Share

Borobudur (6)

last update Last Updated: 2025-01-31 21:15:09

Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.

Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.

Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"

Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.

Aku menya
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

    Last Updated : 2025-01-31
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

    Last Updated : 2025-02-01
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

    Last Updated : 2025-02-01
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

    Last Updated : 2025-02-01
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat

    Aku gak pernah ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu hari dunia baik-baik aja—jalanan macet, orang-orang sibuk scroll Instagram sambil ngeluh soal cuaca panas. Lalu tiba-tiba, semuanya berubah. Langit retak, bintang-bintang mulai bergerak kayak ada yang mainin puzzle di atas sana, dan orang-orang mulai menghilang satu per satu.Aku gak paham kenapa semua ini terjadi, dan jujur, aku juga gak peduli. Aku cuma seorang pegawai minimarket di tengah kota Jakarta. Hidupku sederhana: buka toko, layani pelanggan, lalu tutup toko. Tapi sekarang? Pelanggan gak ada, toko hancur berantakan, dan aku cuma duduk di belakang meja kasir sambil nunggu sesuatu—entah apa."Setiap orang punya perannya dalam Skenario."Aku masih inget kalimat itu dari berita di TV sebelum siarannya mati total. Skenario? Peran? Kayak main teater, gitu? Tapi gak ada yang kasih tahu aku peranku apa. Gak ada suara-suara aneh yang berbisik di telingaku, gak ada kekuatan super yang mendadak muncul. Aku cuma... aku. Gak lebih,

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (2)

    Aku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening. Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup? Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku? Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini? Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar. Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kec

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (3)

    Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (6)

    Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (5)

    Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (4)

    Nafasku terengah-engah. Tubuhku terasa berat, setiap helaan napas seperti dihisap oleh kekosongan di sekitarku. Eternal Flow Manipulation telah menyedot terlalu banyak energiku, membuat pandanganku sedikit berputar.Di seberang, wanita yang tadi kusematkan berdiri waspada. Matanya yang tajam mengamatiku, seperti menilai apakah aku ancaman atau penyelamat. Api dari reruntuhan di belakangnya menciptakan siluet samar di tubuhnya yang ramping namun penuh luka."Kau..." ucapnya dengan nada ragu, suara lembutnya bergetar samar. "Barusan... kau memanipulasi waktu, bukan?"Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan dingin. "Begitukah cara seseorang mengucapkan terima kasih kepada penyelamatnya?"Trisulaku berpendar redup sebelum menghilang, meninggalkan hanya bekas panas di genggamanku. Aku berjalan mendekatinya, langkahku berat tapi tetap penuh kendali.Wanita itu tetap di tempatnya, tidak mundur, tapi napasnya terdengar lebih berat. "Aku tidak tahu apakah kau sama dengan pria tadi atau berbed

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (3)

    Langit terpecah oleh suara gemuruh yang mengguncang telingaku. Gelombang kejut menggetarkan udara, diikuti oleh ledakan dahsyat yang memuntahkan debu ke angkasa. Pecahan kaca dan reruntuhan beterbangan, menghantam jalanan yang sunyi. Aku menghentikan langkah sejenak, jantungku berdebar liar, sebelum akhirnya berlari menuju sumber kekacauan itu.Debu beterbangan, menyelimuti udara dengan partikel abu-abu yang menggantung di langit. Ledakan dahsyat tadi masih menyisakan riak kehancuran di udara. Suara gemuruhnya bergaung, mengguncang gedung-gedung yang telah rapuh. Aku menghentikan langkah, mengatur napas, lalu berlari lebih cepat menuju sumber ledakan. Setiap langkahku menggema di atas aspal retak yang dipenuhi pecahan kaca dan reruntuhan."Ledakan apa itu?" gumamku, jantungku berdetak cepat.Di kejauhan, samar-samar aku melihat dua sosok bertarung. Seorang pria berjubah hitam, auranya gelap bagaikan bayangan malam, menggenggam pedang hitam yang seakan-akan menyerap cahaya di sekelilin

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (2)

    Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status