Zanitha berdiri di depan koper kecil yang sudah dikemas Klaus. Tangannya membelai koper itu, memikirkan maksud di balik ajakan Ananta yang tiba-tiba. Bukan sekadar short trip. Bukan liburan seperti pasangan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu.“Karena kamu butuh alasan untuk tetap di sini.”Kalimat itu terus bergema di kepalanya. Mengganggu. Membuat batas antara logika dan perasaannya semakin tipis. Ia mengusap pelan perutnya yang mulai berat, lalu menatap bayangannya sendiri di cermin panjang di lorong kamar.Ananta muncul dari balik pintu. Mengenakan turtleneck hitam yang membuat kulitnya semakin pucat, dan mantel wool tebal yang membingkai tubuh tingginya. Tangannya menggenggam ponsel, wajahnya seperti biasa, datar dan tanpa kompromi.“Kita berangkat sekarang,” katanya, suaranya berat tanpa emosi.Zanitha mengangguk pelan, mengambil tas tangan kecilnya. Klaus mengambil alih koper mereka, sementara Ananta melangkah lebih dulu sembari mengulurkan tangan ke belakang memi
Saat malam hari, mereka makan malam hanya berdua di chalet. Hidangan sederhana: sup krim jamur, daging panggang, dan salad segar. Ananta mengambil alih tugas memotongkan daging untuk Zanitha, memastikan porsi dan kematangannya sesuai.Zanitha tertawa kecil. “Akhir-akhir ini kamu sering jadi orang biasa.”Ananta menatapnya sekilas. “Terkadang aku rindu hidup di Jakarta… melakukan semua sendiri tanpa banyak orang melayaniku.”“Kita bisa kembali ke Jakarta … Helvion Group di Jakarta sudah lebih dari cukup untuk hidup kita dan anak … anak-anak kita nanti.” Ananta bisa melihat tatapan memohon tersirat di pendar mata Zanitha.Memohon agar dia meninggalkan mimpinya menduduki posisi Chairman dan hidup ‘sederhana’ dengannya di Jakarta.Namun sorot mata Ananta seketika berubah dingin.“Enggak mungkin … aku terlahir untuk jadi pewaris Von Rotcshchild … aku yang akan menggantikan kakek,” kata Ananta menegaskan.“Tapi nyawa kamu, nyawa aku dan nyawa anak-anak kita terancam … Kamu lupa kal
Suara roda koper bergesekan pelan di lantai bandara Soekarno-Hatta yang padat siang itu. Rafael Von Rotchschild berjalan tegap di antara antrean manusia yang tampak tergesa-gesa, namun dirinya tetap santai. Sangat santai. Seolah udara panas Jakarta yang melekat di kulit tak berani menempel di jas linen tipis yang membungkus tubuh rampingnya.Kacamata hitam Ray-Ban bertengger di batang hidung mancungnya, menyembunyikan sorot mata licik yang biasanya tak bisa ia sembunyikan di Swiss. Di belakangnya, dua asisten pria muda yang didandani layaknya eksekutif muda Helvion Fintech Group mengikuti, mengangkat map portofolio dan berkas-berkas presentasi penting.Rafael menoleh sedikit, menatap mereka dengan sinis.“Kita langsung ke Hotel Dharmawangsa. Aku butuh mandi sebelum meeting makan malam dengan paman Mathias,” ucapnya dalam bahasa Inggris bercampur aksen Jerman yang kental.“Baik, Tuan Rafael,” sahut asisten pertamanya cepat.Sementara itu, pandangan Rafael menyapu bandara internasi
Salju turun perlahan di halaman utama Mansion Von Rotchschild di Zurich, namun hawa dingin yang menusuk seolah tak seberapa dibandingkan dengan suhu di ruang utama keluarga siang itu.Sebastian Von Rotchschild duduk tegak di kursi tinggi di ujung meja panjang ruang konferensi pribadi mereka. Di kedua sisi, hadir semua anggota keluarga inti yang memiliki hak suara dalam urusan suksesi: Mathias, Simon —meski ia tak banyak bicara lagi sejak diasingkan—dan Leonardo yang duduk agak menyendiri, pandangannya penuh kemenangan. Seraina, Rafael, dan beberapa anggota keluarga muda lainnya memenuhi kursi tambahan di sisi dinding ruangan, semua tampak waspada namun juga antusias. Udara dipenuhi ketegangan.Pagi itu, Rafael baru saja mendarat dari Jakarta. Ia langsung melaporkan temuannya kepada Sebastian. Tanpa ragu, tanpa filter, tanpa memberi Ananta satu detik pun untuk membela diri.“Zanitha Azkayra Wiranata,” Rafael mengulang dengan suara nyaring, “adalah anak kandung dari Damar Wiranata. M
Di ruang pribadi Ananta di mansion utama, suasana membeku. Meja kerjanya penuh dengan berkas dan bukti yang Ryan kirimkan dari Jakarta. Setiap data, foto, hingga rekaman suara terpampang jelas di layar MacBook-nya. Semua membuktikan satu hal—Leonardo adalah dalang di balik kematian Erina.Namun, bukti itu datang terlambat.Ananta duduk tegak, tubuhnya kaku, pandangan kosong menembus layar. Di belakangnya, Zanitha berdiri ragu-ragu. Ia ingin mendekat, ingin memeluk, ingin berbagi beban. Tapi ketegangan di punggung pria itu seperti tembok tebal yang tak bisa ia lewati.“Ananta,” panggil Zanitha pelan.Tanpa menoleh, Ananta berkata, datar, “Aku butuh waktu sendiri.”Nada suara itu dingin. Tidak seperti biasanya.Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang siap jatuh. Ia memutuskan keluar, meninggalkan Ananta sendirian dengan pikirannya yang berkecamuk.Namun, setiap langkah menjauh terasa seperti melangkah keluar dari hidup pria itu.“Nyonya, apakah Anda ingin teh han
Salju turun lebat malam itu. Kabut tipis menggantung rendah di sepanjang jalanan berbatu yang menghubungkan mansion Von Rotchschild dengan hutan cemara tua di belakangnya. Udara membeku, menusuk tulang.Zanitha berlari menembus kabut, gaun rajut wol yang dikenakannya basah kuyup oleh salju yang meleleh di tubuhnya. Nafasnya terengah-engah, memburu. Pipinya memerah oleh hawa dingin dan isakan yang tak sanggup ia tahan lagi. Setiap langkah terasa berat, tetapi hatinya jauh lebih berat.Dia tidak tahu ke mana kakinya membawanya.Dia tidak peduli.Dia hanya ingin lari… menjauh… menghilang dari dunia yang baru saja menjatuhkannya ke jurang terdalam.Zanitha tidak habis pikir, dia kira kebahagiaan yang didapatnya bersama Ananta adalah bayaran dari penderitaan yang selama ini ia terima di keluarga Wiranata.Namun nyatanya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, dia akan kembali merasakan kesendirian, tidak diinginkan, diabaikan dan menjadi makhluk paling hina di muka bumi ini.Suara-s
*Penjara Cipinang, Jakarta Timur.Udara lembab menyusup masuk ke setiap celah jeruji besi, menciptakan hawa pengap yang membuat dada sesak. Suara rantai besi dan teriakan samar para narapidana bergema di sepanjang lorong, menjadi latar belakang langkah berat seorang pria tua yang melangkah dengan tenang namun penuh wibawa.Mathias Von Rotchschild.Dengan mantel wol kelabu yang rapi, sepatu kulit yang bersih tanpa cela, dan sikap yang tetap membawa martabat keluarga bangsawan Eropa, pria itu tampak begitu asing di tempat hina seperti ini. Dua pengawal pribadi berdiri jauh di belakang, memberi ruang pribadi bagi Mathias.Di depan sebuah sel besi, dua sipir membuka kunci dengan ekspresi gugup. Mereka tahu siapa yang berdiri di hadapan mereka. Sosok yang kekuasaannya mampu menjungkirbalikkan pemerintahan sebuah negara kecil.Tapi hari ini, Mathias hanya seorang kakak.Leonardo duduk di sudut ranjang sempitnya. Tubuhnya lebih kurus, janggut tipis menghiasi r
Zanitha duduk di depan jendela kamar, menatap salju yang turun pelan.Perutnya besar, gerakan janin yang aktif membuatnya tersadar akan waktu yang tersisa.Waktu untuk dirinya… sebelum akhirnya meninggalkan semua ini.Ia mengusap perutnya perlahan.“Hanya sebentar lagi,” bisiknya pelan. “Lalu kita akan berpisah…”Tapi hatinya menangis.Karena bagaimana mungkin ia bisa pergi begitu saja tanpa beban sedangkan Zanitha sudah menyayangi sang janin dan jatuh hati kepada Ananta.Bagaimana tidak, meski hubungan mereka sedang di ujung tanduk tapi Ananta tetap menjaganya. Tetap membantunya bangun dari kursi, memijat kakinya saat kram menyerang, memastikan makanannya cukup.Namun, setiap malam, meski tubuh mereka bersentuhan… ada dinding yang tidak bisa Zanitha hancurkan.Suara pintu terbuka membuat Zanitha mengusap air di pipinya. Ananta masuk tanpa suara.Pria itu mendekat ke jendela, menatap Zanitha lama, lalu mengangkat tubuh sang ist
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…
Damar menatap punggung Zanitha yang sedang berdiri di depan meja teller sebuah bank swasta milik asing.Sebenarnya Damar tidak tega melakukan ini tapi dia tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar lagi setelah hutangnya menumpuk di bank.Hanya Zanitha yang bisa menolongnya, beruntung uang kompensasi kawin kontrak yang diberikan Ananta jumlahnya sangat besar dan Damar yakin bisa mengembalikan perusahaannya seperti dulu.Damar tersenyum saat melihat Zanitha telah selesai dengan teller dan sedang berjalan mendekat.“Papi … transfernya sudah berhasil, ini buktinya.” Zanitha yang sudah duduk di samping Damar memberikan secarik kertas bukti yang diberikan teller.“Terimakasih Nitha … Terimakasih ya.” Damar menggenggam tangan Zanitha erat dengan tatapan nanar.Sang papi tidak pernah sedekat ini dengannya membuat Zanitha terharu.“Tapi Papi janji ya jangan berbuat curang lagi … Papi harus inget, Nitha seperti ini karena Von Rotchschild menganggap Papi adalah musuh mereka.” Zanitha men
Keesokan paginya, bel pintu apartemen berbunyi.Seorang pelayan membukakan pintu dan Ryan masuk dengan sopan.“Nyonya,” sapanya hangat.Zanitha keluar dari kamar, masih mengenakan kimono tidur. Rambutnya belum disisir, wajahnya tampak lelah dan sayu dengan mata bengkak karena semalaman memeras air mata. Ia memandang Ryan dengan alis terangkat.“Ada apa pagi-pagi sekali?” gumamnya pelan.“Saya hanya ingin mengecek keadaan nyonya,” jawab Ryan jujur. Zanitha menatapnya datar. “Seriusan? Ananta yang nyuruh Mas Ryan?” Dia menebak.“Enggak Nyonya, ini inisiatif saya …,” ujar Ryan tenang. “Sebagai orang yang ditugaskan membantu semua keperluan Anda di Jakarta… saya merasa perlu memastikan keadaan Anda secara langsung.”Zanitha tidak merespon. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan tubuh lemas.“Kopinya Nyonya ….” Asisten rumah tangga membawa dua mug kopi untuk Zanitha dan Ryan.Ryan duduk di single sofa di living room itu.“Saya juga ingin menyampaikan satu h
*Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.Langit mendung menggantung rendah, seperti menahan tangis yang tidak sempat tumpah. Udara tropis menyambut Zanitha dengan kelembaban dan panas yang menusuk, begitu kontras dengan dingin elegan Zurich yang baru ia tinggalkan.Langkah kaki Zanitha menyentuh lantai terminal dengan pelan. Sandal hak rendah yang ia kenakan nyaris tidak menimbulkan suara, namun jantungnya berdetak kencang.Ryan berdiri tak jauh dari gate kedatangan, mengenakan setelan jas hitam dan kemeja abu-abu. Tatapannya tenang seperti biasa, namun kali ini ada sedikit ragu di sorot matanya saat melihat Zanitha.“Nyonya Zanitha,” sapanya begitu sopan.Zanitha mengangguk kecil. “Mas Ryan.”Ia tak banyak bicara. Matanya tampak kosong. Ada lelah yang begitu dalam, bukan hanya karena perjalanan, tapi karena kehilangan.“Mobil sudah menunggu di luar. Saya akan mengantar Anda ke apartemen,” ujar Ryan, mengambil alih koper Zanitha.Mobil Mercedes hitam yang dijanjikan Ryan kepada Anant
Beberapa saat setelah meninggalkan mansion Von Rotchschild.Limosin hitam yang membawa Zanitha melaju pelan di jalanan Zurich yang tenang. Di luar, dedaunan berwarna hijau segar menari pelan ditiup angin awal musim panas. Namun, suasana dalam mobil itu terasa beku.Taylor yang duduk di kursi depan sesekali melirik ke spion tengah. Sorot matanya tampak khawatir, meski wajahnya tetap profesional seperti biasa.Di kursi belakang, Zanitha duduk membisu. Tubuhnya kaku, tangannya mengepal erat di atas pangkuan, jemarinya dingin. Matanya kosong menatap keluar jendela, namun air matanya diam-diam turun, tanpa suara. Setiap detik terasa berat. Setiap jarak yang bertambah dari mansion Von Rotchschild membuat hatinya makin sesak.Setelah beberapa lama, suara Zanitha terdengar lirih, hampir seperti bisikan.“Taylor.”Pria itu segera menoleh sedikit, memberi perhatian penuh.“Ya Nyonya ….”“Saya ingin pergi ke kantor tuan Sebastian dulu,” katanya dengan sorot mata penuh harap kalau Taylor
Enam bulan yang dijanjikan telah habis.Tidak ada perpanjangan. Tidak ada negosiasi.Sebastian telah menegaskan bahwa Zanitha harus pergi.Ananta tidak pernah meminta waktu tambahan.*** Suara tawa kecil Ares memenuhi kamar bayi sore itu. Tawa lembut dan polos, renyah seperti melodi yang menenangkan hati. Zanitha duduk di atas karpet lembut, bermain dengan balok-balok kayu berwarna cerah. Tangannya menahan tubuh Ares yang mulai belajar duduk sendiri, sementara bayi itu terkekeh setiap kali Zanitha membuat suara-suara lucu dengan mulutnya.“Ares pintar ya sekarang… udah bisa duduk,” bisik Zanitha sambil mencium pipi bulat putranya.Ares menjawab dengan gumaman yang tidak jelas, tangan mungilnya menarik-narik lengan dress Zanitha.Momen sederhana itu terasa utuh.Terasa utuh… sampai suara ketukan pelan di pintu mengusik mereka.Klaus berdiri di ambang pintu, seperti biasa tubuhnya tegap, wajahnya datar. Tapi matanya—sepasang mata tua yang menyimpan banyak rahasia keluarga Von
Tengah malam, Zanitha terbangun karena Ares menangis. Ia menggendong sang bayi sambil menepuk-nepuk punggung mungilnya.Ananta masuk ke kamar itu, kamar Ares yang juga kini dihuni Zanitha sampai masa enam bulan berakhir.Ananta hanya mengenakan kaos tipis dan celana santai. Rambutnya acak-acakan.“Kamu butuh bantuan?” tanya Ananta datar, tapi matanya lelah. Zanitha menggeleng.Dia mengganti popok Ares kemudian menyusuinya.Ananta duduk diam mengawasi Zanitha yang sedang menyusui Ares di kursi goyang.Sampai akhirnya mulut Ares terlepas sendiri dari puncak dada Zanitha lalu Ananta datang mendekat. Ananta mengambil alih Ares yang kemudian dia letakan di pundaknya, beberapa menit setelah itu terdengar sendawa kecil dari bibir mungil Ares.Setelah Ares kembali tertidur, Ananta meletakkannya di box bayi.Mereka berdua diam di sana.“Aku enggak bisa tidur,” bisik Zanitha.“Kenapa?”“Kepikiran soal… hari itu. Saat aku harus pergi
Zurich, Awal Musim Panas.Empat bulan sebelum waktu perpisahan.Langit Zurich semakin cerah, siang lebih panjang dari malam, tetapi di mansion Von Rotchschild, waktu seolah berputar lebih cepat menuju batas enam bulan itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyaksikan jam pasir perlahan menghabiskan butir terakhirnya.Bagi Zanitha, hari-hari yang ia miliki semakin sedikit.Di kamar bayi yang didominasi warna putih dan abu-abu, Zanitha duduk di kursi goyang. Tubuhnya kurus, wajahnya lebih pucat, tetapi matanya hangat setiap kali menatap putranya.“Ares, kamu sudah besar sekarang… sudah empat bulan, ya?” Zanitha mengusap kepala bayi itu lembut, menyisir rambut tipis hitam legam anaknya dengan jemarinya sendiri.Ares merespons dengan gumaman kecil, kedua tangan mungilnya mencengkeram jari sang mommy erat. Zanitha tersenyum, namun air mata menggenang di sudut matanya.“Kamu mirip daddy, Nak. Lihat, hidungmu… sama. Kalau senyum juga mirip. Tapi matamu, Mommy rasa itu dari Mo