Malam ini, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar cerah. Aira berjalan tanpa tujuan yang pasti, melibatkan dirinya dalam pertarungan batin yang rumit. Kata-kata Andre menghantui pikirannya, memaksa Aira untuk membuat pilihan sulit di antara sahabatnya dan statusnya bersama Steven yang sudah menikah.Langkahnya terhenti di tepi danau yang tenang. Sebuah tempat yang sering dia kunjungi untuk merenung dan mencari ketenangan. Aira melihat air danau yang memantulkan kilauan cahaya bulan, menciptakan pemandangan yang indah, namun tak mampu menghapus kerumitan dalam hatinya.Duduk di kursi yang ada di tepi danau, Aira membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Tangannya meraih kalung di lehernya, sebuah kenangan pahit dari Michael, mantan kekasih yang memilih untuk meninggalkannya dan tidak mau bertanggung jawab atas anak yang ada di rahimnya. Kalung itu, seperti sebuah penanda masa lalu yang tak pernah lekang oleh waktu.'Lihatlah, Michael, aku selalu mengenakan kalung pemberianmu.
Gedung Fashion Show yang megah terbentang di depan mata Aira. Dengan langkah percaya diri, ia memasuki pintu masuk, memancarkan pesona seorang wanita yang tengah siap menyaksikan acara yang dinanti-nantikan. Kemeja putihnya dan rok panjang berwarna pink memberikan sentuhan feminin yang elegan pada penampilannya. Tidak hanya penampilannya yang mencuri perhatian, tetapi juga senyuman dan pesona yang selalu melekat pada dirinya.Di dalam gedung, sorotan lampu yang berkilauan dan gemerlap suasana menunjukkan bahwa acara fashion show sedang dalam persiapan. Aira memandang sekeliling, mencari dua sahabat setianya, Fika dan Nita. Pencarian itu tidak memakan waktu lama. Keduanya tampak duduk di salah satu sudut ruangan, sedang asyik membahas detail fashion show yang akan segera dimulai.Dengan senyuman lebar, Aira mendekati Fika dan Nita. "Hai, kalian! Kalian sudah lama di sini?" sapa Aira penuh semangat.Fika dan Nita menyambut Aira dengan antusias. Mereka berbagi kegembiraan menyambut acara
Aira duduk di kursi belakang mobil bersama Fika, sementara Santi dan Nita berada di depan dengan Nita yang menyetir. Aira merasa agak canggung dengan ajakan teman-temannya ke kelab malam. Meski sebenarnya, dulu ia sering pergi ke kelab malam bersama mereka, tetapi sekarang ia tidak ingin masuk lagi ke tempat seperti itu. Namun, Fika, Santi, dan Nita terus saja membujuknya dengan semangat."Kalian tahu, aku tidak ingin ke tempat itu lagi. Kenapa kita harus pergi ke sana?" ujar Aira, mencoba memberi pengertian.Fika tersenyum sambil meletakkan tangannya di pundak Aira. "Aira, ini hanya kesempatan langka untuk kita bersenang-senang. Sudah lama kita tidak berkumpul seperti ini. Ayo, lihat sisi positifnya!"Nita yang tengah berkendara, ikut campur dalam pembicaraan, "Benar, Aira. Ini momen untuk melepaskan kepenatan sejenak dan menikmati malam bersama-sama."Santi juga berkata, "Kamu kan tahu kita pasti bakal punya waktu yang luar biasa di sana. Ayo, jangan bikin malam ini terlewat begitu s
Ketika Aira akan mengambil segelas air minumnya di atas meja, matanya melihat ke arah sosok seseorang yang ia kenal. Ia membulatkan sempurna kedua bola matanya, ketika melihat Steven dengan wajah datar sedang berjalan ke arahnya.Steven mengetahui bahwa Aira sedang berada di kelab dari status yang diunggah oleh Santi. Steven merasa kesal kepada Aira karena berada di tempat yang seperti itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menuju ke tempat Aira dan teman-temannya berada. Setelah sampai di sana, ia melihat Aira dan teman-temannya sedang bersenang-senang. Tepat berada di hadapan teman-temannya Aira, mereka semua terdiam ketika melihat Steven yang ada di sana. Sejak dulu, mereka sering menghina Steven karena dia dianggap orang yang tak mampu."Steven, apa yang kamu cari di sini?" tanya Nita dengan nada tinggi, mencoba menunjukkan superioritas.Steven mengatupkan rahangnya, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku di sini untuk menjemput Aira."Andre yang berdiri di samping Aira tersenyum sinis.
"Ah, lihat saja, dia bahkan tidak berani menolak. Kamu memang seperti yang selalu kukira, Steven," ejek Andre dengan nada sinis.Steven memandang gelas vodka di tangannya, merasa dilema. Di satu sisi, dia tidak ingin memberikan kepuasan kepada Andre, tapi di sisi lain, tekanan dari lingkungannya membuatnya cenderung untuk menuruti. Akhirnya, tanpa sepatah kata pun, Steven meminum vodka tersebut.Tawa Andre menggelegar di seluruh ruangan. Ia merasa puas melihat Steven terjebak dalam permainannya. Andre kemudian menuangkan vodka lagi ke dalam gelas Steven berkali-kali, seakan ingin menegaskan supremasinya."Ayo, Steven, minumlah. Biarkan kejantananku menginspirasi dirimu yang lemah ini," goda Andre dengan penuh keangkuhan.Steven merasa cegukan seketika setelah menelan vodka beberapa kali. Aira semakin merasa khawatir melihat perubahan dalam perilaku Steven yang semula tegar dan kini terlihat rapuh.Beberapa teman mereka yang lain ikut terbawa suasana dan memberikan tepuk tangan setuju.
"Diam, Steven." Aira memohon dengan suara lemah. "Tolong, berhenti sejenak. Aku membutuhkan waktu untuk memikirkan ini.""Tidak, Aira, aku tidak akan memberikanmu waktu lagi," ucap Steven dengan nada mengambang."Steven, kamu sedang mabuk, tolong jangan seperti ini!"Aira merasakan tekanan dari Steven yang semakin meningkat, dia mencoba menenangkan diri. "Steven, tolong dengarkan aku," desisnya dengan suara gemetar.Namun, mata Steven terlihat kosong, tanpa respons apa pun. Aira mencoba dengan sekuat tenaga untuk menghentikan ulah Steven. Dalam keputusasaannya, Aira mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Steven, tetapi percobaannya sia-sia. Dia merasa tak berdaya di bawah kekuatan yang tidak wajar ini."Sudahlah, Steven! Ini tidak benar. Kita bisa bicara," seru Aira dengan harapan bahwa kata-katanya dapat meraih sisa-sisa kesadaran Steven.Namun, suasana semakin tegang, dan Aira berharap ada bantuan atau pemahaman yang bisa mengubah arah kejadian ini.Aira mencoba untuk menghentikan
"Steven," lirih Aira."Iya," jawab Steven yang masih fokus untuk mengambil barang-barang tersebut."Kenapa tanda lahir di punggungmu sama dengan tanda lahir Michael?"Deg!Perkataan Aira membuatnya diam seribu bahasa. Steven merasakan seolah dunia berhenti sejenak. Dia mematung, tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan. "Benarkah, aku tidak tahu bila tanda lahirku sama dengan Michael. Mungkin hanya kebetulan saja," Steven berkata, sambil membawa sabun cair dan barang lain di tangannya."Apa mungkin di dunia ini ada yang memiliki tanda lahir yang sama?" tanya Aira kembali.Steven meletakan apa yang ia bawa di samping Aira. "Itu bisa saja terjadi, sudahlah, tidak perlu memikirkan tentang itu, lebih baik sekarang kamu selesaikan mandi dulu."Steven akan melangkah pergi, namun tangan Aira menahan tangannya. Steven lalu berbalik badan menghadap Aira, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Aira, kedua tangannya berpegangan pada tempat duduk Aira."Ada apa? Apa kamu ingin aku memandikanmu?" Steven
Tubuh Dian menegang ketika wanita di seberang telepon mengucapkan kata-kata itu. 'Sayang? Apakah suamiku berselingkuh dengan wanita lain?' Pikiran itu berkecamuk dalam pikiran Dian saat ia berusaha memahami maksud di balik panggilan tersebut. Keinginannya untuk percaya pada suaminya berbenturan dengan rasa curiga yang tak terelakkan.Dengan hati yang berdebar, Dian memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut tanpa memberikan penjelasan apa pun kepada wanita itu. Ia merasa panik dan cemas, tak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Rasa percaya pada suaminya mulai goyah oleh tanda-tanda yang tidak menguntungkan.Namun, Dian mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri dan memfokuskan pikirannya. Ia mengambil catatan untuk mencatat nomor penelepon tersebut. Ia merasa perlu mengumpulkan bukti dan mencari kebenaran sebelum menuduh suaminya. Ia tidak ingin membiarkan rasa curiganya merusak hubungan mereka sebelum fakta-fakta yang sebenarnya terungkap.Dengan tangan yang gemetar, Dian mencatat