"Ah, lihat saja, dia bahkan tidak berani menolak. Kamu memang seperti yang selalu kukira, Steven," ejek Andre dengan nada sinis.Steven memandang gelas vodka di tangannya, merasa dilema. Di satu sisi, dia tidak ingin memberikan kepuasan kepada Andre, tapi di sisi lain, tekanan dari lingkungannya membuatnya cenderung untuk menuruti. Akhirnya, tanpa sepatah kata pun, Steven meminum vodka tersebut.Tawa Andre menggelegar di seluruh ruangan. Ia merasa puas melihat Steven terjebak dalam permainannya. Andre kemudian menuangkan vodka lagi ke dalam gelas Steven berkali-kali, seakan ingin menegaskan supremasinya."Ayo, Steven, minumlah. Biarkan kejantananku menginspirasi dirimu yang lemah ini," goda Andre dengan penuh keangkuhan.Steven merasa cegukan seketika setelah menelan vodka beberapa kali. Aira semakin merasa khawatir melihat perubahan dalam perilaku Steven yang semula tegar dan kini terlihat rapuh.Beberapa teman mereka yang lain ikut terbawa suasana dan memberikan tepuk tangan setuju.
"Diam, Steven." Aira memohon dengan suara lemah. "Tolong, berhenti sejenak. Aku membutuhkan waktu untuk memikirkan ini.""Tidak, Aira, aku tidak akan memberikanmu waktu lagi," ucap Steven dengan nada mengambang."Steven, kamu sedang mabuk, tolong jangan seperti ini!"Aira merasakan tekanan dari Steven yang semakin meningkat, dia mencoba menenangkan diri. "Steven, tolong dengarkan aku," desisnya dengan suara gemetar.Namun, mata Steven terlihat kosong, tanpa respons apa pun. Aira mencoba dengan sekuat tenaga untuk menghentikan ulah Steven. Dalam keputusasaannya, Aira mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Steven, tetapi percobaannya sia-sia. Dia merasa tak berdaya di bawah kekuatan yang tidak wajar ini."Sudahlah, Steven! Ini tidak benar. Kita bisa bicara," seru Aira dengan harapan bahwa kata-katanya dapat meraih sisa-sisa kesadaran Steven.Namun, suasana semakin tegang, dan Aira berharap ada bantuan atau pemahaman yang bisa mengubah arah kejadian ini.Aira mencoba untuk menghentikan
"Steven," lirih Aira."Iya," jawab Steven yang masih fokus untuk mengambil barang-barang tersebut."Kenapa tanda lahir di punggungmu sama dengan tanda lahir Michael?"Deg!Perkataan Aira membuatnya diam seribu bahasa. Steven merasakan seolah dunia berhenti sejenak. Dia mematung, tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan. "Benarkah, aku tidak tahu bila tanda lahirku sama dengan Michael. Mungkin hanya kebetulan saja," Steven berkata, sambil membawa sabun cair dan barang lain di tangannya."Apa mungkin di dunia ini ada yang memiliki tanda lahir yang sama?" tanya Aira kembali.Steven meletakan apa yang ia bawa di samping Aira. "Itu bisa saja terjadi, sudahlah, tidak perlu memikirkan tentang itu, lebih baik sekarang kamu selesaikan mandi dulu."Steven akan melangkah pergi, namun tangan Aira menahan tangannya. Steven lalu berbalik badan menghadap Aira, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Aira, kedua tangannya berpegangan pada tempat duduk Aira."Ada apa? Apa kamu ingin aku memandikanmu?" Steven
Tubuh Dian menegang ketika wanita di seberang telepon mengucapkan kata-kata itu. 'Sayang? Apakah suamiku berselingkuh dengan wanita lain?' Pikiran itu berkecamuk dalam pikiran Dian saat ia berusaha memahami maksud di balik panggilan tersebut. Keinginannya untuk percaya pada suaminya berbenturan dengan rasa curiga yang tak terelakkan.Dengan hati yang berdebar, Dian memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut tanpa memberikan penjelasan apa pun kepada wanita itu. Ia merasa panik dan cemas, tak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Rasa percaya pada suaminya mulai goyah oleh tanda-tanda yang tidak menguntungkan.Namun, Dian mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri dan memfokuskan pikirannya. Ia mengambil catatan untuk mencatat nomor penelepon tersebut. Ia merasa perlu mengumpulkan bukti dan mencari kebenaran sebelum menuduh suaminya. Ia tidak ingin membiarkan rasa curiganya merusak hubungan mereka sebelum fakta-fakta yang sebenarnya terungkap.Dengan tangan yang gemetar, Dian mencatat
Steven baru saja pulang setelah berdiskusi dengan Aryo tentang usaha apa yang akan mereka jalani. Saat ia memasuki kontrakannya, ia memperhatikan lampu masih dalam keadaan mati, membuatnya menyimpulkan bahwa Aira belum pulang ke kontrakan mereka. Dengan cepat, ia mengambil kunci cadangan dari dalam tasnya dan setelah itu memutar anak kunci. Pintu terbuka tanpa bunyi.Segera setelah masuk, Steven meraba-raba untuk menemukan saklar lampu, dan saat ia menemukannya dan menyalakannya, cahaya lampu memenuhi ruangan. Kini kontrakan terang benderang. Lelaki tampan itu langsung menuju dapur untuk mengambil air dari dispenser. Aira belum pulang dan keadaannya membuat Steven sedikit khawatir.Setelah meneguk segelas air yang menyegarkan tenggorokannya, ia meletakan gelasnya di meja dan melirik jam dinding. Jarum pendeknya menunjukkan pukul sembilan malam. Aira masih belum juga pulang. Sedikit cemas, Steven memutuskan untuk menghubungi Aira dan mencari tahu keadaannya. Ketika ia hendak mengambil p
Tidur Aira terusik oleh sinar matahari, memaksanya mengucek kedua bola matanya. Aira segera duduk dan mengacak rambutnya dengan gerakan cepat."Hoam ..." Dia menutup mulutnya, masih setengah terbangun oleh rasa ngantuk yang belum sepenuhnya hilang. Gadis cantik itu buru-buru turun dari tempat tidur dan melangkah menuju jendela, membuka tirai untuk menyambut udara pagi yang segar.Setelah jendela terbuka, udara pagi yang berhembus ke wajahnya memberikan kesejukan tersendiri. Meskipun demikian, hari ini Aira masih merasa kesal dan malas untuk meninggalkan kamar. Kehadiran Steven membuatnya bimbang; apakah harus keluar atau tidak. Perutnya pun sudah memberikan isyarat lapar, dan keinginan untuk mencuci muka serta menggosok gigi semakin terasa.Setelah sejenak berpikir, Aira memutuskan untuk keluar dari kamar. Saat berdiri di depan pintu, ia memutar handle, namun terkejut ketika pintu sudah terbuka. Di sana, Steven berdiri dengan senyum cerah."Selamat pagi, cantikku," sapa Steven.Aira me
"Aku ingin kita berpisah, Mas!" ucap Dian dengan suara gemetar, wajahnya penuh dengan kesedihan."Apa yang kamu katakan?" Dimas menatap istrinya dengan heran, tidak percaya bahwa kata-kata tersebut keluar dari mulut Dian."Aku bilang, aku ingin kita berpisah!" ucap Dian dengan nada getir, mencoba mengungkapkan keputusannya dengan tegas.Dimas menggeleng, mencoba menolak kenyataan yang terasa begitu pahit. "Tidak, aku tidak akan menceraikanmu."Dian menghapus air matanya dengan kasar, dan menatap suaminya dengan nyalang. "Kenapa? Bukankah sekarang kamu sudah memiliki wanita lain? Aku tidak mau kamu menduakan cintaku. Aku tidak mau hidup seperti ini.""Iya, aku memang berselingkuh. Aku tahu aku salah, tapi kamu harus tahu, selama ini aku terpaksa menikahimu. Aku terpaksa menerima perjodohan kita," kata Dimas dengan suara penuh penyesalan.Dian terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sudah cukup sulit baginya menerima kenyataan bahwa suaminya berselingkuh, dan sekarang
Steven mengepalkan kedua tangannya, emosi membara di dalam dirinya setelah mendengar perkataan Andre. Percikan api kemarahan sudah terlihat jelas di kedua bola matanya.Bugh!Steven mendaratkan pukulannya ke wajah Andre, membuat tubuh Andre tertoleh ke samping, darah segar mengalir di sudut bibir Andre. Andre menghapus darah tersebut dengan kasar, lalu menatap Steven kembali dengan tatapan emosi yang sudah meluap-luap. Kemudian, dia membalas pukulan Steven.Bugh!"Kurang ajar, seharusnya waktu itu aku membunuhmu saja!" umpat Andre kesal.Steven kembali membalas pukulan Andre.Bugh!"Dengar, lelaki tidak tahu malu! Aku peringatkan sekali lagi, sekarang dan sampai kapan pun Aira adalah milikku. Kamu maupun Michael sudah tidak ada harapan lagi untuk memiliki Aira. Kamu dengar itu!" desis Steven sambil menarik kerah Andre.Kemudian, ia menghempaskan tubuh Andre begitu saja. Andre merosot beberapa langkah sebelum akhirnya bangkit kembali dengan pandangan marah yang menyala di matanya."Dia
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka