"Aku nggak bisa," ungkap Zivara. Dia menguatkan diri agar tidak terbuai rayuan suaminya. "Kenapa nggak bisa? Kira sudah sah menikah Aku berhak atas dirimu, begitu juga sebaliknya," bantah Arudra sembari menengadah. "Mas, kita menikah dengan perjanjian. Itu sebetulnya juga sudah menyalahi aturan." "Ya, itu betul. Tapi saat ijab kabul, aku bersungguh-sungguh mengucapkannya. Bukan asal bicara." "Sudah kukatakan berulang kali. Kalau Mas menginginkanku, lepaskan dia.""Itu ... sulit." Zivara bangkit duduk. "Karena itulah aku juga tidak bisa menyerahkan diri. Walaupun aku tahu, Mas punya hak atas diriku, tapi aku juga berhak untuk dijadikan satu-satunya istri. Bukan cuma istri cadangan yang harus menerima Mas setelah berbagi peluh dengannya." Arudra mendengkus. "Kamu sangat keras hati." "Aku harus begini, supaya tetap waras dan jadi diri sendiri." Keduanya saling menatap, sebelum Arudra berdiri dan jalan ke pintu. Zivara hanya memandangi lelakinya yang beranjak keluar, tanpa bernia
Malam itu, kediaman Sultan Pramudya terlihat ramai. Acara pembacaan doa berlangsung dengan khidmat. Ustaz yang diundang pemilik hajat, memaparkan petuah tentang kehidupan berumah tangga yang bisa menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan warohmah. Seusai berdoa, Sultan dan Winarti bergantian menceritakan kisah cinta mereka dan suka-duka dalam membina rumah tangga, sampai berhasil mempertahankan keutuhan pernikahan hingga 32 tahun. Zivara tersentuh mendengar penuturan Winarti, tentang masa-masa kelam kehidupannya. Pernikahan mereka memang lurus dan tidak pernah tersentuh pihak ketiga. Namun, cobaan mereka ternyata berasal dari berbagai peristiwa penyerangan terhadap Sultan dan Winarti, yang terjadi di masa silam. Zivara menonton video yang diputar di layar besar. Dia menangis menyaksikan perjuangan Winarti yang sempat lumpuh akibat kecelakaan lalu lintas 10 tahun silam. Air mata Zivara terus mengalir ketika melihat foto-foto Sultan yang mengalami luka serius, akibat diserang sekel
Tepat pukul 7.30 pagi, rombongan pimpinan Riaz berangkat menuju Jakarta Utara. Adik Zulfi tersebut memang sudah ditugaskan untuk mengawal rombongan bos PC dan keluarga, yang hendak berwisata. Arudra yang berada di mobil pertama bersama teman-temannya, terlibat percakapan tanpa makna yang dipenuhi gelak tawa. Zivara berada di mobil kedua yang dikemudikan Fazwan. Dia dan ketiga sahabatnya berbincang mengenai rencana mereka untuk membuka cabang tempat kebugaran. Divia yang mengusulkan itu pada Zivara. Bahkan, istri Zein tersebut menawarkan ruko miliknya untuk digunakan sebagai tempat usaha, dan nantinya mereka akan berbagi hasil. Zivara sudah membicarakan hal itu pada Sarah, saat mereka sarapan tadi, dan sang bos setuju. Mereka sepakat akan mendatangi Divia Selasa nanti untuk membahas detail selanjutnya. Setibanya di tempat tujuan, semua orang keluar dari kendaraan. Riaz dan teman-temannya mengatur anggota rombongan untuk berbaris, sebelum mereka jalan menuju tempat pembelian tiket.
Beberapa mobil melaju melintasi jalan tol menuju Bandung. Semua sopir sangat berhati-hati mengemudi, terutama karena setiap kendaraan sarat penumpang. Riaz dan teman-temannya telah digantikan beberapa pengawal senior yang hendak bertugas ke Bandung dan sekitarnya. Hal itu sudah diatur Wirya saat mengetahui jika sebagian teman-temannya tidak ikut dalam rombongan bus, karena hendak berwisata terlebih dahulu. Arudra yang berada di mobil pertama, berusaha untuk tetap terjaga dan menemani Harun yang menjadi sopir. Sementara Drew dan yang lainnya telah terlelap di kursi tengah serta belakang. Hal serupa juga dilakukan Fazwan dan Zivara yang berada di mobil kedua. Mereka menemani Jauhari berbincang mengenai banyak hal. "Bang, Mas Ra ngajak berhenti di rest area depan," tukas Zivara seusai membaca pesan dari suaminya. "Oke," sahut Jauhari. "Kebetulan, aku memang mau ke toilet," ungkapnya. "Nanti biar aku yang gantiin nyetir, Bang," sela Fazwan yang berada di kursi samping kiri sopir. "
Bilal berpamitan pada Zivara dan Fazwan, sesaat setelah menghabiskan mi goreng buatan Nyonya rumah. Ajudan kepercayaan Arudra bergegas ke depan rumah untuk menaiki motor ojek online. Fazwan membantu Zivara membersihkan rumah, kemudian dia berpindah ke kamar tamu untuk melanjutkan istirahat. Namun, bunyi klakson dari depan bangunan membuatnya membatalkan niat untuk tidur. Lelaki berkaus hitam beranjak keluar. Dia tertegun menyaksikan Jauhari, Yusuf, Harun dan Rusdi, turun dari mobil SUV berplat Kota Bandung. Fazwan menyambangi mereka untuk membukakan pintu pagar dan mempersilakan tamu masuk. "Kami mau kontrol unit, kamu mau ikut?" tanya Jauhari sambil memandangi juniornya. "Mau," sahut Fazwan. "Bentar, aku ganti baju dulu," lanjutnya sembari memutar badan dan menjauh. Zivara keluar sambil membawa nampan berisi 4 cangkir kopi susu. Dia menghidangkan sajian di meja, kemudian ikut duduk di sebelah kiri Rusdi. "Akang, lagi libur juga?" tanya Zivara. "Ya. Aku baru beres jadi panitia
Arudra melangkah dengan tergesa-gesa memasuki bangunan tinggi. Tanpa mengindahkan tatapan penuh tanya para petugas keamanan dan pegawai kantor milik Budiman Sudarmanto, Arudra bergegas memasuki lift. Sementara di mobil, Bhadra meminta Zivara untuk tetap tinggal. Kemudian dia keluar dan menutup pintu dengan keras. Bhadra lari mengejar kakaknya, karena khawatir jika Arudra akan mengamuk. Zivara gelisah. Dia khawatir akan terjadi sesuatu pada Arudra. Perempuan berbaju krem akhirnya memutuskan untuk mencari bala bantuan. Sebab Bilal sudah cuti, Zivara beralih menghubungi Fazwan. "Kenapa dia ke kantor Pak Budiman?" tanya Fazwan dari seberang telepon. "Nanti kuceritakan, Kang. Pokoknya, Akang harus cepat ke sini. Aku takut dia kalap dan menimbulkan masalah," desak Zivara. "Oke. Kebetulan kami lagi di kantor HnB. Bentar lagi kami ke sana." Zivara menutup sambungan telepon. Dia mengalihkan pandangan ke pintu lobi yang sepi. Zivara berdoa dalam hati agar Arudra bisa menahan diri dan emos
Jalinan waktu terus bergulir. Satu minggu berlalu, Arudra benar-benar melaksanakan ucapannya untuk tidak mengunjungi Lanika. Pria berbibir penuh masih kesal karena perempuan tersebut telah lancang menjual properti tanpa izin. Arudra kian akrab dengan Zivara. Dia tidak sungkan untuk bermanja-manja pada sang istri, ataupun berbalik memanjakan pengantin keduanya. Malam itu, Arudra mengajak Zivara makan di luar. Dia membawa perempuan bergaun biru muda menuju restoran baru yang direkomendasikan teman-temannya di PC. Setibanya di tempat tujuan, Arudra melarang Zivara untuk turun. Dia bergegas keluar dan memutari kendaraan. Arudra membukakan pintu untuk Zivara yang terlihat bingung. "Mas, kenapa sekarang jadi gentle banget?" tanya Zivara, sesaat setelah keduanya menempati meja yang telah dipesan Arudra sejak tadi siang. "Lagi pengen aja," jawab Arudra. "Aku jadi curiga." "Hmm?" "Mas pasti minta pijitin." Arudra mengulaskan senyuman. Dia menyukai sifat humoris sang istri yang membuat
Sepanjang acara rapat pagi itu, Arudra kesulitan berkonsentrasi. Pikirannya tertuju pada Lanika yang masih mendiamkannya. Arudra penasaran, bagaimana istri pertamanya itu bisa berkenalan dengan Fendi. Arudra sudah menghubungi Arya yang menambahkan banyak informasi tentang Fendi. Arudra tidak menduga jika duda beranak dua itu pernah bersinggungan dengan hukum, sebelum proses perceraiannya beberapa tahun silam. Arya juga menerangkan jika Fendi dilindungi banyak pejabat yang dekat dengannya. Arya meminta Arudra untuk menasihati temannya buat menjauhi Fendi. Sebab bila tidak, mungkin akan ada masalah di kemudian hari. Puluhan menit berlalu, rapat telah usai. Arudra hendak berpamitan, tetapi dicegah rekan-rekannya. Pria berkemeja cokelat muda akhirnya kembali duduk dan larut dalam percakapan itu. "Benigno lagi cari orang yang mau pegang proyek di tempat saudara sepupunya Kanada. Kota Victoria," jelas Linggha. "Ada yang berminat?" tanyanya sambil memandangi orang-orang di sekitar. "Pro
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra