“Kita duduk di sana!” Aiden menarik tangan Amora, mengajak secara paksa wanita itu duduk di kursi yang tersisa. Richard yang melihat Aiden menarik tangan Amora—membuatnya menyapa para tamu undangan.
Amora terkejut di kala tangannya ditarik paksa Aiden. Wanita cantik itu bingung Aiden mengajaknya duduk. Pun dia tidak enak karena meninggalkan Richard begitu saja. Sungguh! Amora bingung dengan tindakan Aiden.
“Oh, hai, Aiden. Long time no see.” Seorang wanita cantik berambut pirang, duduk di kursi kosong—yang mana kebetulan ada di samping Aiden.
Aiden menatap wanita cantik berambut pirang. “Nalani Carter?”
Wanita cantik bernama Nalani itu tersenyum. “Senang sekali kau masih mengingatku. Apa kabar, Aiden? Sudah lama tidak bertemu denganmu, kau terlihat semakin gagah dan tampan.”
Aiden tak merespon mendapatkan pujian dari Nalani. “Seperti yang kau lihat, aku baik.”
“Aku senang mendengar kabar kau baik. Aiden, bagaimana perusahaanmu? Aku dengar kau semakin hebat dalam memimpin perusahaan keluargamu,” ucap Nalani lagi.
“Aku hanya menjalani tugas yang sudah seharusnya aku lakukan,” ucap Aiden dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Amora menatap kesal Aiden yang asik berbincang dengan Nalani. Pria itu bahkan sama sekali tidak memperkenalkan Amora pada wanita bernama Nalani. Amora merasa didiamkan. Aiden dan Nalani asik berbincang—seolah dirinya tidak ada.
Richard yang sedang mengobrol dengan para tamu undangan, dan sambil menikmati wine. Tatapannya teralih pada Amora yang diabaikan oleh Aiden. Sepupunya itu malah asik berbincang dengan wanita lain.
Richard tersenyum melihat pemandangan yang ada di hadapannya itu. Dia pamit undur diri dari para tamu undangan yang hadir. Lantas, dia segera menghampri Amora.
“Hai, Amora. Kau ingin minum?” tawar Richard.
Amora menggelengkan kepalanya. “Tidak, Richard. Aku tidak bisa minum alkohol.”
Richard tersenyum. “Sudahku duga, wanita sepertimu pasti tidak menyukai alkohol.” Pria itu duduk di samping Amora. “Oh, ya … aku lupa bertanya, apa saja aktivitasmu?” tanyanya ingin tahu.
“Aku memiliki toko bunga, Richard. Biasanya aku sering menjaga toko, tapi belakangan ini karena aku masih baru menikah, aku memercayakan toko bungaku pada satu karyawanku,” jawab Amora lembut.
“Great. Itu artinya kau suka merangkai bunga, Amora?”
“Ya, aku suka, Richard. Kebetulan aku membuka usaha kecil toko bunga karena aku menyukai bunga. Terutama dalam hal merangkai bunga.”
“Wanita yang menyukai bunga adalah sosok wanita yang terkenal dengan kelemahlembutannya.”
Amora hanya tersenyum menanggapi itu.
Aiden mendengar percakapan antara Amora dan Richard. Sorot matanya berubah dingin. “Richard, ikut aku menemui para tamu undangan lain. Ada beberapa yang ingin aku sapa.”
Richard menatap Aiden. “Kau memang tidak bisa sendiri saja?”
Aiden membalas tatapan Richard begitu dingin. “Yang punya pesta adalah dirimu! Kau harus menemaniku!”
Richard menghela napas dalam. Dia sudah sangat mengenal sifat dari sepupunya itu. “Fine, aku akan menemanimu.”
Aiden bangkit berdiri. Pria tampan itu berpamitan pada Nalani, tapi tidak dengan Amora. Berbeda dengan Richard yang berpamitan pada Nalani dan juga pada Amora. Ya, dua pria tampan itu pergi meninggalkan Amora dan Nalani hanya berdua.
Amora memilih menatap lurus ke depan, berusaha mengatasi rasa paniknya. Dia tidak terbiasa menghadiri pesta semegah ini. Amora lebih suka berdiam diri di rumah. Namun, karena diajak ke pesta Richard, jadi mau tak mau Amora harus bisa beradaptasi dengan ini semua.
“Kau wanita yang dijodohkan dengan Aiden, kan?” Nalani mulai bersuara dengan senyuman anggun di wajahnya. “Keluargamu benar-benar sangat cerdas. Mereka pasti sangat tahu keluarga Aiden yang hebat, sampai memaksamu menjodohkan dengan Aiden.” Nalani menyeringai meledek. “Tentunya mereka ingin kau hidup enak dan layak.”
Kata-kata sindiran dari Nalani, membuat Amora menoleh menatap wanita itu.
“Maaf? Apa maksud yang kau ucapkan?” tanya Amora dengan nada tenang, dan sangat sopan.
Nalani menatap sinis Amora. “Ck! Munafik. Aku tahu kau menerima perjodohan ini karena ingin hidup enak dan nyaman, kan? Kasihan sekali. Wanita rendah sepertimu itu, seharusnya tidak layak menikah dengan Aiden!”
Amora menghela napas dalam. Dia tetap tenang di kala mendapatkan hinaan dari Nalani. “Mendiang kakek dan nenekku sudah mengatur perjodohanku dengan Aiden. Aku hanya menjalani wasiat dari mendiang kakek dan nenekku.”
Nalani tertawa meledek. “Come on, ibumu bukan menantu di keluarga North, kan? Aku dengar ibumu hanya seorang pelacur yang mengandung anak dari ayahmu. Dengan semua itu, apa menurutmu kau pantas? Kau hanya anak haram yang lahir dari seorang wanita rendah.”
Mata Amora menanas memerah, menahan air mata. Jika dirinya dihina, dia tidak pernah masalah. Berbeda kali ini. Sorot mata Amora dingin dan tajam. Dia tidak akan pernah menerima jika sampai ada yang merendahkan ibunya.
Tatapan Amora teralih pada pelayan yang membawakan nampan yang berisikan minuman. Detik selanjutnya Amora mengambil satu gelas wine, dan menumpahkan ke gaun Nalani.
“What the fuck!” Nalani mengeluarkan umpatan kasar di kala gaunnya tertumpah noda wine merah.
Amora menatap dingin Nalani dengan air mata yang sudah berlinang jatuh membasahi pipinya. “Jangan pernah kau berani menghina ibuku!”
Nalani bangkit berdiri dan membalas tatapan Amora. “Ibumu memang pelacur! Semua orang tahu kau itu anak haram di keluarga North! Kau sama sekali tidak pantas menikah dengan Aiden!”
“Seorang wanita bermartabat tidak akan pernah menghina orang lain. Jika sampai ada seorang wanita bermartabat mengaku-aku memiliki derajat tinggi, dan merendahkan orang lain, maka sesungguhnya orang itu yang sangat rendah,” jawab Amora lugas, penuh keberanian walau dalam keadaan menangis.
“Kau—” Nalani melayangkan sebuah tamparan ke wajah Amora. Namun, gerak tangannya terhenti di kala ada yang menangkap tangannya. Detik itu juga Nalani menoleh menatap terkejut sosok yang menangkap tangannya itu.
“A-Aiden?” Nalani mulai panik dan cemas. “K-kau jangan salah paham. Istrimu duluan yang mencari masalah. Aku sama sekali tidak memulai.”
Air mata Amora terus berlinang tak sanggup menahan lagi. Dia segera menyeka air matanya. Berikutnya, dia pergi begitu saja meninggalkan pesta. Amora sudah tidak mau banyak bicara. Lebih baiknya untuk pergi menjauh.
Aiden menghempaskan kasar tangan Nalani ke udara. Kilat matannya menajam menunjukkan penuh amarah tertahan. “Aku tidak bodoh. Aku tahu apa yang sudah kau lakukan. Aku mendengar semua kata-katamu.”
Richard ingin membela Amora, tapi posisinya Aiden sudah bergerak lebih dulu. Dia mengurungkan niatnya, dan memilih untuk melihat pemandangan di mana Aiden tampak sangat marah.
“A-aku—” Lidah Nalani kelu tak bisa merangkai kata lagi.
“Aku rasa aku harus meninggalkan pesta ini. Istriku sudah pergi meninggalkan pesta. Tidak mungkin aku tetap masih berada di sini.” Aiden segera berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Nalani yang bergeming di tempatnya.
Amora berlari meninggalkan kerumunan pesta dengan air mata yang tak henti bercucuran. Dia menangis, mengingat kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Nalani. Sungguh, dia tak menyangka Nalani akan mengeluarkan kata-kata seperti itu padanya. Jika dirinya dihina, maka dia akan diam saja. Hal yang membuat Amora sakit hati adalah ibunya dihina.Amora menjadi pusat perhatian para tamu undangan, berlari meninggalkan pesta dalam keadaan menangis. Wanita cantik itu mengabaikan tatapan yang tertuju padanya. Dia terus berlari, sampai tak sengaja kakinya tersangkut di karpet merah.BrakkkAmora tersungkur jatuh ke bawah, dan tangisnya kini semakin keras. Semua orang tak sama sekali membantu Amora. Para tamu undangan terus menatap Amora dengan tatapan bingung.Aiden melangkahkan kakinya tegas, menerobos kerumunan dan menatap Amora yang tersungkur di bawah sambil menangis. Detik itu juga yang dilakukan Aiden adalah menggendong tubuh Amora dengan gaya bridal—dan melangkah pergi meninggalkan kerum
Amora bangun lebih pagi dan sudah rapi dengan midi dress berwarna maroon. Rambut panjang indahnya dikuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan indah milik wanita itu. Riasan tipis menyempurnakan penampilan Amora. Meski ditubuhnya tidak memakai barang-barang mahal, tapi Amora tetap sangat cantik dan anggun. Tas selempang kecil yang isinya hanya dompet dan ponsel tak lupa selalu dia bawa. Bisa dikatakan penampilan Amora memang sangat sederhana.“Selesai,” ucap Amora dengan senyuman manis di wajahnya di kala sudah memoles lip gloss ke bibirnya. Dia berbalik meninggalkan kamar, tetapi langkah kaki Amora terhenti di kala berpapasan dengan Aiden.“Kau ingin ke mana?” tanya Aiden dingin dengan sorot mata lekat pada Amora.Amora gelagapan panik mendapatkan tatapan dingin Aiden. “A-aku ingin ke toko bungaku. Sudah lama aku tidak ke sana.” “Siang ini orang tuaku akan datang ke sini. Kau jangan pergi ke mana-mana,” ucap Aiden dingin dan tegas.Amora terkejut. “Aiden, orang tuamu akan datang
Pelupuk mata Amora bergerak di kala sinar matahari menembus sela-sela gorden, dan menyentuh wajah mulusnya. Wanita itu bermaksud ingin menggerakkan tubuhnya, tetapi dia merasa ada tangan berat yang melingkar di pergelangan tangannya. Detik itu juga, ketika kesadaran Amora sudah pulih—dia menatap terkejut Aiden yang memeluk pinggangnya erat.Amora terkejut. “Aaaaaaaa…”Suara teriakan Amora berhasil membuat Aiden membuka mata. Pria tampan itu mengumpat seraya menyentuh telinganya di kala mendengar suara teriakan. Tampak tatapan Aiden terhunus tajam dan dingin pada Amora.“Apa kau sudah gila?! Kenapa kau berteriak di pagi hari?” seru Aiden, dengan penuh rasa kesal. Tidurnya menjadi terganggu akibat jeritan Amora.Amora menelan salivanya susah payah. Tatapannya teralih pada bantal pembatasnya sudah terjatuh di lantai. Entah siapa yang memindahkan bantal itu. Yang pasti sekarang Amora menjadi panik. Benaknya memikirkan sepanjang malam Aiden tidur sambil memeluk pinggangnya.“A-Aiden, b-ban
Amora merasa kesialan datang menghampirinya. Dia yang berniat ingin mengunjungi toko bunga miliknya, malah dipaksa harus ikut dengan Aiden ke kantor pria itu. Sungguh, Amora ingin sekali menolak, tapi ada kedua mertuanya yang membuat Amora benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali.Saat ini Amora sedang berada di mobil Aiden. Wanita cantik itu menoleh ke luar jendela, menatap cuaca di kota Manhattan yang sangat cerah. Sejak tadi Aiden mengemudikan mobil, tanpa sedikit pun meliriknya. Keheningan di dalam mobil membentang membuat suasana tercipta menjadi canggung dan tak nyaman.“A-Aiden, apa tidak apa-apa kau membawaku ke kantormu? Aku takut menyusahkanmu,” ucap Amora pelan seraya memberanikan diri menatap Aiden yang sedang mengemudikan mobil.Aiden menatap lurus ke depan, fokus melajukan mobil tanpa mau menoleh ke arah Amora. “Kau tidak dengar apa yang dikatakan orang tuaku?”Amora menggigit bibir bawahnya pelan. “I-iya, aku ingat, tapi aku hanya takut menyusahkanmu. Kau bilang hari
Amora melangkahkan kakinya gontai keluar dari ruang kerja Aiden. Dia memijat kepalanya di kala merasa kepalanya berputar-putar. Matanya sayu tidak sanggup untuk membuka mata. Pun Amora tak bisa melihat dengan benar ke sekelilingnya akibat dirinya yang tak bisa mengendalikan diri.“Nyonya?” Colby terkejut melihat istri tuannya, keluar dari ruang kerja dalam keadaan seperti orang yang sedang mabuk. Detik itu juga, buru-buru, Colby menangkap tubuh Amora yang nyaris tumbang. Tampak jelas kepanikan di wajah Colby.“Nyonya, kenapa Anda bisa mabuk?” tanya Colby panik seraya menatap Amora dengan tatapan yang panik. Dia mendapatkan perintah untuk menjaga istri dari tuannya. Namun sekarang sepertinya malapetaka akan datang ke hidupnya. Mata Amora sayu menatap Colby. “Aku tidak mabuk. Di mana Aiden? Aku ingin memberikan perhitungan pada pria berengsek itu.”Alkohol telah menguasai seluruh tubuh Amora sampai-sampai, dia berani mengatakan hal demikian. Jika kesadaran pulih, mana mungkin Amora be
Pelupuk mata Amora mulai bergerak-gerak, menandakan bahwa kesadaran wanita itu akan segera pulih. Perlahan Amora memijat keningnya di kala merasakan kepalanya pusing. Wanita itu merintih di kala merasa kepalanya seperti ingin pecah.Beberapa detik, Amora memejamkan mata sambil memijat keningnya. Tatapannya perlahan mulai mengendar ke sekitar—menatap dirinya berada di kamar hotel. Raut wajahnya menunjukkan jelas keterkejutan.Tiba-tiba sesuatu hal muncul di dalam benak Amora. Sontak mata Amora terbelalak terkejut. Ya, dia mengingat jelas dirinya berada di kantor Aiden. Dia minum sesuatu di lemari minuman Aiden—yang ada di ruang kerja pria itu. Namun, kenapa tiba-tiba dia tidak sadarkan diri dan terbangun di sebuah kamar hotel? Ada apa dengannya? Jutaan pertanyaan muncul di kepala Amora.Napas Amora sedikit memburu akibat rasa paniknya yang mulai menyerang. Pikiran-pikiran buruk bermunculan di otaknya. Buru-buru, dia mengintip tubuhnya yang terbalut selimut tebal—dan ternyata aman. Tubu
Mina menyiapkan banyak sekali makanan untuk putra dan menantunya. Dia sengaja memasak, agar nafsu makan putra dan menantunya bertambah. Pun tentu ada pelayan yang siap sedia membantunya. Namun, dalam mengolah makanan adalah tugas Mina. Pelayan hanya membantu saja.“Sayang, ayo makan yang banyak. Semua menu makanan di sini Mommy yang buat khusus untukmu dan Aiden,” ucap Mina seraya menatap hangat Amora.“Mom, harusnya Mommy tidak usah repot-repot. Nanti Mommy kelelahan,” jawab Amora pelan.“Sayang, tidak repot sama sekali.” Mina meletakan kepiting kupas yang sudah dia olah ke piring Amora. “Ayo kau harus banyak makan.”Amora tersenyum lembut. “Terima kasih, Mom.”“Aiden, malam ini Dad dan Mom akan pergi ke Melbourne. Kami memiliki undangan ke sana,” ucap Drew memberi tahu anaknya.Aiden mengangguk samar. “Jam berapa kau berangkat?”“Jam sebelas nanti.”“Kenapa kau mengatur pesawat di malam hari?” “Tadi siang Dad ada urusan.”Aiden kembali mengangguk. “Take care.”Mina menatap Amora. “
“Nyonya Amora?” Enola, karyawan toko bunga Amora, berlari di kala melihat Amora menjadi korban tabrak lari. Posisi Enola berdiri di depan toko, sedang merapikan bunga-bunga. Tampak seketika dia terkejut melihat Amora yang terjatuh di trotoar. Orang yang menabrak Amora bahkan sudah melarikan diri.“Nyonya, apa Anda ingin saya antar ke rumah sakit?” tanya Enola khawatir seraya membantu Amora bangkit berdiri. Dia memapah Amora, menuju toko bunga.“Tidak usah, Enola. Obati saja kakiku dengan obat P3k yang ada di toko. Luka di kakiku tidak parah,” jawab Amora pelan seraya menahan rintihan sakit di kakinya. Dia beruntung masih bisa selamat. Entah bagaimana nasibnya, jika dia ditabrak hingga mental.Enola membantu Amora untuk duduk di kursi. “Baiklah, tunggu sebentar, Nyonya. Saya akan ambilkan kotak p3k dulu.”Amora mengangguk merespon ucapan Enola. Detik selanjutnya, Enola mengambil kotak p3k, dan mulai mengobati luka di kaki Amora dengan perlahan dan hati-hati.“Aw—” rintih Amora kesakita
Tatapan Aiden semakin tajam dan dingin, mendengar pertanyaan konyol Amora. Aura wajah pria itu menunjukkan jelas tampak kesal, tapi semua ditahan tak langsung diledakan. “Cemburu? Apa kau sudah tidak waras menanyakan pertanyaan konyol itu?” seru Aiden dengan nada marah. Amora gelagapan melihat kemarahan Aiden. “A-Aiden, a-aku hanya bertanya saja. A-aku menceritakan pada Enola tentang kemarahanmu, dan Enola bilang kau cemburu. Apa itu benar?” Aiden memejamkan mata singkat. “Kenapa kau harus bercerita pada Enola, Amora?!” “Aku hanya meminta penadapat pada Enola saja, Aiden. A-aku bingung tadi kau bilang aku murahan. Jadi, aku meminta pendapat pada Enola,” kata Amora sedikit panik. Aiden mendecakkan lidahnya. “Kau meminta pendapat pada Enola, dan karyawanmu itu sama bodohnya denganmu! Aku mengatakan kau murahan, karena kau terlalu ramah pada pria! Harusnya kau memberikan batasan!” Mata Amora mengerjap beberapa kali. “Apa aku harus melayani pelanggan dengan nada ketus?” Aiden meng
Enola keluar dari dapur, membawakan satu kopi hitam, dan satu kopi susu yang dipesan oleh Amora. Namun, saat dia melangkah keluar tatapannya menatap Amora muram, dan tidak ada Aiden. “Nyonya Amora? Ke mana Tuan Aiden?” tanya Enola sopan, sembari meletakan minuman yang dia buat ke atas meja. Amora menghela napas panjang. “Aiden sudah pergi. Dia marah padaku.” “Marah pada Anda?” ulang Enola memastikan. Amora mengangguk. “Iya, Aiden marah padaku, Enola. Dia bilang aku murahan.” Kening Enola mengerut dalam. “Maaf, jika saya lancang, tapi kenapa Tuan Aiden mengatakan Anda murahan?” Amora duduk di kursi, seraya menopang dagu. “Aku tadi melayani pelanggan. Menurutku, aku hanya tersenyum ramah pada pelanggan. Tapi, Aiden mengatakan aku murahan. Aku memberikan senyuman yang menggoda pelanggan.” Enola semakin bingung. “Tunggu, Nyonya, apa pelanggan yang Anda layani seorang pria?” Amora kembali mengangguk. “Iya, pelanggan pria. Dia mencari bunga untuk orang yang dia cintai. Dia juga bil
Pagi menyapa, Amora bersiap-siap untuk pergi ke toko bunganya. Rasanya sudah lama dia tak mengunjungi toko bunganya. Pun sekarang dia sudah menyiapkan oleh-oleh untuk karyawannya. Hatinya senang, karena bisa kembali menjaga toko. “Aiden, aku berangkat ke toko bungaku dulu, ya?” pamit Amora dengan riang, seraya menatap Aiden. “Aku akan mengantarku,” ucap Aiden dingin, dan sontak membuat Amora terkejut. Mata Amora melebar. “Kau akan mengantarku? Kenapa, Aiden?” “Memangnya kenapa jika aku mengantarmu? Ada yang salah?” balas Aiden tak ramah. Amora menghela napas dalam. “Bukan seperti itu, aku hanya bingung saja. Hari ini kau harus ke kantor, kan?” “Aku tidak ingin kau membuat masalah. Aku akan mengantarmu ke toko bunga, lalu aku akan ke kantorku.” “Kau bisa terlambat, Aiden.” “Aku pemilik perusahaan.” “Aiden, tapi—” “Amora, kenapa kau keras kepala sekali? Sudahku katakan, aku akan mengantarmu, maka artinya aku mengantarmu! Jangan keras kepala!” seru Aiden dengan nada tinggi. A
Aiden menatap dingin Richard yang muncul di hadapannya. Ya, tepat di kala Richard muncul, Colby langsung pamit undur diri. Asisten Aiden itu tak ingin mengganggu percakapan tuannya. “Well, kau masih tidak berubah, Aiden,” ucap Richard, sambil duduk di depan Aiden. “Gengsi mengaku cinta, huh?” ledeknya pada sepupunya itu. “Ada apa kau ke sini?” Aiden tak suka berbasa-basi, dia langsung menanyakan maksud dan tujuan sepupunya mendatanginya. Richard terkekeh. “Aku baru pulang dari luar negeri, dan aku dengar kau juga baru saja kembali dari Hong Kong, begini cara menyambut sepupumu? Ck! Sangat tidak sopan.” Aiden mendecakkan lidahnya. “Cepat katakan, ada apa kau ke sini?” Aiden yakin bahwa pasti ada sesuatu hal yang diinginkan oleh sepupunya itu. Dia sudah sangat mengenal dengan baik sepupunya. Meski bukan saudara kandung, tapi hubungannya dengan Richard terbilang sangat dekat. Aiden menyilangkan kaki kanan, dan bertumpu ke paha kiri. “Kau memang cerdas. Kau mampu membaca tujuanku k
New York, USA. Hiruk pikuk New York menyambut semua orang yang tiba di kota bisnis Amerika itu. Banyak turis asing yang berdatangan, dan tak sedikit pula banyak orang yang ingin tinggal di pusat kota bisnis Amerika. Orang berlalu lalang cepat, dan memakai coat tebal untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin New York City. Amora yang baru saya tiba di New York, sejak tadi tak luput melihat banyak orang yang berlalu lalang. Tinggal di kota bisnis sudah taka sing lagi di matanya menatap pemandangan yang ada. Hanya berbeda nuansa di kala Amora berada di Hong Kong. Ya, Amora menemani Aiden di Hong Kong hanya sebentar saja. Jujur, dia sangat suka berada di Hong Kong. Apalagi sebelum pulang, dia sempat mampir sebentar ke Macau—yang terkenal dengan pusat perjudian di Asia. Nuansa yang tetap memiliki ciri khas berbeda dari Las Vegas. Namun, Amora tidak bisa berlama-lama. Aiden sudah harus kembali ke New York, karena pekerjaan yang padat. Sementara Amora yang ingin sekali berlibur lebih lam
Jadwal Aiden di Hong Kong cukup padat di waktu yang sangat singkat. Hari terakhirnya di Hong Kong, dia memiliki meeting di salah satu restoran ternama. Namun, kali ini dia mengajak Amora. Pria tampan itu tak mau mengambil risiko lagi meminta Amora menunggu di hotel. Tidak ada yang bisa Amora lakukan selain patuh. Selama meeting berlangsung, wanita itu duduk dengan tenang sambil menikmati makanan yang terhidang. Ya, dia menyadari kesalahannya, dan dia juga sudah berjanji tak akan membuat masalah. Saat meeting sudah berakhir, Aiden mengantar rekan bisnisnya keluar restoran. Sementara Amora pergi ke toilet. Wanita itu mengantre, karena di toilet wanita penuh. Akan tetapi, di kala dia sedang mengantre, tiba-tiba saja dia melihat sosok wanita berambut pirang. Amora terkejut melihat sosok wanita yang sangat dia kenali. Dia mendekat, mengejar bayangan wanita itu, tapi arah wanita itu menuju keluar restoran tepatnya ke lorong gelap sebelah kanan. Detik itu juga, tanpa pikir panjang, dia b
Tubuh Amora membeku melihat Aiden menarik tangannya. Dia sama sekali tidak menyangka Aiden berada di hadapannya. Yang dia tahu Aiden memiliki meeting, tapi kenapa sekarang Aiden menyusulnya? Otak Amora berusaha mencerna semua ini. “Siapa kau?!” bentak pria berkulit hitam itu, kesal pada Aiden yang menjadi pengganggu. Aiden menatap tajam pria berkulit hitam itu. Postur tubuhnya sama seperti pria berkulit hitam itu. Dia memiliki tubuh yang tinggi dan tegap, serta otot yang keras. Tak heran jika Amora tak bisa berontak, karena memang tinggi Aiden dan tinggi Amora berbeda cukup jauh. “Enyah kau dari hadapanku, sebelum aku menghabisimu,” desis Aiden tajam, dan tak main-main. Pria tampan itu terlihat tenang, tapi sorot matanya sangat tajam, dan sangat menakutkan. Pria itu tersenyum sinis. “She’s mine. Jangan ganggu kami.” Amarah Aiden semakin menjadi, bagaikan tersulut oleh bara api panas di kala pria hitam itu mengaku-aku bahwa Amora adalah miliknya. Aiden melepaskan tangannya yang me
Sham Shui Po, Kowloon, Hong Kong. Amora tersenyum melihat kepadatan pasar Sham Shui Po. Pasar di Kawasan Kowloon Hong Kong, dengan kondisi pasar benar-benar sederhana. Bibir Amora sampai menganga terkejut melihat harga yang terpampang di toko-toko sangat murah. USD yang Amora bawa jika ditukar HKD maka pasti akan sangat banyak. “Oh, My God! Di New York tidak ada pakaian semurah ini,” seru Amora antusias. Amora memang lahir dari keluarga yang berkecukupan. Meskipun bukan dari hubungan resmi, tapi Amora hidup bisa dikatakan layak walau tidak seperti adik tirinya. Perbedaan Amora dengan Trice adalah Amora menyukai hal-hal sederhana, sedangkan Trice menyukai hal-hal yang mewah. Seperti saat ini Amora lebih menyukai datang ke tempat tradisional di Hong Kong, daripada dia harus datang ke pusat Mall ternama di Hong Kong. Awalnya Amora tak sengaja melihat di internet daftar tempat menjual pakaian murah, dan ternyata hotel yang dipilih Aiden tidak terlalu jauh ke pasar tradisional ini. Hal
Musim dingin di Hong Kong tidak sedingin musim dingin di New York. Langit di Hong Kong sudah gelap. Awan mengumpul menjadi satu sangat indah. Amora mendongak, menatap indahnya awan di Hong Kong. Wanita cantik itu berdiri di balkon kamar sebentar, lalu melangkah menuju ranjang, dan membaringkan tubuhnya ke ranjang. Pikiran Amora sejak tadi memikirkan tentang Aiden. Dia mencari tahu tentang Aiden di internet, tapi dia tidak menemukan jejak digital tentang Aiden yang menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Padahal dengan apa yang dimiliki oleh Aiden, pastinya memudahkan Aiden mendapatkan wanita cantik. Amora bergelut dalam pikirannya, ditambah perkataan ibu tirinya membuatnya menjadi tidak tenang serta gelisah. Jika saja dia berada di New York, sudah pasti dia akan bertanya pada ibu tirinya lagi, apa maksud ucapan ibu tirinya yang mengatakan Aiden tidak normal. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Aiden sontak membuat Amora terkejut, dan membuyarkan lamunannya. “I-iya, Aiden?” Amora mena