Addy menenangkan Kirana yang masih terlihat begitu emosi. Tidak lama, perempuan itu pun menangis. Kirana menumpahkan tangisnya sambil memeluknya. Dia mungkin sadar dengan apa yang baru saja terjadi padanya.
“Tenanglah, Kirana.” Addy mengusap kepala istrinya itu. Dia tahu bagaimana perasaan istirnya.
Orang tua mana yang tidak sakit hati saat posisi mereka disepelekan oleh putri mereka sendiri? Merasa tidak dianggap, tidak dihormati. Beranggapan bahwa setiap kesalahan yang ia lakukan tidak berarti apa-apa.
Meski mereka bisa menjadi manusia yang pemaaf untuk anak mereka, tapi jika sudah keterlaluan, mereka juga bisa marah dan merasakan sakit. Sampai kapan sebagai orang tua mereka akan terus mendapatkan sikap seperti ini? Alison hanya tahu menuntut orang tua untuk mengabulkan semua yang ia inginkan, tanpa tahu kesulitan orang tua saat melewati itu semua.
“Aku lelah dengan sikapnya, Addy,” ucap Kirana di tengah tangisnya yang belum mere
Siang ini terasa sangat membosankan karena tidak ada kegiatan sama sekali. Biasanya Aliya akan disibukkan dengan pekerjaan, atau setidaknya ia akan keluar menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Tapi, kini ia justru terkurung di rumah ini tanpa bisa melakukan apapun.Aliya melirik Argan yang berada tidak jauh darinya. Pria itu tampak sibuk dengan laptopnya. Ia mungkin tengah mengurus pekerjaannya.“Argan.”“Hm?” Argan menyahut tanpa menoleh. Dia terlihat sangat fokus.“Boleh aku keluar bersama teman-temanku?”Argan bergeming.Aliya yang menunggu jawabannya hingga beberapa detik pun dengus kesal.“Argan!” Dia menggoyangkan lengan pria yang kini telah menjadi suaminya itu.Argan berdecak kecil. “Ada apa, Ay?”“Kamu belum menjawab pertanyaanku?” Aliya memberengut. Padahal dia menunggu jawaban dari pria itu, tapi dia terlihat mengabaikannya.“Iya. Iya.” Argan mengangguk dengan enggan.Seketika, kedua mata Aliya berbinar. Senyumnya merekah sempurna.“Benarkah?”“Tentu.”“Yeay!”Aliya bers
Alison mengendap-endap keluar dari rumahnya. Meski sedang dalam masa hukuman, Alison menolak untuk dikurung di kamarnya seharian. Ia tahu orang tuanya marah, tapi tidak harus dengan cara itu mereka melakukannya.“Sial.” Alison menginjak batang rokok yang sudah ia hisap hingga tersisa pendek. Dia meluapkan emosinya dengan menginjak sampah itu. “Aku tidak menyangka keadaan akan jadi seperti ini.”Perempuan itu menyugar rambutnya ke belakang. Tidak banyak yang mengetahui sisinya yang seperti ini. Bahkan Argan pun tidak. Alison, adalah gadis yang menyukai kebebasan. Tapi kebebasan yang dimaksud tentu tidak sama dengan Aliya. Kebebasan Alison lebih ke arah semua hal yang menyenangkan. Dia bahkan tidak peduli jika hal itu akan merugikannya.Alison setia pada Argan. Dia mencintai pria itu. Hanya saja, terkadang ia juga bermain dengan pria lain, tanpa menggunakan hati. Hanya sebuah permainan yang membuatnya senang dan dimanjakan.“Aku harus mencari Argan,” ucap Alison. Dia mengambil handphone
Alison kembali ke rumah, dan dia mendapat teguran dari orang tuanya. Dia harus duduk di ruang tamu selama hampir satu jam untuk mendengar ceramahan mereka. Tapi, apakah Aliso mendengarkan? Tentu saja tidak. Dia hanya diam, berpura-pura menyesal. Padahal, dalam hati dia sangat bosan mendengarkan ocehan mereka. Alison masih banyak memerankan drama anak baik karena ia masih membutuhkan dukungan orang tuanya.“Jangan lagi ulangi kesalahanmu ini, Alison. Ayah dan Ibu sudah lelah menghadapi masalah yang kamu buat.” Addy memijit pelipisnya. Kepalanya terasa sakit akibat menghadapi sikap putrinya yang susah diatur. Addy sendiri merasa heran, Alison terlihat patuh, namun dia begitu banyak membuat masalah. Tidak seperti Aliya yang memang pembangkang, tapi Addy tidak pernah mendengarnya membuat ulah.“Cobalah seperti Aliya, dia tidak sepertimu yang hobi menyulitkan orang tua,” ucap Kirana dengan nada datar.Tangan Alison diam-diam terkepal saat dirinya dibandingkan dengan saudara kembarnya itu.
“Argan!”Saat Argan baru tiba dikantornya untuk kembali bekerja setelah libur beberapa hari, ia dikejutkan oleh kedatangan Alison yang tiba-tiba memeluknya.Argan dengan segera melepaskan pelukan perempuan itu. Selain ia memang tidak suka, sikapAlison yang seperti ini juga bisa menimbulkan kesalahpahaman.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Argan terdengar tak senang.“Aku ingin menjelaskan semuanya.” Alison memelas. Ini kesempatan baginya, karena ia bisa bertemu Argan secara langsung. Sejak kemarin yang ingin ia lakukan adalah bertemu dengan pria itu, tapi hal itu sangat sulit. Karena Argan baru saja menikah, ia tidak lagi tinggal di rumahnya. Dan menghubungi Argan juga percuma, yang selalu menjawab panggilan darinya selalu Aliya. “Argan ku mohon dengarkan aku.”“Aku tidak ingin mendengar apapun.” Alasan yang diberikan Aliosn tidak akan bisa mengubah apapun. Karena kini semua sudah berubah. Argan sudah terikat dengan Aliya, jadi dia tidak ingin lagi berhubungan dengan Alison. Biarkan pere
Untuk Aliya yang sering bergaul dengan siapa pun, ia tidak akan mudah jatuh cinta. Dan juga, tidak mudah menerima seseorang yang menyatakan perasaan padanya.Lalu, bagaimana saat dia mendengar salah satu teman terdekatnya justru memendam perasaan padanya?“Nial?” Aliya mengernyit. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang teman-temannya katakan. “Tidak mungkin.”“Bagaimana itu tidak mungkin? Apa kamu tidak sadar semua sikap Nial padamu itu berbeda?”Terkadang sikap Aliya yang sangat tidak peka itu membuat orang lain gemas ingin memukul kepalanya. Saat diberitahukan pun ia tidak mudah percaya dengan omongan mereka.“Dia terlalu buta,” cibir Liora. “Percuma saja bicara dengannya, Gina. Hanya membuang tenaga saja.”“Kamu bicara seakan aku ini bodoh.” Aliya terkadang kesal dengan perkataan Liora yang sering mengejeknya. Tapi, Aliya tidak mudah mengalah. Jika sudah keterlaluan, ia akan membalas Liora tanpa mau kalah.“Memang kamu bodoh,” tukas Liora. Ia menjulurkan lidahnya ke arah Aliya.A
Nial meletakkan tasnya dengan kasar. Ia lalu mendudukkan diri tepat di samping teman-temannya. Ekspresi wajah Nial yang tidak bersahabat membuat mereka bertanya-tanya, ada apa dengan pria itu?“Apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa wajahmu kusut sekali?” tanya Zico.“Ini tentang Aliya,” ucap Nial menjelaskan. Rasanya tidak rela saat ia mengetahui kebenaran yang menyakitkan ini. “Dia … sudah menikah.”“Menikah?!” Teman-teman Nial pun tampak sangat terkejut mendengarnya.“Bagaimana mungkin? Kita bahkan tidak mendengar kabar apapun sebelumnya,” ucap Kelvin tidak percaya.“Aku mendengar sendiri dari Aliya. Bahkan aku baru saja bertemu dengan suaminya,” jelas Nial dengan kesal. Rasanya dia ingin memukul seseorang demi melampiaskan amarahnya saat ini.“Siapa memangnya?” tanya Zico penasaran. Setahunya, Aliya gadis yang cukup sulit didapatkan. Itu karena dia terlalu friendly, dia tidak mudah menaruh perasaan pada orang lain. Ia memang berteman dengan siapa saja, tapi ia memandang semua orang
Argan merasa heran karena sejak tadi Aliya tidak bicara sama sekali. Bahkan ekspresi wajahnya juga tidak terlihat baik. Saat Argan bertanya, dia selalu menjawab tidak apa. Padahal Argan tahu ada yang dipikirkan istrinya itu.Tapi, meski tahu Aliya berbohong, Argan tidak bisa menekannya untuk berkata jujur. Argan lebih memilih untuk membiarkannya. Ia merasa Aliya memang tengah membutuhkan waktu.Saat mereka tiba di rumah, Aliya masih saat seperti itu. Ia juga langsung tidur tanpa sepatah kata pun. Argan mencoba mengerti, mungkin Aliya tengah memikirkan sesuatu. Ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya.Lalu, saat Argan ikut berbaring di sisinya, ia mendengar istrinya itu bersuara.“Argan.”“Ya?” Perasaan lega terasa, kala Argan akhirnya mendengar istrinya mau bicara dengannya. Ia merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Dia memutar tubuhnya dan menghadap Aliya yang masih berbaring memunggunginya. “Ada apa, Ay?”“Apa menurutmu aku salah?”Argan tidak mengerti, “Salah?”“Tentang aku ya
Aliya memang sempat berharap ia bisa bicara dengan Nial dan meluruskan masalah yang ada di antara mereka. Tapi, ia tidak mengira jika Nial sendiri yang akan mendatanginya. Pria itu mengajak Aliya bicara tepat saat mereka bertemu di kampus. Meski terasa kecanggungan yang kental di antara mereka, Aliya tetap berusaha mengenyahkan perasaan itu, dia mengikuti Nial untuk menyelesaikan masalah mereka.Nial membawanya duduk di sebuah kursi di taman kampus. Seperti biasa pria itu akan membersihkan terlebih dahulu tempat yang akan diduduki Aliya. Meski Aliya sudah menahannya untuk tidak melakukan itu, Nial tidak mendengarkan.“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Aliya setelah mereka duduk dengan nyaman.“Aku … ingin bertanya dan memastikan sekali lagi, apa benar kamu sudah menikah?”Alliya merasa ragu sesaat, tapi dia tetap menjawab, “Ya.”“Dan suamimu itu … Argan?”“Iya,” jawab Aliya lagi.Nial mendengus kecil. Rasanya benar-benar tidak rela saat ia mengetahui jika Aliya telah resmi m
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman