“M-menikah?” cicit Saras, melepas pelukan. Ia menatap wajah ayahnya yang terlihat begitu pucat, dan perasaan yang tidak ia pahami kembali merayap, menyesakkan dada. Kegelisahan itu bertambah saat matanya menyapu raut lelah sang ayah.“Tapi, Ayah ... kenapa begitu mendadak?” Suaranya bergetar, mencari jawaban yang terasa semakin sulit ia pahami. “Aku ... aku belum siap, Ayah.”Bagas hanya diam, memegang bahu Saras dengan tatapan penuh kepedihan, seolah setiap kata yang keluar adalah luka tersendiri baginya. “Ini sudah menjadi keputusan Ayah, Saras.” Kerutan di kening Saras semakin dalam. “Aku nggak mengerti ... Kenapa harus menikah? Apa karena—?” Tanyanya, dengan kebingungan dan ketakutan yang bercampur dalam dadanya.Bagas memegang erat tangan Saras, memotong perkataan Saras dan menuntunnya duduk di sofa. “Ayah hanya ingin memastikan kau aman. Kau harus menikah dengan pria yang bisa melindungi, yang bisa menggantikan Ayah kalau ... kalau terjadi sesuatu.”Saras terdiam. Kata-kata aya
“Menikah? Malam ini?” Saras nyaris tak percaya mendengar keputusan ayahnya yang begitu mendadak. Ia merasakan benaknya berputar-putar, menolak kenyataan yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.Namun akhirnya, Saras hanya bisa menurut. Liam membawanya keluar dari rumah sakit, tetapi ke sebuah kantor pemerintahan yang telah disiapkan secara khusus malam itu untuk mengesahkan pernikahan mereka.Saras merasa seperti dalam mimpi, bahwa dirinya akan menjadi seorang istri, bahkan angan-angan untuk menikah saja tidak ia miliki, dan saat ini ia berjalan di belakang tubuh kekar Liam untuk menuju ruang pendaftaran. Di ruang itu, ia dan Liam dan Saras diminta untuk menandatangani berkas-berkas penting di hadapan seorang petugas. Setiap goresan tanda tangannya terasa berat, seolah ada bagian dari dirinya yang perlahan-lahan hilang. Namun, demi ayahnya, Saras mencoba memantapkan hati, mengikuti setiap prosedur yang diminta.Setelah semuanya rampung, mereka diarahkan ke ruang lain untuk sesi fo
Saat Liam keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia langsung mengambil sebuah berkas tebal dari laci di samping tempat tidur dan menyerahkannya pada Saras yang masih berdiri bingung di tengah kamar.Saras yang melihatnya pun tertegun, Liam hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan air yang masih mengalir di tubuh kekarnya.“Pahami dan tanda tangani,” ucap Liam datar, membuyarkan pikiran kotor Saras. Liam berbicara dengan tatapan serius yang nyaris menembus pertahanan Saras.Saras ragu saat membuka halaman pertama. Tulisan di kontrak itu terasa sangat formal, kaku, dan jauh dari pernikahan yang selama ini ia bayangkan. Tanpa menyentuh tempat tidur, ia berdiri sambil membaca beberapa poin awal.Saras mengerutkan kening, merasa sedikit lega karena ia pikir pernikahan ini tidak akan melibatkan hal yang lebih jauh. Namun, semakin ia membaca, perasaannya berubah menjadi semakin bingung dan tidak nyaman. Saras kira, setelah menikah, Liam akan meminta mereka untuk tid
Setibanya di rumah keluarga Liam, dia tidak membuang waktu dan langsung masuk, ditemani oleh Saras yang mengekor di belakang.Saras hanya bisa mengikuti Liam tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat pria itu berjalan memasuki rumah mewah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.“Sudah pulang setelah membuat skandal baru dengan menikahi gadis bodoh ini!” Sambutan itu memang diarahkan pada Liam, tapi Saras bisa melihat jelas pandangan sinis dari wanita paruh baya itu tertuju padanya.Liam yang menerima pesan dari ibunya untuk pulang ke rumah keluarga. Hal itu yang membuat wajahnya mengeras.Liam tampak acuh, terus melangkah melewati ibunya tanpa memperdulikannya.“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menikahi keluarga Danuarta! Apalagi tua bangka itu sudah mati. Apa yang akan kau dapatkan, Liam?” Wanita itu mengalihkan tatapannya kepada Saras yang masih tertegun atas teriakan yang diterimanya.Saras menggigit bibirnya, merasakan nyeri di dadanya mendengar hinaan tentang kematian sang
Malam harinya, Saras sengaja menunggu kedatangan Liam untuk makan malam. walaupun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, gadis itu berusaha untuk tetap terjaga dan tidak tidur saat Liam pulang. selang beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka.“Kau sudah datang? Akan aku panaskan masakannya, tunggu—”Pria itu terlihat tidak berminat sama sekali. Liam hanya diam tanpa melihat ke arah Saras dan melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Saras hanya mampu tersenyum masam menatap makanan yang sudah ia siapkan akan terbuang percuma. Saras mengusap kasar air matanya, rasa benci dan cinta yang ia rasakan bersamaan sungguh membuat hatinya begitu terluka. merasa hal yang dilakukannya dianggap tidak berarti apa-apa bagi Liam, Saras memutuskan untuk kembali ke kamarnya.“Malam ini, kau harus ikut denganku.” ucap Liam saat memasuki kamar Saras yang masih terbuka lebar. walaupun mereka sudah menikah, tapi keduanya tidak pernah berada di kamar yang sama. Liam memutuskan untuk tidak
Saras hanya dapat pasrah, saat tubuh mungilnya dipaksa masuk kedalam mobil. ingin menolak, tapi Saras yakin bahwa dirinya belum mampu untuk melawan kekuatan Liam. harapannya untuk bisa pergi dari Liam, hilang saat pria yang menghampirinya pergi begitu saja.Sesampainya di rumah, jantung Saras kembali berpacu dengan sikap Liam yang tak terduga. setelah keduanya berada di dalam kamar, Liam bersikap lembut pada Saras. pria itu membelai lembut rambut hitam milik Saras yang baru saja ia lepaskan ikatannya sehingga tergerai indah. Saras yang tidak terbiasa dengan interaksi seperti ini, begitu kalut dan tak memiliki kemampuan untuk merespon. namun, tatapan Liam yang sedikit melembut membuat suasana hati Saras sedikit aman.“Pernah berciuman?”Saras menelan ludahnya berulang kali, tak mampu berkata-kata. Pertanyaan Liam yang tiba-tiba itu membuat suasana hatinya kembali tak menentu. perlakukan di pesta tadi, sudah menunjukkan sifat Liam dan harusnya Saras tak boleh luluh hanya dengan tatapan
Saras hanya mampu menangis dalam diam, ia memperhatikan tubuh polos Liam yang terlihat memasuki kamar mandi. Saras merasa begitu perih bagian inti tubuhnya terlebih luka di pesta tadi juga semakin terasa berdenyut. Saras sama sekali tidak menyangka jika Liam akan melakukan hal itu secepat ini, sungguh pria itu tidak memiliki hati. memperlakukan dirinya seperti ini. Saras menggeser posisi tubuhnya duduk bersandar pada kepala ranjang, matanya kembali memanas saat pandangannya tertuju pada seprei ranjang yang ternoda oleh bercak darah. Saras menggeleng lemah, mendapati bahwa dirinya sudah tidak suci lagi. Malam ini, keperawanannya direnggut paksa oleh suaminya sendiri. mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Saras buru-buru membungkus tubuh polosnya dengan selimut. “Ada sesuatu yang harus aku kerjakan, jangan menunggu kedatangan ku. istirahat saja.” Ucap Liam saat sudah berada di sisi ranjang, matanya sempat menatap sprei putih yang ada bercak darahnya. Sarah tidak menjawab, ia hanya
Saras mengangkat wajah, menatap manik hitam milik Liam yang terlihat begitu menakutkan. “Ikut denganku.” Liam kembali bersuara. Saras melirik sekilas pada Luna, wanita berambut pendek itu terlihat kesal namun tidak membantah ucapan Liam. tidak ingin membuat masalah baru, Saras mengikuti langkah suaminya yang meninggalkan Luna sendiri. Saras tidak tahu pasti kemana Liam akan membawanya pergi. gadis cantik yang kini duduk di samping Liam itu hanya dapat menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini. begitu banyak hal yang Saras pikirkan, dan salah satunya adalah alasan ayahnya yang menikahkan dirinya dengan seorang pria dingin seperti Liam. “Ki-kita, akan-” “Kau akan mengetahuinya, jika kita sudah sampai.” Potong Liam tanpa berminat menatap wajah istrinya. Saras mengatupkan bibirnya, merasa menyesal telah berani bertanya. namun, rasa penasarannya kian membuncah saat mobil mulai memasuki jalanan yang sama sekali belum diaspal. Disamping jalanan masih ditumbuhi pepohonan yang men
Vinso berlari dengan cepat melalui hutan yang lebat, dengan napas yang terengah-engah dan keringat yang bercucuran di wajahnya. ia telah melarikan diri dari tempat penyekapan beberapa jam yang lalu, dan sekarang ia harus mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Saat dia berlari, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Vinso segera berhenti dan memutar tubuhnya, dengan hati yang berdebar-debar. Ia pikir itu salah satu orang jahat yang menyekapnya, dan dia siap untuk melawan.Tapi, saat ia melihat wajah orang yang berdiri di depannya, Vinso merasa seperti terkena petir. Wajah itu begitu familiar, begitu dicintai, dan begitu dirindukan. Vinso tidak percaya apa yang dia lihat, dan dia merasa seperti sedang bermimpi."Pak…anda" Vinso berbisik, dengan suara yang tergagap-gagap. "Apakah ini benar?"Danuarta,orang yang Vinso cintai dan rindukan, tersenyum dan mengangguk. "Ya, Vinso," Danuarta berkata, dengan suara yang lembut. "Aku telah mencarimu selama ini. aku khawatir tentangm
Viktor berjalan dengan cepat ke arah pintu rumah Liam, Viktor juga tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang berjejer rapi yang menyambut kedatangannya. mereka juga begitu menghormati Viktor, sebagai tangan kanan Liam.Saat Viktor membuka pintu rumah, ia melihat Liam dan Saras yang sedang duduk di ruang tamu. Keduanya terlihat dalam keadaan kurang baik. hal itu, dapat dilihat bagaimana cara Saras menundukkan wajahnya.saat Liam melihat Viktor, ia terlihat cukup terkejut. "Viktor, apa yang terjadi?" Liam bertanya dengan suara yang pelan.Viktor memandang ke arah Liam. "Tuan Liam,maaf saya lancang dan harus berbicara dengan anda mengenai sesuatu yang penting,” jawab Viktor.Liam memandang ke arah Saras. "Saras, aku minta kau untuk menungguku di dalam kamar," Liam berkata dengan suara yang pelan. "Aku akan menyusulmu jika urusanku dengan Viktor selesai."Saras memandang ke arah Liam, lalu ke arah Viktor. ia terlihat cukup penasaran, tapi dia tidak bertanya apa-apa. ia hanya mengangguk
Vinso berusaha untuk kabur dari tempat penyekapan, dengan tubuh yang lemah dan terluka. ia berlari dengan terseok-seok, dengan kaki yang terasa berat dan sulit untuk digerakkan. ia tidak tahu kemana ia harus pergi, tapi ia tahu bahwa dirinya harus keluar dari tempat itu secepat mungkin.Vinso memandang ke arah sekitarnya, dengan mata yang terlihat sedikit kabur. Ia melihat hutan yang lebat dan gelap di depannya, dan ia tahu bahwa itu adalah tempat yang paling aman untuk bersembunyi. Vinso berlari ke arah hutan, dengan tubuh yang terasa semakin lemah.ia kembali berlari dengan terseok-seok, dengan kaki yang semakin sulit untuk digerakkan namun harus dipaksakan.ia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa berlari, tapi ia tahu bahwa harus terus berusaha. Ia tidak ingin ditangkap lagi oleh orang-orang yang telah menyekapnya.Vinso memasuki hutan, dengan tubuh yang terasa semakin lemah. ia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa berlari, tapi Vinso tahu bahwa ia harus terus berusaha. Tiba-tiba, V
Liam menarik tangan Saras agar mengikuti langkahnya, dengan gerakan yang cepat dan pasti. Saras merasa sedikit terkejut dengan gerakan Liam yang tiba-tiba, tapiia tidak bisa menolak untuk mengikuti langkahnya.Mereka berdua memasuki lift yang terletak di dekat kamar Rosa, dengan Liam yang masih menggenggam tangan Saras. Saras merasa sedikit tidak nyaman dengan genggaman tangan Liam yang terlalu kuat, tapi ia memilih untuk diam.Lift bergerak ke bawah, Saras merasa mulai sakit karena genggaman tangan Liam yang terlalu kuat, tapi ua tidak bisa mengatakan apa-apa, kali ia takut untuk mengeluarkan suara.Saat lift berhenti di lantai dasar, Liam membuka pintu lift dan menarik tangan Saras agar mengikuti langkahnya. Mereka berdua keluar dari lift dan berjalan ke arah parkiran, dengan Liam yang masih menarik tangan Saras.Saras hanya bisa mengikuti langkah Liam, dengan hati yang sedikit berdebar.Saat mereka berdua sampai di parkiran, Liam membuka pintu mobil dan menarik tangan Saras agar m
Saras memasuki kamar inap Rosa dengan langkah yang pelan dan hati-hati. ia memandang ke arah sekitarnya, mencari tahu apakah ada orang lain di dalam kamar selain Rosa. Saat itu, ia melihat Anjaswara, ayah mertuanya, tengah menyuapi sarapan pada Rosa dengan sangat telaten.Rosa terlihat sedikit lemah dan kurus, dengan wajah yang pucat dan mata yang terlihat sedikit lelah. Anjaswara, di sisi lain, terlihat seperti biasa, dengan wajah yang serius dan mata yang tajam.Saat Saras memasuki kamar, Anjaswara dan Rosa saling tatap, dan terlihat tidak terlalu menyambut baik kedatangan menantunya itu. Mereka berdua terlihat sedikit tegang, dengan wajah yang yang nampak tak bersahabat.Saras memandang ke arah mereka berdua dengan mata yang sedikit ragu-ragu. ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres."Ada yang ingin kau katakan?" Anjaswara berkata dengan suara yang pelan, namun Saras dapat mengartikan bahwa hal itu seperti kalimat sindiran.Saras m
Liam memasuki ruangan kerjanya dengan langkah yang santai, sambil memandang ke arah Viktor yang sudah menunggu di depan meja kerjanya. Viktor,dengan wajah yang serius dan mata yang tajam, memandang ke arah Liam dengan ekspresi yang khawatir."Selamat pagi Tuan, saya senang anda hari ini masuk kantor." Viktor berkata dengan suara yang serius. "Karena ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan anda, Tuan.."Liam memandang ke arah Viktor dengan mata yang penasaran, sambil berjalan ke arah meja kerjanya. "Apa yang terjadi, Viktor?" ia bertanya dengan suara yang santai.Viktor memandang ke arah Liam dengan ekspresi yang khawatir. "Saya memiliki beberapa keganjalan saat menjual barang kita ke sekelompok mafia di luar negeri," ia berkata dengan suara yang serius.Liam memandang ke arah Viktor dengan mata yang penasaran. "Apa yang terjadi?" dia bertanya dengan suara yang santai, namun ekspresinya menuntut agar Viktor cepat berbicara.Viktor memandang ke arah Liam dengan ekspresi yang k
Saras membuka pintu mobil dan turun ke jalan, sambil memandang ke arah rumah sakit yang besar dan megah. Liam mengikuti di belakangnya, sambil menutup pintu mobil dan memandang ke arah Saras dengan mata yang penuh perhatian."Mau aku antar ke dalam?" Liam bertanya, sambil mengambil langkah ke arah Saras.Saras menggelengkan kepala, sambil tersenyum lembut. "Tidak perlu, Liam," dia berkata dengan suara yang lembut. "Aku bisa sendiri."Liam menganggukkan kepala, sambil memandang ke arah Saras dengan mata yang penuh kekaguman."Baik, aku akan menunggu di sini, sampai dirimu tidak terlihat. baru setelah itu aku akan pergi.” Ia berkata dengan suara yang santai.Saras tersenyum dan membalikkan badannya, sambil berjalan ke arah pintu masuk rumah sakit. Liam memandang ke arahnya dengan mata yang penuh perhatian, sambil berdiri di samping mobil dengan tangan yang terlipat di dada.Tanpa sepengetahuan mereka, Ricard sedang mengawasi dan menunggu Saras di balik tembok yang menghubungkan parkiran
Mobil itu berjalan dengan pelan di depan gerbang rumah Liam, terkesan sengaja ingin memperhatikan rumah yang elegan dan mewah itu. Pria paruh baya yang mengendarai mobil itu memandang ke arah rumah Liam dengan mata yang tajam, tapi tidak terlihat wajahnya karena kaca riben yang menutupi wajahnya.Mobil itu berhenti sejenak di depan gerbang rumah Liam, seolah-olah pria paruh baya itu ingin memastikan bahwa rumah itu adalah rumah yang dia cari. Setelah beberapa detik, mobil itu melanjutkan perjalanan, tapi tidak sebelum pria paruh baya itu memandang ke arah rumah Liam sekali lagi.Gerakan mobil itu tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menarik perhatian seseorang yang sedang memperhatikan. Dan, kebetulan, ada seseorang yang sedang memperhatikan mobil itu. Saras, yang sedang berada di dalam kamarnya yang berada dilantai paling atas, melihat mobil itu berjalan di depan gerbang rumah dengan pelan.Saras merasa sedikit penasaran dengan mobil itu, Tapi, karena dia tidak bisa melihat wajah
Pria itu duduk di atas tempat tidur yang sederhana, di dalam sebuah rumah kecil yang terletak di pinggir hutan. Rumah itu terlihat sederhana, dengan dinding yang terbuat dari kayu dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Tapi, meskipun sederhana, rumah itu terlihat nyaman dan hangat.Pria itu, sedang membuka lilitan kain yang membalut lengannya. Lengan itu terkena tembakan beberapa hari yang lalu, dan lukanya sudah mulai membaik. Danuarta memandang lengan itu dengan mata yang tajam, memeriksa apakah lukanya sudah sembuh.Saat dia membuka lilitan kain, terlihatlah luka yang masih merah dan bengkak. Tapi, meskipun masih terlihat sakit, luka itu sudah mulai membaik. Pria paruh baya itu memandang luka dengan mata yang lega, merasa bahwa dia sudah mulai sembuh.Ia nampak memandang sekeliling ruangan, memeriksa apakah ada yang perlu dia lakukan. Ruangan itu terlihat sederhana, dengan beberapa perabotan yang terbuat dari kayu dan beberapa bantal yang terletak di atas tempat tidur. Tapi, mes