursi pinggiran kolam renang belakang rumahnya. Merebahkan badan dan menikmati udara yang sejuk mungkin akan sedikit membantu otaknya kembali tenang.
“Lemon tea bagus untuk mengurangi stress berlebih,” ujar Amora seraya menyimpan segelas lemon tea buatannya di atas meja samping Aksen. Pria itu tak merespon sedikit pun. Posisinya masih tetap dengan kedua lengan dilipat dibelakang kepala dan tatapan lurus ke depan.Amora menghela napas panjang ketika tak menerima respon apapun dari suaminya. “Aku ingin kau mendengar satu kebenaran dariku.” Amora masih setia berdiri disamping suaminya.“Waktu itu, sehari sebelum hari pernikahan tiba- ”“Aku tak peduli,” potong Aksen berucap tanpa intonasi.“Setidaknya kau harus tahu kejadian sebenarnya, jangan menyimpulkan sendiri!”Aksen menoleh kepada Amora dengan tatapan tak terbaca. Pria itu menampilkan senyum smirk-nya kemudian terkekeh meledek Amora.“Kebenaran apa? Kebenaran kalau kau sengaja menyekap Aurel, supaya bisa merebut posisinya menjadi pengantinku? Hah, sama sekali tak bisa kubayangkan ada wanita sekeji dirimu, Amora!” ucap Aksen kembali ke posisi sebelumnya.Tampak kerutan di antara jarak kedua alis Amora. Wanita itu sangat heran dengan apa yang diucapkan suaminya. Kenyataan diperoleh dari mana yang suaminya nyatakan tadi itu.“Tuan Aksen, opinimu sangat berlebihan. Apa tidak bisa kau mendengar kenyataannya dariku langsung?” geram Amora.“Untuk apa? Mendengar alibi-alibi bodohmu? Telingaku terlalu suci untuk menangkap kata-kata munafik dari mulutmu itu!”Amora kembali menghela nafas. Kata-kata kejam yang dilontarkan Aksen masih sama seperti dulu. Kebenciannya terhadap Amora tidak pernah padam, apalagi ditambah sekarang dia dituduh sebagai perebut kebahagiaan Aurelia, kebencian Aksen semakin menggunung terhadap Amora.“Baiklah. Terserah kau mau menganggap ucapanku ini apa. Yang penting, aku ingin kau mendengarnya. Pernikahan ini terjadi bukan karena aku yang merebutmu darinya, tapi karena wanitamu sendiri yang menyerahkanmu padaku, karena dia tidak mencintaimu sama sekali!”“CUKUP! AKU BILANG AKU GAK BUTUH SEMUA OMONG KOSONGMU!!”Amora menutup matanya sejenak. Lagi-lagi bentakan Aksen membuat dadanya berdebar tak beraturan. Ia mencoba mengatur nafasnya untuk lebih rileks agar meminimalisir detak jantung yang semakin kencang.“Aku tau kau menyadari itu semua. Mau sampai kapan kau pura-pura percaya Aurelia mencintaimu?” ungkap Amora membuat Aksen beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan mendekat menghampiri Amora yang masih berdiri menatapnya.“Kau pikir aku akan percaya padamu, hm? Kau pikir dengan kau mengatakan itu semua, aku akan melepas Aurel lalu mencintaimu, begitu?!” Aksen berucap seraya menekuk kedua tangan menopang pinggangnya.“Justru dengan kau mengatakan ini, aku semakin bertekad untuk menceraikanmu dalam waktu dekat!” lanjut Aksen seraya berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Amora yang masih mematung di tempat.“Kau yakin mau menceraikanku, Aksen? Apa kau tak ingat dengan ucapan ibu ketika merobek map biru yang kau tinggalkan di meja kemarin?”Aksen menghentikan langkahnya. Ia kembali ingat ancaman ibunya yang begitu mematikan. Kemarin setelah pertengkaran itu terjadi, malamnya Rina kembali mengomel kepada Aksen perihal map biru yang Aksen tinggalkan di atas meja.Rina segera merobek map itu ketika ia tahu di dalamnya terdapat surat perceraian yang harus ditanda tangani oleh Amora. Rina murka, bahkan ia mengatakan kalau sampai Aksen bercerai dengan Amora, ia tak akan segan-segan mencoret nama Aksen dari daftar pewaris keluarga dan memberikan perusahaan miliknya kepada Amora.Tangan Aksen mengepal mengingat itu. Rahangnya mengeras hingga memperlihatkan tulang pipi yang kokoh membentuk wajah tampannya. Ia berbalik dan berjalan menuju Amora kembali.“Kau pikir aku takut?” ucap Aksen geram.“Aku tak bilang begitu. Aku hanya tak ingin kau memutuskan sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri,” ucap Amora tak habis akal.“Cih! Kau pintar sekali berbual. Pantas saja banyak perusahaan yang mau bergabung dengan perusahaanmu, itu semua pasti karena ucapanmu yang pintar berbual ini.” Aksen tersenyum miring mengejek Amora.“Kau salah, Aksen. Mereka mau bergabung denganku bukan karena ucapanku yang menjanjikan. Tapi karena mereka pintar memilih, siapa partner terbaik untuk dijadikan tim agar menghasilkan sesuatu yang terbaik.” Amora masih berusaha bersikap tenang di depan Aksen. Jika saja emosinya terpancing, ia akan disebut kalah.Aksen terkekeh pelan. “Pintar memilih? Atau jangan-jangan kau menjanjikan sesuatu diluar bisnis, nona Amora? Berapa malam yang kau habiskan untuk melayani mereka supaya mau bergabung dengan perusahaanmu?”Amora kembali mengatur nafasnya perlahan. Ia harus tetap tenang meskipun Aksen terus memancing emosinya.“Kau sangat berlebihan, tuan Aksen. Aku bahkan tidak kerpikiran untuk melakukan hal itu,” jawab Amora masih terlihat tenang.“Tak usah mengelak. Aku bahkan tidak peduli kau berbuat itu atau tidak sekalipun!” cuek Aksen“Aku peduli, karena kau suamiku,” ucap Amora kembali mempertegas statusnya sebagai istri dari Aksen.“Tapi aku tidak pernah menganggap kau sebagai istriku! Jika saja bukan karena ancaman ibu, aku akan menceraikanmu hari ini juga!” tegas Aksen.“Karena itulah aku tak mau bercerai denganmu. Aku ingin membantumu mendapatkan perusahaan itu,” ucap Amora lagi.“Terserah kau saja! Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, aku tidak akan menganggapmu istriku sampai kapanpun!” Aksen tetap dengan pendiriannya. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa Amora adalah musuhnya dan berbalas dendam kepadanya adalah hal yang wajib ia lakukan.“Syukurlah. Aku senang jika kau tak mengungkit kata-kata cerai lagi.”Aksen kembali tersenyum miring. “Kau pikir kau akan hidup tenang di rumah ini? Aku akan membuat hidupmu menderita, lebih dari apa yang kau bayangkan sebelumnya!”Amora melirik jam tangannya sejenak. Nampaknya hari ini ia bekerja sangat keras, sampai tak menyadari ternyata malam sudah sangat larut. Amora menghela nafas panjang seraya menutup pintu ruangan pasien terakhir yang ia kunjungi. Setelah memastikan semua pasiennya dalam keadaan baik-baik saja, Amora berniat pergi menuju ruang inap kakeknya yang masih dalam keadaan kritis.Keadaan rumah sakit sangat sunyi. Lorong-lorong ber-AC yang biasa menyejukkan di siang hari, akan terasa menusuk kulit jika di malam hari. Amora memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya untuk meminimalisir dinginnya malam.Amora berhenti di depan pintu sebelah kanan lorong rumah sakit. Kemudian ia masuk dan menghampiri kakeknya yang masih terbaring lemas diatas ranjang pasien. Amora tersenyum seraya merapihkan selimut kakeknya kemudian duduk di atas kursi yang sudah tersedia.Perempuan itu tersenyum lembut. Tangannya terulur untuk mengusap pelan tangan keriput s
“Saya sudah memeriksa laporan dari semua divisi perhubungan, sepertinya Tuan Narendra belum melakukan tindakan yang mencurigakan akhir-akhir ini.”Amora mengangkat kedua alis setelah mendengar kabar baru dari sekretarisnya. Beberapa hari yang lalu Amora ditunjuk sebagai pimpinan sementara perusahaan kakeknya semenjak Artawijaya masuk rumah sakit. Para pemegang saham setuju menunjuk Amora untuk mengganti kakeknya, karena dari awal ia menjabat sebagai wakil pimpinan, Amora sudah terlihat bertanggung jawab terhadap perusahaan. Terpaksa ia harus bisa membagi waktu antara rumah sakit dan perusahaan.“Aku dengar, di hari pernikahanku dengan Aksen dia mengirim sesuatu ke kantor?” tanya Amora menoleh kepada Riri. Riri mengangguk kemudian merogoh sakunya untuk mengambil sesuatu.“Benar Bu. Tapi, kiriman selain ini, sudah saya buang di hari dia mengirimkannya untuk anda,” ucap Riri seraya memberikan secarik kertas yang dilipat kepada Amora. “Kena
Sepulang dari seminar, Amora langsung pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Sebelumnya ia mengedarkan pandangannya ke lantai atas, untuk memastikan suaminya sudah tidur atau belum. Tapi sepertinya Aksen sudah tidur.Merasa tubuhnya sangat lengket, Amora menanggalkan kardigan panjangnya hingga menyisakan celana bahan dan tangktop putih di tubuhnya. Dengan pakaian seperti itu Amora terlihat sangat seksi, apalagi rambutnya sengaja ia ikat sehingga menampilkan leher jenjangnya yang mulus.Amora menyentuh tenggorokannya yang terasa kering. Terpaksa sebelum melanjutkan ke kamar mandi, ia pergi ke dapur untuk meminum sesuatu yang membuat tenggorokannya lebih lega. Setelah menghabiskan segelas air dingin, kini giliran perutnya yang minta jatah. Akhirnya Amora memasak nasi goreng sebagai pengganjal rasa laparnya.Wanita itu kini tengah menikmati masakannya yang sudah terhidang di meja makan. Air liurnya sudah hampir menetes karena terkesima
“Kenapa kau belum juga menceraikannya?”Aksen menutup matanya sejenak. Kantornya lagi di masa-masa kritis saat ini, ditambah Aurelia yang terus menanyakan kenapa ia belum juga menceraikan Amora. Padahal saat ini ia tengah berusaha merebut perusahaan dari ibunya, supaya ia segera bisa menceraikan Amora.“Aku pasti akan menceraikannya, tapi tidak sekarang,” ucap Aksen kembali memeriksa berkas-berkas yang berseliweran di atas meja kerjanya.“Apa kau tidak peduli denganku lagi, Aksen?” Aurelia berbicara dengan sendu. Aksen tak bisa melihat Aurelia berekspresi seperti itu, dengan cepat ia berdiri dan menghampiri Aurelia untuk segera memeluk gadis itu dengan lembut.“Apa yang kau katakan?” tanya Aksen dengan lembut.“Akhir-akhir ini kau selalu mengabaikan permintaanku, apa aku sudah tak berharga lagi di hidupmu?” ucap Aurelia bernada sedih. Wanita itu benar-benar pintar dalam ber-akting.“Hei, jangan berpikir begitu. Kau adalah wanita paling berharga dalam hidupku. Kau yang telah menyelamat
“Kau akan terlihat anggun jika menggunakan dress merah, Am,” Anna sibuk memilih-milih baju yang akan digunakan Amora nanti malam. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan setelah pulang bekerja. Amora tidak terlalu membingungkan pemilihan baju untuknya malam nanti. Baginya, memakai baju apapun akan terlihat sama saja. Yang membedakan terlihat bagus atau tidak itu tergantung siapa yang memakai baju tersebut.Anna menghela napas pelan melihat Amora yang masih sibuk dengan ponselnya sedari tadi. Perempuan itu nampak tidak tertarik sama sekali untuk tampil mempesona di depan orang banyak di perjamuan nanti malam.“Am! Ayolah, sekarang bukan waktunya bekerja,” jengkel Anna berkacak pinggang.Amora menoleh seraya menaikkan sebelah alisnya. “Aku harus apa?” herannya.“Simpan ponselnya, cobain bajunya!” titah Anna, memberikan baju berwarna merah dengan mutiara-mutiara kecil di sekitar pinggangnya. “Baiklah,” pasrah Amora menerima
Dunia bisnis tak pernah lepas dari perkumpulan tahunan untuk menjalin kekeluargaan yang biasanya sedikit renggang karena persaingan ketat antar perusahaan. Seperti biasa, Amora dan Aksen akan menghadiri acara Andanagra yang diadakan setiap tahunnya. Sangat aneh jika mereka berdua tak hadir dalam acara tersebut. Hal itu karena mereka berdua adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan penting dalam dunia bisnis.Meskipun Amora hanya menjalankan perusahaan kakeknya dan Aksen menjadi CEO di perusahaan ibunya, mereka berdua sangat terkenal sebagai pembawa perubahan bagi perusahaannya masing-masing. Hal itu terjadi karena pada komperensi tahun lalu, mereka meraih penghargaan sebagai pengusaha terbaik. “Masuklah,” kata Aksen, membukakan pintu kendaraan beroda empatnya untuk mempersilahkan kekasihnya masuk. Aurelia tersenyum bangga seraya berjalan berlenggak-lenggok dan langsung masuk ke mobil Aksen.Aksen mengitari mobilnya kemudian masuk dan duduk di kurs
Amora menghela nafas panjang setelah membuka pintu ruang inap kakeknya. Setelah acara perjamuan selesai, Frans tiba-tiba menelponnya, mengabari kalau kakeknya sudah siuman. Rencana awalnya yang ingin pulang bersama Aksen, harus Amora batalkan. Ia memilih pergi sendiri ke rumah sakit untuk menemui kakeknya.Frans yang sedari tadi mengobrol dengan Arta, kini pandangannya teralihkan oleh suara pintu yang dibuka oleh Amora. Begitupun Arta yang langsung menyuguhkan senyum manis kepada cucu kesayangannya.“Bagaimana keadaan kakek, Frans? Dia sudah baik-baik aja, kan?” tanyanya sedikit khawatir meskipun kakeknya terlihat tenang berbaring di ranjang.“Seperti yang kau lihat sekarang, Am. Kakekmu melewati masa kritisnya dengan sangat baik,” jawab Frans kemudian. “Kamu berlebihan sekali, cucuku.” Arta terkekeh pelan.“Apanya yang berlebihan, Kek? Aku mengkhawatirkanmu, apa aku salah?” sebal Amora menatap kakeknya.“Kamu selalu seperti itu
“Aksen benar-benar menyebalkan! Bahkan sampai sekarang dia belum mengabariku untuk meminta maaf!” Aurelia mengotak-atik ponselnya untuk memastikan Aksen benar-benar tidak memberinya kabar sama sekali hari ini. Padahal kemarin malam, ia sudah dibuat marah oleh Amora, tapi Aksen tampaknya tidak memperdulikan perasaannya.“Kenapa denganmu, Aurel?” Seseorang menghampiri Aurelia kemudian duduk bersebrangan dengan wanita itu. Saat ini mereka tengah beristirahat untuk pemotretan selanjutnya. Aurelia menghela nafas. “Aksen tak menghubungiku,” singkatnya.“Hei, kenapa kau kesal ia tak menghubungimu? Bukankah kau selalu mengeluh jika dia terus menghubungimu?” Aurelia langsung menatap kesal rekan sesama modelnya yang duduk berhadapan dengannya. Benar juga apa yang dikatakan Michele, ia sering menolak panggilan telepon dari Aksen atau bahkan malas membalas chat Aksen. Tapi hari ini ia kesal karena Aksen tak menghubunginya. “Kemarin malam dia memb
“Aku sudah tahu tempat persembunyian para bajingan itu!” Aksen mengepalkan tangan kirinya dengan erat setelah mengetahui beberapa hal yang membuatnya sangat jengkel. Sudah beberapa hari Aksen mencoba melayangkan senjata kepada dua bajingan itu tapi entah kesaktian apa yang mereka punya sampai selalu lolos dari segala rencananya.Tapi tidak untuk hari ini. Aksen, Diego, Anna, Riri dan Amora akan menyatukan rencana untuk menjebak Baron dan Frans itu. Amora sudah berangkat dengan beberapa pengawalnya menuju gedung tak terpakai yang beberapa tahun lalu terbakar.Benar sekali, di tengah jalan, Amora diculik oleh dua orang dengan topengnya. Amora berpura-pura pingsan untuk mengelabui musuhnya itu. Terdengar jelas di telinga Amora tawa renyah Frans Baron memenuhi ruangan kedap suara. Ingin sekali Amora menyumpal mulut sialan itu. Tapi ia harus menahan itu semua dan berpura-pura pingsan dulu untuk sementara waktu.“Am, kau merindukan panggilan itu, bukan?” tanya Frans dengan wajah berseri.
Beberapa orang suruhan Diego dan Amora berhasil disebarkan untuk mencari keberadaan Aksen. Meskipun Amora nampak berdiam diri saja di rumah, tapi otak dan bawahan-bawahannya tidak pernah diam untuk terus menggali informasi perihal Aksen.Sehari berlalu, Amora belum mendapatkan kabar apapun dari Aksen. Hatinya semakin tak tenang dan otaknya sudah buntu tak bisa berpikir lagi. Apalagi ketika mendengar kabar terbaru dari televisi yang mengabarkan jika Baron dan Frans tidak terlacak kembali keberadaannya.Diego yang beberapa kali mencoba menghubungkan koneksi pelacak pun tetap tidak berhasil. Baron dan Frans sepertinya telah menyusun segala cara sebagus mungkin untuk hari ini dan hari-hari berikutnya demi menangkap Amora. Beberapa kali Diego berpesan untuk Amora tetap berjaga-jaga meskipun ia berdiam diri di rumah.Malam ini seperti biasa Amora tak berhasil memejamkan matanya. Pikiran yang terus berkecamuk dan kepala yang terasa pusing semakin membuatnya tak bisa tidur. Sesekali Amora men
Amora mondar mandir tidak jelas sejak tadi karena pikirannya yang mulai kacau semenjak acara televisi menyajikan berita tentang berkeliarannya dua orang buronan yang kabur dari keamanan. Tentu saja mereka itu adalah Baron dan Frans.Sesuatu yang begitu mengoyakkan hati Amora kala ia mengetahui jika kedua orang itu merupakan ayah dan anak. Frans merupakan anak Baron sebelum ia menikahi ibunya Aurelia. Sungguh sangat lembut permainan Frans waktu itu, hingga membuat Amora tidak bisa melihat mana rekayasa mana nyata.Tentulah sekarang Amora paham mengapa Frans begitu jahat padanya. Ya, semua itu karena Baron dan dirinya menginginkan harta kakeknya Amora yang begitu banyak dan melimpah. Namun tidak semudah itu, setelah membunuh Artha mereka juga mesti menyingkirkan Amora terlebih dahulu untuk mendapatkan harta itu.Amora menggigit jari telunjuknya mencoba menenangkan diri. Meski dirinya sekarang berada di tempat yang aman yaitu di rumah ibu mertuanya. Tapi yang lebih membuat Amora panik ad
“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Huaa ...” Dada yang kembang kempis tak beraturan begitu terlihat disertai wajah ketakutan Amora. Perempuan itu menoleh ke samping dimana ada suaminya tengah memandang khawatir padanya. Bahkan tangan Aksen masih menjadi bantalan kepala istrinya.Untung saja semua itu hanya mimpi. Seseorang mendatanginya bahkan terbawa ke alam bawah sadarnya. Dia datang ingin merenggut nyawa dengan tanpa alasan. Amora sungguh ketakutan hingga tak sadar tangannya menggenggam lengan Aksen. “Ada apa, Mora?” Aksen mencoba menyadarkan istrinya yang terlihat kebingungan selepas sadar dari pingsannya.Menyadari dirinya begitu menempel ke tubuh Aksen, Amora segera berusaha duduk dan membenarkan posisinya. Meskipun dalam keadaan tak baik-baik saja, ia tak akan memperlihatkannya kepada Aksen. Saking gengsinya ia tak akan pernah merendahkan harga dirinya lagi di depan Aksen. “Mora, kau baik-baik saja?”Amora menghela napas panjang beberapa
“Katakan, apa maumu? Aku tidak mempunyai waktu luang cukup lama untukmu,” ujar Amora langsung pada intinya ketika mereka sudah dihidangkan beberapa makanan di atas meja.“Mora, aku bukan klienmu. Sekarang ini aku berperan sebagai suamimu, apa pantas bicara begitu?”Amora menatap tanpa ekpresi ke arah suaminya. Aksen kini selalu menyebalkan di depan matanya. “Aku tak suka bertele-tel-““Makan dulu,” potong Aksen seraya menyodorkan sepotong beefsteak ke mulut Amora hingga perempuan itu terdiam.Melihat istrinya yang sama sekali tidak membuka mulut untuk melancarkan suapannya, Aksen menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya dengan isyarat. Beberapa detik kemudian Amora mengambil garpu yang dipegang Aksen kemudian menyuapkan potongan daging itu oleh tangannya sendiri.Aksen hanya tersenyum menanggapinya.“Tidak ada hal penting, aku hanya ingin makan siang bersamamu.” Aksen mulai menyuapkan potongan daging kepada mulutnya.Amora terdengar menghela napas panjang. Wanita itu tiba-tiba berdi
Paginya, Aksen harus terganggu dengan kedatangan Diego ke rumah ibunya. Apalagi ketika melihat lelaki itu begitu akrab mengobrol dengan Amora membuat hatinya memanas. “Senang melihatmu baik-baik saja, Amora,” ujar Diego seraya menampilkan senyum tipisnya.“Aku selalu baik-baik saja,” balas Amora. Sementara Aksen berlalu begitu saja melewati mereka yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dengan wajah masam itu, Diego menyadari jika Aksen memang tidak suka dirinya ada di rumah Rina. Apalagi ngobrol akrab dengan istrinya.Namun justru karena itu, Diego semakin gencar mengajak Amora mengobrol ria agar Aksen kesal. Pria itu paling suka melihat sepupunya marah. Aksen pergi ke dapur dan mengambil jus jeruk dingin dari kulkas. Aksen menuangkan jus itu ke gelas panjang kemudian meneguknya hingga tandas. Sisanya ia bawa ke ruang tamu seraya mendudukan dirinya begitu dekat dengan istrinya. Seakan memperlihatkan kepada Diego kalau Amora adalah miliknya.Diego yang paham dengan sikap Diego hanya m
TikPria beralis hitam tebal itu membuka seat belt yang selama hampir dua jam melilit dadanya. Napas lega begitu terdengar jelas dari mulut Aksen dengan diakhiri senyum tipis khas-nya.Setelahnya ia menoleh kepada perempuan yang masih terbaring nyaman di atas alat tidur portable di kursi samping yang direndahkan posisinya. Aksen merangkak mendekati Amora kemudian mengelus pelan pelipis wanita itu.Wanita itu terlihat nyaman bahkan tidak merasa terganggu sedikitpun ketika Aksen menyentuh pelipis dan hidungnya. Aksen terlalu gemas hingga beberapa kali mencubit hidung Amora seraya terkekeh pelan. Ditambah lagi, pipi Amora nampak sedikit berisi setelah ia mengandung.Aksen kembali melihat ke arah depan, mengedarkan pandangan kemudian tersenyum tipis. Terhalang kaca mobil, sebuah danau luas terhampar di depannya. Ya, Aksen ternyata mengajak Amora ke tempat yang tidak asing. Sebuah pulau yang dahulu kala adalah tempat mereka mengukir cerita yang hampir saja ingin Aksen lupakan. Jika mengi
“Gak mungkin anakku mati! Gak mungkin!!!”Teriakan ibunya Aurelia terdengar dari ruang IGD sampai ke tempat registrasi dimana Amora dan Aksen baru saja sampai untuk menjenguk mayat Aurelia yang baru saja ditemukan.Amora melirik sebentar ke wajah Aksen yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Aksen sengaja bersikap begitu dan memperlihatkan wajah tidak panik supaya Amora tidak merasa takut dan tidak sama-sama panik.Padahal dalam hatinya, Aksen kelimpungan sendiri. Takutnya ibunya Aurelia akan nekat melakukan hal buruk kepada Amora apalagi istrinya itu sekarang tengah hamil. Tapi bagaimanapun situasinya, Aksen sudah berjanji akan melindungi Amora dari serangan apapun.Menyadari Amora tidak maju juga dari tadi ke IGD, Aksen merengkuh bahu istrinya dengan tangan kanan kemudian merapatkan kepada tubuhnya. Amora kembali menoleh dan Aksen mengangguk meyakinkan.“Apa aku akan baik-baik saja?”Ini pertama kalinya Aksen mendengar kalau Amora sangat khawatir dan bertanya lebih dulu kepadanya. B
Amora memerhatikan air kolam yang terlihat pemandangannya langsung dari jendela kamar Aksen. Tangannya melingkar memeluk dadanya seperti orang kedinginan. Setelah sebelumnya ia menghubungi Riri menanyakan keadaan perusahaannya yang selama ini ia tinggalkan. Namun ternyata semuanya sedang dalam keadaan baik-baik saja. Amora juga mengatakan kalau ia akan segera kembali memimpin perusahaan. Seketika Amora menggigit jarinya sendiri karena sekilas otaknya tiba-tiba mengidam-idamkan sate kambing. Namun bukan sate biasa, melainkan sate langganan waktu dia dulu tinggal di rumah Aksen. Dan lokasinya tentu saja dekat rumah Aksen. Amora memutar otak beberapa kali bagaimana caranya supaya ia mendapatkan sate kambingnya sekarang juga. Sedangkan di rumah pun sedang tidak ada siapa-siapa. Rina kebetulan sedang pergi juga. Amora bolak-balik tak bisa tenang sebelum wangi sate memenuhi rongga hidungnya. Apakah telepon Aksen untuk membelikannya? Ah tidak, Amora menggelengkan kepalanya menepis beb