"Ayo, Ra!" "Iya, Bu. Sebentar."Aira langsung merapikan pakaian dan menyambar tas tangannya. Kemudian ia segera keluar dari kamar menghampiri Yulia yang telah memanggilnya dari tadi. "Kok ... Kamu pakai baju biasa?" tanya Vina sambil mengamati penampilan Aira dari bawah hingga ke atas.Aira mengikuti tatapan Vina, menunduk menatap penampilannya sendiri dari bawah kaki. "Memangnya kenapa, Bu?""Yaa ... Gak apa-apa. Memangnya kamu gak bakalan malu pakai baju itu?" "Ya memang kita mau ke mana?" tanya Aira dengan malas. "Kita akan makan malam. Teman lama Ibu tadi datang menemui Ibu di rumah. Dia ajak Ibu makan malam di restoran terkenal.""Oh, gak apa-apa, sih, Bu. Gak sama Mas Alan juga, buat apa aku dandan?" "Ya sudah. Ayo kita berangkat. Kamu sudah kirim pesan, kan, sama Alan?""Sudah, tapi belum di read.""Gak apa-apa, nanti juga dia baca. Ayo, Sayang."Dengan perasaan tak menentu akhirnya Aira pasrah juga mengikuti keinginan ibu mertuanya itu. Walau sepanjang jalan ia terus mela
Bagas terkejut dan langsung menutup telinga yang terasa berdengung karena teriakan Aira. "Dahlah, ayo masuk.""Gak mau!" Aira menghempaskan tangan Bagas yang telah berani memegang lengannya. "Jangan macam-macam, ya?!" Aira mengacungkan telunjuknya."Macam-macam apa, sih? Jangan terlalu kegeeran jadi perempuan. Aku tau kamu itu istri orang.""Ya bagus kalau gitu." Aira langsung membalikkan badannya hendak meninggalkan Bagas. "Hey tunggu!" Lagi-lagi Bagas memegang tangannya. Dengan cepat Aira pun melepaskannya. "Lepas, ih! Kenapa sih, gak ngerti-ngerti?""Oke, oke. Maaf. Tapi kamu mau ke mana? Ayo aku antar.""Gak perlu. Aku bisa sendiri."Aira kembali melangkah meninggalkan Bagas. Namun, laki-laki itu mengikutinya dari belakang. "Sepertinya kamu gak pusing. Bohong, ya?" tanyanya.Aira memutar bola matanya dengan malas, lalu menghentakkan kaki dan berhenti melangkah. "Kenapa ngikutin? Sana pergi!" "Hey, wanita gak baik loh jalan malam-malam gini di tepi jalan. Kamu mau di culik?" "
"Yulia. Sini," ucap Aira sambil menepuk kursi di sampingnya. Dengan pelan Yulia melangkahkan kakinya, mendekati Aira dan kemudian duduk di dekat wanita yang pembawaannya tenang itu. "Yulia, seharusnya kamu tidak melakukan itu. Mbak sudah mengizinkan Mas Alan menikahimu. Tentu Mbak juga sudah mempersiapkan hati Mbak untuk menerima kenyataan bahwa Mas Alan kini bukan hanya milik Mbak. Sebelum memberikan izin pun Mbak sudah memikirkan segalanya lebih dulu. Bahwa Mbak harus siap berbagi jiwa dan raga suami Mbak dengan kamu. Mbak harus menerima dengan lapang dada, kalau suatu saat cinta dan kasih sayang Mas Alan yang semulanya hanya untukku kini harus terbagi untukmu juga. Tapi Mbak gak takut. Mbak tau Mas Alan punya banyak cinta dan kasih sayang yang cukup untuk kita berdua. Bahkan untuk anak-anak dari Mbak dan dari kamu nanti yang pastinya sangat banyak. Mbak sudah ikhlas, jadi kamu jangan melakukan itu. Untuk apa aku selama ini bersabar sekuat tenaga kalau apa yang menjadi modal kesab
Perlahan Alan membalikkan badan. Menatap istri pertamanya dengan wajah yang kusut."Sudah cukup untuk hari ini, Dek. Mas mau istirahat. Sebaiknya kamu pulang sekarang."Alan langsung membalikkan badan dan meninggalkan Aira begitu saja."Tunggu, Mas!"Gerakan tangan yang hendak memutar gagang pintu kamar Yulia pun langsung berhenti. Keributan itu juga membuat Yulia yang sedang di dapur langsung berlari kecil ke sumber suara. "Aku mencintaimu karena Allah, Mas. Aku menikahimu karena Allah. Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik selama ini juga karena Allah. Dan sekarang, aku menerima Yulia sebagai istrimu pun karena Allah. Aku memintamu memenuhi hak atasnya karena Allah. Aku bisa melakukan semuanya. Tentu bisa. Karena aku melakukannya bukan untuk kebahagiaanmu yang malah akan menyengsarakanku. Tapi justru untuk kebahagiaanku sendiri. Untuk kebaikanku, untuk menjadi layak menghuni surga-NYA nanti. Untuk surgaku, untuk mendapatkan keridhoannya. Aku melakukannya untuk surgaku, bukan u
Menjalankan sunnah Nabi itu bagaikan menggenggam bara api. Jika kau sanggup bertahan, maka ketinggian derajat sudah pasti kau dapatkan. Tapi jika kau tak mampu menajalankannya sesuai dengan syariat, maka bersiaplah menghadapi kehancuranmu sendiri.Pagi harinya, sepeninggal Alan bekerja Yulia mengunci diri di rumah. Ia memang selalu tertutup dari tetangga sekitar rumah karena melihat tatapan tak bersahabat dari mereka. Sedangkan untuk berbelanja Alan selalu melakukannya setiap seminggu sekali. Namun, tetap saja di saat ada kebutuhan mendesak, Yulia pun tak bisa menunda untuk berangkat ke warung terdekat. Yulia sedang duduk di atas karpet di ruang televisi. Ia menonton sambil mengajak Cilla bermain. "Mbak Aira tumben sekali gak ada main," ucapnya. Tok tok tok"Assalaamu'laikum, Yulia ... "Suara Aira membuat Yulia menoleh. "Ah, baru juga diomongin, panjang umur Mbak Aira. Tunggu sebentar, ya, Sayang ... " ucapnya sambil mengelus lengan Cilla yang sedang anteng menonton kartun di tel
Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan apa yang Bapak katakan."Hati-hati untuk apa, Pak?"Bapak semakin mendekat untuk berbisik. "Candra ada datang ke rumah. Dia bersikeras ingin tau sekarang kamu tinggal di mana."Sontak saja perkataan Bapak itu membuatku langsung melotot. Terlebih saat mendengar kembali nama pria yang paling aku benci selama ini. Pria yang sudah menjadi penyebab hacurnya hidupku. "Apa?" tanyaku sambil memicing."Dia juga mengakui apa yang sudah dia perbuat padamu. Bapak marah sekali padanya."Aku tak mampu lagi berkata-kata. Jelas saja aku begitu terkejut dengan kabar yang Bapak katakan. Untuk apa pria itu melakukan semua itu tiba-tiba? Padahal dulu dia yang memaksaku untuk menyembunyikannya dari semua orang."Makanya, kamu hati-hati, ya? Candra mengaku menyesal sudah menyia-nyiakan kamu dan anak kalian. Maka dari itu dia terus memaksa Bapak memberitahunya tentang keberadaan kamu. Tapi Bapak tidak mau kamu kembali dengan pria brengsek itu. Hidupmu sekarang
Sejak malam itu, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak hingga Mas Alan datang dan menemaniku. Setiap hari aku selalu merasa ada sepasang mata yang mengawasiku dari jauh. Di saat aku menyapu halaman, mengepel lantai, atau saat sesekali aku ke teras rumah untuk mengantar kepergian Mas Alan. Namun, aku masih berusaha menahan diri dari menceritakan semuanya pada Mas Alan. Toh, aku pun masih belum yakin dan membuktikan dugaanku itu. Aku tak mau malah membuat Mas Alan merasa cemas dan pada akhirnya lebih mementingkan menemaniku. Padahal, apa yang kutakutkan selama ini hanyalah keparnoan semata. Kecuali saat Mas Alan berada di dekatku. Aku merasa begitu aman dan nyaman. Aku tidak merasa takut dan cemas. Aku juga merasa, tidak akan terjadi hal buruk apapun selama Mas Alan ada bersamaku. Waktu terasa begitu cepat berlalu dengan kehadirannya di sisiku. Hingga tak terasa kini habis saatnya Mas Alan kembali lagi ke rumah pertamanya."Mas, kamu belum siap-siap?" tanyaku sore itu. Mas Alan yang se
Suara tangis Cilla disambut bahagia oleh Mbak Aira. Dia yang semula sedang rebahan menonton televisi bersamaku kini langsung berlari ke kamar. "Akhirnya kamu bangun, Sayang," ucapnya sambil berlari ke kamar. Aku hanya terkekeh melihatnya. Memang sudah cukup lama Mbak Aira tak datang main ke rumahku. Jadi, pasti kali ini ia begitu merindukan Cilla. Melihat kasih sayangnya sebagai seorang ibu, aku sangat berharap semoga saja Mbak Aira segera diberi kepercayaan untuk menjadi seorang ibu juga.Sore hari Mbak Aira pulang. Ia tentu harus menyambut kepulangan Mas Alan di rumah. Kepulangannya itu membuat suasana hangat di rumah ini kembali redup. Ya, rumah ini kembali seperti biasanya, sunyi dan sepi. Aku mulai melakukan rutinitas sore hari seperti biasa. Memandikan Cilla dan menyetrika pakaian. Hingga malam mulai menjelang, saat aku sedang mengambil wudhu di kamar mandi untuk melaksanakan shalat isya, tiba-tiba lampu mati. Entah memang ada pemadaman atau bagaimana. Setelah menyelesaikan w
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A