Salju turun lebat malam itu. Kabut tipis menggantung rendah di sepanjang jalanan berbatu yang menghubungkan mansion Von Rotchschild dengan hutan cemara tua di belakangnya. Udara membeku, menusuk tulang.Zanitha berlari menembus kabut, gaun rajut wol yang dikenakannya basah kuyup oleh salju yang meleleh di tubuhnya. Nafasnya terengah-engah, memburu. Pipinya memerah oleh hawa dingin dan isakan yang tak sanggup ia tahan lagi. Setiap langkah terasa berat, tetapi hatinya jauh lebih berat.Dia tidak tahu ke mana kakinya membawanya.Dia tidak peduli.Dia hanya ingin lari… menjauh… menghilang dari dunia yang baru saja menjatuhkannya ke jurang terdalam.Zanitha tidak habis pikir, dia kira kebahagiaan yang didapatnya bersama Ananta adalah bayaran dari penderitaan yang selama ini ia terima di keluarga Wiranata.Namun nyatanya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, dia akan kembali merasakan kesendirian, tidak diinginkan, diabaikan dan menjadi makhluk paling hina di muka bumi ini.Suara-s
*Penjara Cipinang, Jakarta Timur.Udara lembab menyusup masuk ke setiap celah jeruji besi, menciptakan hawa pengap yang membuat dada sesak. Suara rantai besi dan teriakan samar para narapidana bergema di sepanjang lorong, menjadi latar belakang langkah berat seorang pria tua yang melangkah dengan tenang namun penuh wibawa.Mathias Von Rotchschild.Dengan mantel wol kelabu yang rapi, sepatu kulit yang bersih tanpa cela, dan sikap yang tetap membawa martabat keluarga bangsawan Eropa, pria itu tampak begitu asing di tempat hina seperti ini. Dua pengawal pribadi berdiri jauh di belakang, memberi ruang pribadi bagi Mathias.Di depan sebuah sel besi, dua sipir membuka kunci dengan ekspresi gugup. Mereka tahu siapa yang berdiri di hadapan mereka. Sosok yang kekuasaannya mampu menjungkirbalikkan pemerintahan sebuah negara kecil.Tapi hari ini, Mathias hanya seorang kakak.Leonardo duduk di sudut ranjang sempitnya. Tubuhnya lebih kurus, janggut tipis menghiasi r
Zanitha duduk di depan jendela kamar, menatap salju yang turun pelan.Perutnya besar, gerakan janin yang aktif membuatnya tersadar akan waktu yang tersisa.Waktu untuk dirinya… sebelum akhirnya meninggalkan semua ini.Ia mengusap perutnya perlahan.“Hanya sebentar lagi,” bisiknya pelan. “Lalu kita akan berpisah…”Tapi hatinya menangis.Karena bagaimana mungkin ia bisa pergi begitu saja tanpa beban sedangkan Zanitha sudah menyayangi sang janin dan jatuh hati kepada Ananta.Bagaimana tidak, meski hubungan mereka sedang di ujung tanduk tapi Ananta tetap menjaganya. Tetap membantunya bangun dari kursi, memijat kakinya saat kram menyerang, memastikan makanannya cukup.Namun, setiap malam, meski tubuh mereka bersentuhan… ada dinding yang tidak bisa Zanitha hancurkan.Suara pintu terbuka membuat Zanitha mengusap air di pipinya. Ananta masuk tanpa suara.Pria itu mendekat ke jendela, menatap Zanitha lama, lalu mengangkat tubuh sang ist
*Zurich, Musim Semi Menjelang PanasKehamilan Zanitha memasuki bulan kesembilan. Perutnya membuncit besar, kulit di bagian pinggang dan pahanya mulai tertarik, meninggalkan guratan samar yang kadang membuat wanita itu menatap dirinya sendiri di cermin cukup lama, seolah mencari siapa dirinya yang dulu.Di mansion Von Rotchschild, udara mulai menghangat, namun tidak dengan hati mereka. Suasana di dalam rumah besar itu tetap dingin. Terlalu dingin untuk musim semi yang seharusnya membawa kehangatan.Ananta dan Zanitha hidup dalam ruang sunyi yang sama, di kamar yang sama, di rumah yang sama—namun dipisahkan oleh jurang tak terlihat. Jurang yang semakin lama semakin dalam dan semakin sulit untuk dijangkau.Mereka tidak berbicara. Tidak bertengkar. Tidak saling mengusik. Hanya diam.Silent treatment.Saling diam bukan karena tidak peduli, tapi karena masing-masing merasa sudah lelah.Lelah menuntut. Lelah menunggu.Zanitha sering merasa dirinya seperti roh halus di rumah itu. Ia b
Malam telah larut. Udara di kamar mereka terasa sunyi, seperti malam-malam yang lalu. Lampu temaram di sudut ruangan menciptakan bayangan panjang di dinding, seolah merefleksikan jarak yang selama ini terbentuk di antara mereka.Zanitha berdiri di depan cermin besar, menyisir rambut panjangnya yang tergerai bebas. Tubuhnya sudah berubah begitu banyak, perutnya yang membuncit menandakan bayi yang akan segera dilahirkan. Kulit di sekitar pinggangnya tampak meregang, dan ia menyentuhnya perlahan, merasa canggung akan tubuh barunya. Seketika, ada rasa tidak percaya diri yang menjalari dirinya. Dia berpikir, mungkin Ananta sudah tidak lagi menginginkan wanita yang penampilannya tak sempurna seperti ini.Hingga, suara pintu terbuka membuatnya terdiam. Ia menangkap bayangan tinggi Ananta dari pantulan cermin. Pria itu berdiri di ambang pintu, tatapannya pekat, dalam, seperti ada badai yang belum reda di balik pupil kelam itu.Ananta melangkah masuk. Tidak tergesa. Tapi setiap langkahnya m
Udara Zurich menghangat perlahan. Pepohonan di sekitar mansion Von Rotchschild mulai menghijau, bunga-bunga di taman mekar dalam warna cerah—kuning dandelion, merah tulip, ungu lavender.Aroma bunga musim semi bercampur dengan tanah yang basah oleh hujan ringan beberapa hari terakhir. Langit lebih terang dan siang lebih panjang, pertanda musim panas sebentar lagi akan tiba.Namun, di dalam mansion besar itu, tidak ada hangat musim semi. Yang ada hanya keheningan yang mencengkeram, seperti musim dingin yang tak mau berlalu.Zanitha duduk di kursi malas di balkon kamar mereka, memandangi taman yang mulai bermekaran. Tubuhnya terasa berat. Kehamilannya sudah menginjak minggu ke-37. Hanya tinggal hitungan hari, mungkin jam, sebelum bayi itu datang ke dunia.Tangannya membelai perutnya dengan lembut, merasakan gerakan dari dalam sana. Senyum samar muncul di wajahnya, meski matanya menyimpan luka yang dalam. Ia tahu, waktu mereka tinggal sedikit.Pintu balkon terbuka pelan. Ananta berd
Di ruang bersalin, Zanitha menggenggam erat tangan seorang bidan yang mendampinginya. Air matanya mengalir, entah karena sakit akan melahirkan, atau karena luka di hatinya.“Bernapas, nyonya … pelan-pelan,” instruksi dokter terdengar di telinganya.Zanitha mencoba mengatur napasnya, namun pikirannya kacau. Ia ingin Ananta di sisinya. Ia ingin pria itu menggenggam tangannya seperti di film-film. Tapi ia tahu, Ananta lebih memilih berada di luar ruangan, menjaga jarak. Ia mencoba kuat, tapi hatinya rapuh.Sampai suara berat itu terdengar.“Nitha…”Ananta berdiri di sisi ranjang, mengenakan pakaian steril. Tatapannya serius, tetapi matanya… ada sesuatu yang berbeda. Ia menggenggam tangan Zanitha tanpa diminta.“Aku di sini,” katanya pelan.Selanjutnya, mereka terjebak dalam sunyi, Zanitha menangis… bukan karena sakit, tapi karena bahagia.Sudah hampir tujuh jam berlalu sejak air ketubannya pecah.Kontraksi demi kontraksi datang semakin cepat, semakin ganas. Tubuh Zanitha melengk
Udara luar kian hangat, burung-burung mulai ramai di taman belakang mansion, tetapi tidak ada yang terasa hidup di dalam rumah itu. Dinding-dinding marmer tetap dingin, lorong-lorong panjangnya seperti penjara bagi siapa pun yang tinggal di sana.Zanitha duduk di kursi goyang di kamar bayi. Ares Azkaviel Von Rotchschild tertidur di pelukannya, wajah mungil itu begitu damai. Ia menatap putranya lama, bibirnya mengecup kening bayi itu berkali-kali. Setiap sentuhan adalah doa. Setiap ciuman adalah janji diam untuk tetap kuat meski sebentar lagi, waktu mereka akan direnggut.Ia tahu, keputusan keluarga Von Rotchschild tidak akan pernah lunak untuk orang sepertinya.“Sayang … sebentar lagi Mommy harus pergi, tapi bukan karena Mommy enggak mencintai kamu melainkan karena itu yang terbaik untuk kamu dan daddy … setelah kamu dewasa nanti, cari Mommy ya … Mommy akan meninggalkan jejak untuk kamu agar bisa menemukan Mommy.” Zanitha menangis tanpa isakan.***Di ruang rapat pribadi mansion
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…
Damar menatap punggung Zanitha yang sedang berdiri di depan meja teller sebuah bank swasta milik asing.Sebenarnya Damar tidak tega melakukan ini tapi dia tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar lagi setelah hutangnya menumpuk di bank.Hanya Zanitha yang bisa menolongnya, beruntung uang kompensasi kawin kontrak yang diberikan Ananta jumlahnya sangat besar dan Damar yakin bisa mengembalikan perusahaannya seperti dulu.Damar tersenyum saat melihat Zanitha telah selesai dengan teller dan sedang berjalan mendekat.“Papi … transfernya sudah berhasil, ini buktinya.” Zanitha yang sudah duduk di samping Damar memberikan secarik kertas bukti yang diberikan teller.“Terimakasih Nitha … Terimakasih ya.” Damar menggenggam tangan Zanitha erat dengan tatapan nanar.Sang papi tidak pernah sedekat ini dengannya membuat Zanitha terharu.“Tapi Papi janji ya jangan berbuat curang lagi … Papi harus inget, Nitha seperti ini karena Von Rotchschild menganggap Papi adalah musuh mereka.” Zanitha men
Keesokan paginya, bel pintu apartemen berbunyi.Seorang pelayan membukakan pintu dan Ryan masuk dengan sopan.“Nyonya,” sapanya hangat.Zanitha keluar dari kamar, masih mengenakan kimono tidur. Rambutnya belum disisir, wajahnya tampak lelah dan sayu dengan mata bengkak karena semalaman memeras air mata. Ia memandang Ryan dengan alis terangkat.“Ada apa pagi-pagi sekali?” gumamnya pelan.“Saya hanya ingin mengecek keadaan nyonya,” jawab Ryan jujur. Zanitha menatapnya datar. “Seriusan? Ananta yang nyuruh Mas Ryan?” Dia menebak.“Enggak Nyonya, ini inisiatif saya …,” ujar Ryan tenang. “Sebagai orang yang ditugaskan membantu semua keperluan Anda di Jakarta… saya merasa perlu memastikan keadaan Anda secara langsung.”Zanitha tidak merespon. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan tubuh lemas.“Kopinya Nyonya ….” Asisten rumah tangga membawa dua mug kopi untuk Zanitha dan Ryan.Ryan duduk di single sofa di living room itu.“Saya juga ingin menyampaikan satu h
*Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.Langit mendung menggantung rendah, seperti menahan tangis yang tidak sempat tumpah. Udara tropis menyambut Zanitha dengan kelembaban dan panas yang menusuk, begitu kontras dengan dingin elegan Zurich yang baru ia tinggalkan.Langkah kaki Zanitha menyentuh lantai terminal dengan pelan. Sandal hak rendah yang ia kenakan nyaris tidak menimbulkan suara, namun jantungnya berdetak kencang.Ryan berdiri tak jauh dari gate kedatangan, mengenakan setelan jas hitam dan kemeja abu-abu. Tatapannya tenang seperti biasa, namun kali ini ada sedikit ragu di sorot matanya saat melihat Zanitha.“Nyonya Zanitha,” sapanya begitu sopan.Zanitha mengangguk kecil. “Mas Ryan.”Ia tak banyak bicara. Matanya tampak kosong. Ada lelah yang begitu dalam, bukan hanya karena perjalanan, tapi karena kehilangan.“Mobil sudah menunggu di luar. Saya akan mengantar Anda ke apartemen,” ujar Ryan, mengambil alih koper Zanitha.Mobil Mercedes hitam yang dijanjikan Ryan kepada Anant
Beberapa saat setelah meninggalkan mansion Von Rotchschild.Limosin hitam yang membawa Zanitha melaju pelan di jalanan Zurich yang tenang. Di luar, dedaunan berwarna hijau segar menari pelan ditiup angin awal musim panas. Namun, suasana dalam mobil itu terasa beku.Taylor yang duduk di kursi depan sesekali melirik ke spion tengah. Sorot matanya tampak khawatir, meski wajahnya tetap profesional seperti biasa.Di kursi belakang, Zanitha duduk membisu. Tubuhnya kaku, tangannya mengepal erat di atas pangkuan, jemarinya dingin. Matanya kosong menatap keluar jendela, namun air matanya diam-diam turun, tanpa suara. Setiap detik terasa berat. Setiap jarak yang bertambah dari mansion Von Rotchschild membuat hatinya makin sesak.Setelah beberapa lama, suara Zanitha terdengar lirih, hampir seperti bisikan.“Taylor.”Pria itu segera menoleh sedikit, memberi perhatian penuh.“Ya Nyonya ….”“Saya ingin pergi ke kantor tuan Sebastian dulu,” katanya dengan sorot mata penuh harap kalau Taylor
Enam bulan yang dijanjikan telah habis.Tidak ada perpanjangan. Tidak ada negosiasi.Sebastian telah menegaskan bahwa Zanitha harus pergi.Ananta tidak pernah meminta waktu tambahan.*** Suara tawa kecil Ares memenuhi kamar bayi sore itu. Tawa lembut dan polos, renyah seperti melodi yang menenangkan hati. Zanitha duduk di atas karpet lembut, bermain dengan balok-balok kayu berwarna cerah. Tangannya menahan tubuh Ares yang mulai belajar duduk sendiri, sementara bayi itu terkekeh setiap kali Zanitha membuat suara-suara lucu dengan mulutnya.“Ares pintar ya sekarang… udah bisa duduk,” bisik Zanitha sambil mencium pipi bulat putranya.Ares menjawab dengan gumaman yang tidak jelas, tangan mungilnya menarik-narik lengan dress Zanitha.Momen sederhana itu terasa utuh.Terasa utuh… sampai suara ketukan pelan di pintu mengusik mereka.Klaus berdiri di ambang pintu, seperti biasa tubuhnya tegap, wajahnya datar. Tapi matanya—sepasang mata tua yang menyimpan banyak rahasia keluarga Von
Tengah malam, Zanitha terbangun karena Ares menangis. Ia menggendong sang bayi sambil menepuk-nepuk punggung mungilnya.Ananta masuk ke kamar itu, kamar Ares yang juga kini dihuni Zanitha sampai masa enam bulan berakhir.Ananta hanya mengenakan kaos tipis dan celana santai. Rambutnya acak-acakan.“Kamu butuh bantuan?” tanya Ananta datar, tapi matanya lelah. Zanitha menggeleng.Dia mengganti popok Ares kemudian menyusuinya.Ananta duduk diam mengawasi Zanitha yang sedang menyusui Ares di kursi goyang.Sampai akhirnya mulut Ares terlepas sendiri dari puncak dada Zanitha lalu Ananta datang mendekat. Ananta mengambil alih Ares yang kemudian dia letakan di pundaknya, beberapa menit setelah itu terdengar sendawa kecil dari bibir mungil Ares.Setelah Ares kembali tertidur, Ananta meletakkannya di box bayi.Mereka berdua diam di sana.“Aku enggak bisa tidur,” bisik Zanitha.“Kenapa?”“Kepikiran soal… hari itu. Saat aku harus pergi