“Ya, jika kita bertemu lagi nanti mari kita lakukan duel latih tanding,” tukas Juhama.
“Tentu saja. Aku sudah tidak sabar menantikannya,” balas Indra.“Berhati-hatilah di jalan,” ucap Patra. Indra hanya menganggukan kepalanya saja lalu berbalik memunggungi mereka berdua sambil terus berjalan menuju ke arah Perguruan Kencabuana yang menjadi tujuan dia selanjutnya.“Kira-kira seperti apa Perguruan Kencabuana itu ya,” batin Indra sambil tersenyum sendiri.Dengan penuh semangat Indra terus melangkahkan kakinya mulai menuruni Gunung Jatibuana. Tatapannya tertuju ke arah Gunung Kencabuana yang ada di kejauhan. Suara burung yang berkicau terdengar riang saling bersahutan di tengah tingginya pepohonan yang ada di Gunung Jatibuana. Hewan-hewan buas yang biasa berburu di pagi hari juga bisa Indra lihat bayangannya beberapa kali.Untuk mempercepat langkahnya, Indra sengaja menggunakIndra dan petani terus berjalan menyusuri pematang sawah menuju desa di seberangnya. Tak lama kemudian mereka sampai di desa tempat tinggal petani tersebut. Indra segera menanyakan di mana warung makanan yang tadi diceritakan olehnya, petani itu menunjukan arahnya kepada Indra sebelum akhirnya mereka berpisah di persimpangan.Indra terus berjalan menyusuri jalanan desa, terlihat beberapa penduduk desa terus memperhatikannya dari tempat tinggal mereka. Tampaknya apa yang dikatakan petani itu memang benar kalau saat ini jarang ada pendekar yang singgah di desa mereka. Namun Indra tidak mempedulikannya, yang dia pedulikan saat ini hanyalah suara perutnya yang terus menerus berbunyi karena sudah lapar.“Sampurasun,” sapa Indra saat sampai di depan kedai makanan yang ditujunya. Pemilik kedai yang merupakan pasangan suami istri tampak langsung menoleh. Beberapa orang yang sedang menikmati makanan di sana juga segera menatap Indra.“
“Hihihi.. ternyata di mana-mana sama saja. Orang kaya mah dipuja-puja, dihormati, dilayani dengan baik, meski berbuat kesalahan juga nggak sampe perlu minta maaf. Eh giliran orang miskin mah dituduh mau ngutang, tiap makan juga diperhatiin takut makan lima ngaku satu, buat kesalahan sedikit saja bisa sampe dihajar,” gumam Indra sembari menikmati makanan yang menggunung di piringnya.Tak lama kemudian wanita pemilik kedai segera datang buru-buru dengan membawa nampan tempat kopi dan air putih yang diminta Indra. Dengan hati-hati dia menaruh kedua gelas itu di meja lalu kembali ke tempatnya lagi. Indra sendiri terus melahap semua makanan yang tadi dia ambil, sudah lama rasanya dia tidak makan selahap itu. Padahal saat perjamuan di Jatibuana saja dia juga makan dengan lahapnya, namun waktu itu rasanya kurang karena dia juga masih merasakan rasa sakit setelah melawan Darga.Satu persatu para pengunjung kedai itu mulai pulang hingga tersisa Indra seo
Indra hanya menghela nafas dalam sambil membawa cucian kotor tersebut ke sumur di belakang rumah pemilik kedai. Bagaimanapun ini dia lakukan untuk menjaga nama baik kerajaannya, mungkin ceritanya akan berbeda jika hal seperti itu terjadi di Panjalu. Terpaksa dia mulai menimba air dari sumur dan mulai mencuci baju mereka di malam yang dingin seperti itu.Saat dia sedang mencuci di belakang rumah samar-samar terdengar ada beberapa orang yang datang ke rumah pemilik kedai tersebut, terdengar juga ada beberapa orang mulai berbincang meski kurang jelas apa yang mereka obrolkan. Indra sendiri tidak terlalu mempedulikannya, toh dia rasa setelah mencuci baju ini seharusnya makanan yang dia makan tadi juga sudah impas.“Kalau mereka meminta yang aneh-aneh lagi akan langsung aku tolak nanti,” gerutu Indra.“Ada saja di dunia ini orang seperti mereka, padahal apa susahnya sih merelakan makanan yang sudah aku makan. Toh tidak setiap hari
“Memangnya ada angin ya?” tanya pria pemilik kedia kepada istrinya.“Mau ada kek mau nggak, sono bersihin lagi pakaiannya!” bentak istri pemilik kedai sambil masuk ke kediamannya dan menutup pintu dengan keras.“Hmmh.. dasar istri tidak tahu diri,” gerutu pria pemilik kedai yang mulai mengumpulkan lagi pakaian mereka yang berserakan di tanah.Sementara itu Indra yang berjalan dengan pria tua menuju kediamannya akhirnya paham dengan apa yang terjadi. Pria tua itu tak lain adalah sesepuh di kampung tersebut. Dia mendapatkan laporan dari tetangga pemilik kedai bahwa mereka mendengar suara benturan-benturan keras dari dekat kediamannya, karena itulah dia segera datang ke sana untuk memastikannya. Karena itulah dia tahu semua kejadiannya dari pemilik kedai.“Maklumlah nak, keluarga mereka memang terkenal pelit di kampung ini. Mereka juga sering dijauhi oleh warga kampung karena sikap mereka yang
Esok harinya Indra berpamitan dari kediaman sesepuh kampung untuk melanjutkan perjalanannya menuju Perguruan Kencabuana. Setelah kejadian tersebut Indra memilih untuk makan seadanya saja di hutan meskipun ada desa yang dia lewati, mungkin nanti kalau tidak ada pilihan lain lagi baru dia makan di kedai seperti biasanya. Dengan begitu uangnya saat ini juga akan jauh lebih hemat.Sudah tiga hari lebih Indra berjalan menyusuri hutan belantara serta melewati beberapa desa dan kampung. Gunung Kencabuana terlihat sudah semakin dekat saja, tapi kelihatannya masih butuh waktu untuk sampai di sana. Padahal tadinya Indra pikir dia bisa segera sampai meski berjalan santai, tapi nyatanya ternyata jaraknya sangat jauh. Gunung itu terlihat karena daratan dari Gunung Jatibuana ke Gunung Kencabuana memang datar, jadi terlihat seolah-olah dekat.Saat matahari mulai terbenam Indra masih terus menyusuri hutan. Sebenarnya sore harinya dia berjalan melewati sebuah kampung, tapi
Namun saat dia sedang sibuk membersihkan bajunya itu di kejauhan dia mendengar beberapa orang berbincang. Indra dengan cepat memadamkan api unggun yang dia nyalakan tadi lalu memakai lagi bajunya. Telinganya mulai dipasang tajam-tajam mendengarkan suara-suara orang yang mendekat tersebut.“Kelihatannya bukan satu atau dua orang saja,” ujar Indra. Dia segera menggunakan ajian hampang raga dan mulai melompat ke pepohonan terdekat dari arah suara berasal.“Ingatlah baik-baik bahwa sesampainya di sana kita akan berpencar lebih dahulu untuk memeriksa keadaan di desa. Tidak menutup kemungkinan di sana ada Jawara yang merepotkan, karena itu sebaiknya kalian berhati-hati,” terdengar suara seorang pria paruh baya berbicara kepada rekan-rekannya yang berjumlah belasan. Tampak di pinggang mereka membawa sebilah golok panjang.“Iya Kang,” jawab rekan-rekannya. Di belakang mereka terdapat rombongan lain yang juga berjumla
“Pemuda ini, gerakan refleksnya benar-benar cepat,” pikir Deka seraya menapakan kaki kirinya lagi.“Menarik juga, dia kelihatannya cukup tangguh,” batin Indra sembari terus waspada.‘Brakh’‘Tap’Deka sekuat tenaga menghantamkan telapak kakinya ke dahan tempat Indra bergelantungan, dahan pohon tersebut seketika patah hingga Indra terbawa jatuh ke bawah. Namun Indra dengan lincah berhasil menapak di tanah tanpa kesulitan sama sekali. Sementara itu Deka masih berdiri di sisa dahan pohon yang dia hantam tadi.“Hihihi.. hampir saja kepalaku hancur menghantam tanah,” tukas Indra seraya mengelus dadanya.“Hey siapa kau sebenarnya hah?!” tanya Jatra.“Hihihi.. nih orang ngajak kenalan mulu. Namaku Indra Purwasena,” jawab Indra.“Aku Jatra dari Bedog Panjang! Bersyukurlah karena kau sudah menyebutkan
‘Deukh’Suara benturan keras terdengar saat tendangan Jatra ditahan oleh tendangan Indra, sementara itu kedua tangan Indra berhasil menumbangkan lagi dua bandit anak buah Deka. Jatra segera menghentakan kakinya dan mendarat di tanah, Indra sendiri berniat memberikan serangan balasan jika saja dia tidak dihalau oleh dua bandit lagi yang melayangkan tendangan serta tebasan golok mengarah kepada Indra.‘Tap’‘Beukh’Tebasan golok bandit berhasil Indra belokan dengan menghantam sikutnya, sementara tendangan lawannya berhasil dia hindari dengan melompat ke atas hingga bandit yang berniat menendangnya tepat berada di bawah. Di saat Indra melayang itulah tiga bandit lain datang seraya mengayunkan goloknya mengarah kepada Indra.Akan tetapi Indra dengan cerdik menggunakan satu tangannya untuk bertumpu kepada bahu bandit yang ada di bawahnya dalam keadaan kepalanya di bawah serta kedua kakiny
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari