Jordhan shock melihat wanita yang kini berhadapan dengannya. Ia sungguh tidak menyangka jika wanita itu akan sangat dengan berani mendatangi kediaman tuan mudanya. Sedang wanita itu hanya menatap sinis pada pria paruh baya itu. "Paman!" Panggil Meylan dengan angkuhnya. Jordhan masih bertahan di posisinya. Berdiri tepat di depan pintu utama. Meylan pun menghampiri pria paruh baya itu. Dia menatap remeh. Seolah-olah dirinya lebih baik dari pria itu. "Xavier di mana!" Tanyanya pongah. Jordhan tersenyum tipis. Memang mantan calon istri tuannya itu sungguh tidak tahu malu. Atau bahkan mungkin urat malunya sudah putus?. "Tuan masih tidur bersama istrinya," jawab Jordhan datar. "Bohong!" Sela Meylan cepat. Lalu dengan tanpa permisi, ia menyelonong masuk ke dalam Mansion besar itu. Meylan mengedarkan pandangannya ke seluruh arah. Tapi, ia tidak menemukan keberadaan Xavier. Meylan pun kesal. Lalu ia menanyakan keberadaan pri
Pria tampan nan gagah itu membawa istri kecilnya menuju kamarnya. Pria itu memutuskan untuk membawa sang istri,karena ia khawatir jika sewaktu-waktu istri kecilnya membutuhkan pertolongan. Sebab jarak dari lantai bawah ke lantai atas lumayan lama meski di tepi ranjang ada tombol untuk memanggil maid. Tak lama Jordhan bersama beberapa maid menyusul. Membawakan beberapa menu sarapan untuk sang majikan. Tak lupa obat yang di minta oleh Xavier untuk Nandini. "Tuan,silahkan dan ini obat nona muda!" Ucap Jordhan seraya menunjukkan satu strip obat penenang,setelah menyerahkan obatnya Jordhan beserta para maid pun undur diri. Kasihan gadis itu. Hidupnya saat ini bergantung pada obat. Semoga saja kedepannya ia akan lebih baik,dan tidak terus menerus mengkonsumsi obat. "Sayang,sarapan dulu hmm. Setelah itu kamu minum obat dan istirahat," ucap Xavier lembut. "Obat apa?" Tanya Nandini. Xavier terdiam. Tidak mungkin dia berkata jika dirinya akan memberiny
Plakk Suara tamparan terdengar begitu nyaring di telinga siapa saja yang mendengarnya. Pipi mulus nan putih itu kini tercetak gambar lima jari yang begitu kentara. Wanita yang baru saja di tampar, tampak memegangi pipinya yang terasa kebas dan panas. "K-au me-namparku Vi-er?" Tanyanya terbata. "Hmm, untuk menyadarkan di mana dan bagaimana posisimu sebenarnya," desis Xavier. Pria itu menatap nyalang nan tajam. Seolah akan menguliti kulit si wanita itu. Meylan yang dahulu bak seorang Ratu di mata Xavier, saat ini tak lebih bak seonggok sampah. Meylan masih menatap nanar pada pria itu. Pria yang menempati hatinya sejak dulu hingga saat ini. Hanya karena nafsu selewat, Meylan harus kehilangan semuanya. "A-ku tidak menyangka, jika kau akan berlaku seperti ini padaku! Aku mengaku bersalah karena telah lari di hari pernikahan kita, tapi apakah aku sama sekali tidak ada kesempatan lagi untukku," ucap Meylan mengiba pada Xavier. Tapi pria i
Sebelum pulang ke rumahnya. Perempuan itu menyempatkan pergi ke klinik untuk mengobati luka di tangannya. Dia merasa tangannya patah sebab ia sama sekali tidak bisa menggerakkan sikunya. "Bagaimana tanganku, Dok?" Tanyanya pada dokter yang kebetulan menangani tangannya. Dokter paruh baya itu tersenyum kecil. Luka di tangan wanita muda itu sudah di balut dengan perban. Serta di beri penyangga, untuk menyatukan kembali tulang yang bergeser. "Tanganmu akan sembuh. Hanya saja memerlukan waktu yang agak lama, dan perban di tanganmu jangan sampai terkena air, dan saya akan resepkan beberapa obat yang harus anda konsumsi," kata dokter. "Baik, terima kasih dok! Saya permisi." Meylan pun pergi dari klinik kecil itu. Setelah sebelumnya menebus beberapa resep obat yang akan di konsumsi. Tangannya mulai terasa nyeri. Berbeda ketika tadi. Saat ini, begitu terasa nyerinya. Wanita itu berhenti di depan mobilnya, bingung bagaimana dia akan pulang. "Bagai
Hari itu, Xavier sudah akan berangkat sejak pagi sekali. Hari ini jadwal dia sangat padat. Akan ada meeting di luar juga nanti sore. "Paman, tolong jaga Nandini. Hari ini aku akan sangat sibuk sekali dan kemungkinan makan siang serta makan malam di luar. Tolong paman pastikan dia makan dan meminum obatnya. Dan juga istirahat yang cukup," ujar Xavier pada Jordhan yang kala itu kebetulan berada di ruang tengah. Pria paruh baya itu mengangguk. Meyakinkan sang tuan, jika ia bisa menjaga nona mudanya dengan baik. Jordhan pasti akan melakukan hal terbaik bagi gadis itu. "Baik tuan. Anda tidak perlu khawatir. Nona pasti akan saya jaga dengan sangat baik," balas Jordhan tenang dan tegas. "Tuan mau sarapan di rumah atau di perusahaan?" Tanya Jordhan pada sang tuan muda. Xavier pun mengangguk. Lantas ia pun pergi dari sana. Nandini masih tertidur, baru kali ini ia belum terbangun padahal hari sudah cukup siang. "Aku sarapan di kantor saja paman. Siapkan sa
Xavier keluar dari cafe itu dengan berjalan sempoyongan. Wajahnya sudah memerah menahan hasrat yang kian naik. Xavier terus merutuki kebodohannya, andai saja ia tidak mengadakan pertemuan di sana mungkin ini semua tidak akan terjadi. Tapi lagi dan lagi kata seandainya selalu menjadi bahan pembelaan seorang manusia. Setiap musibah tidak akan ada yang tahu. Begitu juga sesempurna apapun seorang Xavier Romanov jika waktunya celaka maka ia pun pasti akan celaka. "Sial sial sial! Brengsek siapa yang sudah berani menjebakku," maki Xavier. Meylan pun menyusul Xavier. Wanita itu melangkah dengan cepat supaya bisa mengimbangi langkah kaki pria tinggi besar itu. Dan usahanya pun berbuah manis, kini tangan wanita itu bisa menggapai lengan Xavier. "Sayang," panggil Meylan manjah pada Xavier. Otomatis Xavier menghentikan laju jalannya. Ia memutar tubuhnya, menatap wanita yang berstatus mantan istrinya itu. Xavier dapat melihat seringaian kecil di bibir wanita i
Suara isak tangis seorang gadis terdengar pilu di telinga. Membuat seorang pria yang tengah tertidur pun membuka matanya. Ia membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata tajamnya. Tangis itu masih terdengar. Sehingga membuatnya beranjak mendudukkan tubuh kekarnya. Mata tajamnya ia gunakan untuk melihat sekeliling, dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita sedang menangis memeluk lututnya sendiri. "Nandini," gumam pria itu. Xavier langsung menyambar celana tidurnya. Dan memakainya ia pun berniat menghampiri Nandini. Tapi, ujung matanya menangkap warna merah pekat yang tampaknya sudah mengering di atas sprei berwarna putih itu. "Ya Tuhan, gara-gara obat sialan itu, aku sampai menodainya. Meskipun status dia adalah istriku, tapi rasanya aku sudah berdosa karena memaksanya," ucap Xavier pelan. Lantas kaki panjangnya melangkah menuju gadis itu. Mendekatinya secara perlahan. Dan kini pria itu sudah berjongkok
Setelah berbicara dengan Nandini, Xavier pun pergi. Ia akan menemui Meylan, yang saat ini sudah dalam tawanannya. Mobil mewah berwarna hitam itu melaju membelah jalanan. Tak berselang lama, Xavier pun sampai. Bara menyambutnya. Sedangkan Abrian ia masuk lagi ke dalam, dan kini sedang berbicara dengan adiknya. "Kakak, apa kakak sudah tidak sayang lagi padaku hmm? Mengapa kakak malah memarahiku, bukannya mendukung apa yang aku lakukan seperti saat dulu, dan kenapa kakak tidak membantuku keluar dari sini." Abrian hanya menatap datar. Tanpa berbicara apapun. Sebenarnya ia ingin sekali menyelamatkan Meylan, tapi ia tahu bagaimana Xavier jika sudah marah dan saat ini kemarahan pria itu sudah berada di puncak. "Dulu tidak sekarang. Apa kau sadar jika apa yang kita lakukan pada Nandini itu salah, dan ibu sudah berhasil mencuci otak kita. Kini aku sadar, bagaimana baiknya adikku itu, dia dengan rela menggantikan posisimu, meski dia enggan. Walau dia bisa menolak,