Om Pras bangun dan berjalan cepat ke arah Khansa yang terdiam, hingga sampai di hadapannya digandengnya tangan Khansa untuk kembali melangkah. Papa yang melihat ke arah Khansa berdiri, ikut berdiri dan berpesan pada Om Pras. "Pras, bantu papa sesuai yang tadi kita bahas. Papa percayakan padamu dan Rama. Jika masih belum bisa diatasi, baru papa meminta bantuan rekan papa di luar negeri," ucapnya sambil berjalan menuju Khansa. "Khansa, jangan mengedepankan emosi, ingat! Cucu papa sudah mau dua. Asha akan papa ajak. Kalian selesaikan urusan kalian. Kami tunggu untuk makan siang di Residence," ucap papa sambil mengusap pucuk kepala Khansa pelan dan tersenyum pada Om Pras. Khansa masih terdiam mencoba memahami yang dikatakan papa. Khansa sudah dibimbing untuk duduk di kursi kebesaran Om Pras. Dia sendiri duduk di kursi yang tadi ditempati Papa Asyraf. "Hanny bukannya kemarin sudah mengizinkan papa untuk membantu Yasmine? Papa hanya memenuhinya," ucap Om Pras menjelaskan. "Pa, ada masalah
"Saya akan coba cari informasi mengenai Amanda atau Diana. Setelah saya dapatkan akan saya kabari secepatnya," ucap Rama menjanjikan Mama Dewi. Sebuah senyuman terbit dari sudut Mama Dewi, Rama masih harus waspada dengannya. Di masa lalu banyak hal yang terjadi disebabkan rencana yang dibuat Mama Dewi, termasuk kecelakaan mobil yang membuat Amanda meninggal dan Prasetya kehilangan sebagian ingatannya. Rama menikmati kue sambil menerawangkan pikirannya hingga tanpa disadarinya Nadin mengambil gelasnya untuk diisi kembali berbarengan dengan tangan Rama yang akan mengambil gelas yang masih tersisa walau sedikit. Sentuhan tangannya pada tangan Nadin membuatnya tersentak kaget dan menarik dengan cepat tangannya hingga membiarkan Nadin mengisinya kembali. Mama Dewi hanya memperhatikan saja dengan senyum yang semakin berkembang. "Rama, sepertinya aku harus minta tolong kembali," ucap Mama Dewi membuat Rama menoleh ke arahnya begitupun Nadin. "Aku ingin makan nasi bebek langganan di jalan M
"Dim, kamu saja jelaskan pada Handy, pusing aku mikirin solusinya," ucap Gilang tambah kesal. "Han, punya rekanan untuk penyediaan bahan baku dalam jumlah banyak?" tanya Dimas pada Handy. "Pabrik apa?" tanya Handy menatap Dimas lekat."Pabrik Gunawan Grup, namun spesifikasi yang sesuai bisa dijelaskan Gilang," ucap Dimas pelan. Kemudian Dimas menarik nafas panjang sambil berucap, " Bagaimana jika kita menemui Prasetya, jaringan kerja samanya banyak. Siapa tahu ada yang bisa bekerjasama dengan kita." Gilang menatap Dimas, dalam hati Gilang tak yakin Prasetya akan membantunya, apalagi dia sebenarnya adalah karyawan Narendra, bagaimana bisa dia melibatkan tempatnya bekerja dengan perusahaan milik pribadinya. "Tapi Dim, aku adalah karyawannya, mana bisa membawa masalah pribadiku?" tanyanya menghilangkan keraguannya. "Kita belum mencobanya, semoga saja Prasetya bisa membedakaan antara kawan dan lawan," ucap Dimas beralasan. "Maksud kamu apa Dim? kita di pihak mana?" tanya Gilang semakin t
Diana hanya menatap sekilas Rama, dilangkahkan kakinya menuju kursi dihadapan Rama. Di bawah tatapan tajam Rama, Diana membalas tatapan Rama dan berkata, "Itulah alasan mengapa aku mengundurkan diri, aku ingn menjadi diriku sendiri. Diana bukan Amanda," ucapnya dengan penekanan di bagian akhir. Rama tak menurunkan tatapannya, Diana yang akhirnya mengalah dengan menundukkan wajahnya. Tak lama butir bening jatuh perlahan ke atas tangan yang ditautkan di pangkuannya. Rama menarik nafas dalam dan bertanya, "Siapa yang memintamu mengubah identitas menjadi Amanda? Brian atau Xavier?"Diana berusaha menghentikan butir bening yang jatuh dengan beberapa kali menarik nafas dalam. Diana menggelengkan kepalanya menandakan dia tak ingin menjawab. Kedua orang yang disebutkan Rama adalah orang yang disayanginya tak mungkin dia mengatakannya pada Rama. "Mengapa baru sekarang ingin menjadi diri sendiri?" tanya Rama heran. Kali ini nada bicara Rama sudah menurun tidak sekeras saat awal perbincangan.
Diana terdiam menatap Rama yang baru saja meninggalkan mejanya, diingatnya lagi panggilan yang diucapkan Rama, Diana. Sebuah senyuman terbit dari wajah Diana yang merona, dihubunginya Gilang untuk datang menemui Pak Pras seperti perintah Rama tadi. Setelah mendapatkan konfirmasi, Diana menghubungi Rama kembali untuk memberikan jawaban dari Gilang, jika akan datang setelah istirahat siang. Rama menyiapkan semua keperluan untuk kedatangan Gilang nanti, Pras memintanya membuat perjanjian kerjasama jika Gilang ingin dibantu oleh Narendra. Hampir dua jam Rama menyiapkan berkas yang diperlukan tak terasa sebentar lagi jam istirahat, saat dilihatnya meja Diana yang kosong menandakan dia sudah ke kantin untuk makan siang. Mengapa kini dia memperhatikan yang dilakukan Diana. "Ram, sudah makan siang?" sebuah suara mengejutkannya. Saat ditolehkan wajahnya ke arah suara, Nadin berdiri dengan membawa tas makanan. "Mama memintaku membawakan masakan yang mama buat untuk Pras dan kamu Ram," kelas N
Rama mencoba mengendalikan dirinya dengan tetap fokus ke arah jalan. "Dari mana Nadin mengetahui hal ini? Apakah Diana mengatakannya juga pada Nadin?" tanya Rama dalam hati. Nadin tak memaksa Rama menjawab pertanyaannya, dia hanya penasaran dengan sikap Rama yang tak seperti biasanya. Jika memang Rama lebih memilih Diana, dia sudah siap untuk mundur dan tak akan mengganggu hubungan Rama dengan Diana."Mengapa kamu menanyakan hal itu? Apakah Diana mengatakan sesuatu mengenaiku?" tanya Rama tanpa menoleh pada Nadin. Nadin tersenyum, setelah sekian lama memendam perasaannya pada Rama. Jika kini Rama memilih orang lain tak akan memengaruhi kehidupannya. Selama ini dia hanya mengurus Mama Dewi, dan mungkin selamanya akan seperti itu. batin Nadin sambil tersenyum kecil."Diana pernah mengatakan jika dia menyukaimu Ram, saat itu aku hanya memberikan saran agar mendekatimu dengan jujur jangan menggunakan identitasnya sebagai Amanda. Sepertinya kini Diana sudah meng
Gilang menatap Brian tak percaya, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tak ada Brian, Dimas tak pernah menceritakan masalah pribadinya," ucap Gilang singkat dan langsung membalikkan badannya melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Gilang kini tak percaya dengan Brian, cukup satu kali dia bekerja sama dengannya dan akan dipastikan ini adalah yang terakhir kalinya.Brian tersenyum kecut melihat sikap Gilang yang tak bersahabat. Sebuah panggilan masuk diponselnya membuatnya tersenyum , Handy menghubunginya. Sepertinya rencana papa sudah mulai dilaksanakannya. Semoga saja kali ini bisa berhasil dengan baik, tidak seperti sebelumnya. Batin Brian sambil menggeser layar ponsel untuk memulai percakapan terkait kerja sama yang mereka lakukan. "Bagaimana Han? Xavier sudah menghubungimu bukan?" tanya Brian cepat setelah terdengar suara di seberang. "Ya, hanya aku masih tidak memahami tujuan yang diinginkannya," ucap Handy jujur. "Bagian mana yang kurang paham Han? Aku bisa bantu
"Hanny, sudah selesai memeriksanya?" tanya Om Pras. Yasmine sudah mengirimkan waktu bertemu di rumah sakit sekitar pukul sebelas. Khansa menatap Om Pras sesaat. Om Pras melihat ke arah meja. Khansa tak memeriksa laporannya, namun banyak coretan-coretan yang dibuatnya."Aku kan sudah bilang aku tidak bisa Om!" seru Khansa kesal sambil melemparkan pupen ke atas meja yang akhirnya terjatuh di dekat kaki Om Pras. Selalu saja jika kesal memanggilnya dengan panggilan yang tak disukainya. Om Pras mengambil pulpen dan meletakkannya di atas meja. Kali ini dibiarkannya Khansa berbuat semaunya, bagaimanapun Khansa pasti sedang gelisah menunggu hasil tes DNA yang dilakukannya. "Kita pergi sekarang, Yasmine mengabari akan sampai di rumah sakit pukul sebelas," ucap Om Pras sambil menatap dalam Khansa. Sesaat Khansa terdiam hingga akhirnya bangun dan mengulurkan tangannya mengambil tas di meja. Khansa menatap lekat Om Pras dan mengangguk menandakan dia sudah siap berangkat. Perjalanan menuju rumah