Esok harinya. Rombongan Mahaguru Larasati sudah siap di luar Perguruan Melati Putih. Mereka berniat memulai perjalanan menuju ke Istana Kerajaan Galuh untuk memenuhi titah dari Maharaja Kalya Cakra. Kuda-kuda tampak sudah disiapkan oleh para muridnya, mereka memang akan menggunakan kuda sebagai tunggangan supaya bisa cepat sampai ke istana kerajaan.
Astriani juga ikut berangkat bersama dengan rombongan Mahaguru Larasati yang juga akan berangkat bersama keluarga Adipati Wanasari. Sebenarnya Astri diajak pergi bersama orang tuanya di kereta kuda, namun dia memilih untuk ikut bersama dengan rombongan Indra serta Mira. Setelah keluar dari kediaman Mahaguru Larasati terlihat mereka mulai menunggangi kereta kudanya masing-masing. Indra, Mira, Drajat, Astriani dan Purba juga berjalan menuju kudanya.“Indra, apakah aku boleh ikut bersamamu saja?” tanya Mira.“Boleh banget lah. Memangnya kenapa?” tukas Indra sambil tersenyum.Maharaja Kalya Cakra segera mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Indra dan Mira karena selain telah berperang penting di dalam perang. Mereka juga sudah berjasa menumpas anggota terakhir dari Kelompok Tangkurak yang berbahaya. Maharaja menjelaskan bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi rakyat Kerajaan Girilaya yang menderita. Karena hanya mereka sendirilah yang bisa mengubahnya. Meski begitu Kalya Cakra berjanji akan membantu mereka semampunya dengan memberikan bantuan makanan dan keperluan lainnya secara berkala.Tapi jika harus memerangi Girilaya untuk membebaskan rakyatnya saat ini Kalya Cakra menolaknya karena kondisi Panjalu juga masih belum pulih. Selain itu sebenarnya keadaan di Girilaya adalah akibat rakyatnya sendiri yang membiarkan pemimpin jahat seperti Raja Loba Doraka terus berkuasa tanpa berani bersatu menentangnya. Mereka terlalu saling mengandalkan hingga akhirnya satu persatu orang-orang yang bisa mempersatukan dan memperjuangkan kead
“Maaf Maharaja. Tapi saya tetap menolaknya. Jika alasannya adalah kekuatan maka para Mahaguru di sini jelas lebih kuat dari saya, jika alasannya ajian terlarang maka tanpa menjadi seorang Mahapatih sekalipun saya tetap bisa menggunakannya. Saya juga tidak berniat menjadi warga kerajaan lain, saya tetap akan mengabdi di bumi pertiwi ini sampai mati,” jelas Indra.“Jika alasannya adalah kecerdasan maka ada orang-orang yang jauh lebih pintar dari saya, contohnya Mira. Dia adalah orang yang sangat berperan penting dalam kemenangan kita di medan perang sebab berkat rencananya saya bisa menggunakan ajian gelap ngampar dengan leluasa. Dengan kecerdikannya juga kami bisa menemukan lokasi Nyi Sarwati lebih cepat dari seharusnya. Jika alasannya adalah peran di medan perang maka Senopati Saktiwaja juga sangat berperan penting di sana karena telah menyusun strategi terbaiknya dalam perang,” sambung Indra.“Karena itulah sekali lagi saya te
“Tentu saja. Memangnya apa?” balas Indra. Rima tampak tertegun agak lama sebelum meneruskan perkataannya. Kepalanya segera tertunduk menatap rerumputan.“Apakah kamu menyukai Mira?” tanya Rima perlahan sambil mengangkat kepalanya dan menatap tajam Indra. Sejenak Indra juga termenung diam. Perlahan Indra menghela nafas dalam bersamaan dengan angin yang kembali bertiup menerpa tubuhnya.“Ya,” jawab Indra pendek.“Begitu ya,” tukas Rima yang segera berbalik dan menengadahkan kepalanya ke atas.“K-kau sudah boleh pergi,” sambung Rima.“Rima-““Pergi atau seumur hidup aku akan membencimu!” bentak Rima sebelum Indra meneruskan perkataannya.“Baiklah,” jawab Indra seraya menghela nafas dalam lalu berbalik meninggalkan Rima. Indra memang sejak pertama kali menatap Mira di sayembara dahulu sejujurnya dia sud
Selamat malam sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Hari ini novel Pendekar Tengil akhirnya sampai di titik akhir, kisah yang bermula pasti akan berakhir. Perjalanan panjang Indra Purwasena akhirnya telah berakhir, pengorbanan dan perjuangan yang dia lakukan saya harap berkesan bagi sobat semuanya. Novel ini hanyalah fiksi belaka, andaikan ada kesamaan nama tempat, tokoh dan yang lainnya itu hanya kebetulan semata. Saya harap ada hal-hal baik dari novel ini yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran, adapun hal-hal buruknya cukup kita jadikan pengetahuan. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena di dalam novel ini masih banyak kekurangan, terutama kesalahan dalam penulisan atau kata yang diulang-ulang. Pengetahuan saya dalam dunia literasi belumlah seberapa, saya akan belajar lebih banyak lagi agar bisa membuat novel yang lebih baik lagi. Sekali lagi saya mohon maaf kepada sobat pembaca semuanya. Saya
Selamat pagi sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil memang sudah tamat. Meski begitu saya sangat senang saat banyak sobat pembaca semua yang mengharapkan kelanjutannya baik di komentar maupun di social media. Karena itu saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Sebagai ucapan terima kasih, saya akan melanjutkan lagi kisah Pendekar Tengil ini. Saya akan memulainya dengan menceritakan perjalanan Indra Purwasena ke Kerajaan Galuh. Sebuah Kerajaan yang tak jauh dari Kerajaan Panjalu dan hanya terpisah oleh lautan luas saja. di sanalah tempat Ki Maung Lara berguru dan menguasai ajian gelap ngampar yang kini dikuasai oleh Indra. Tujuan Indra ke Kerajaan Galuh tak lain untuk mematangkan ilmu kanuragan dan bela diri miliknya. Sebab setelah mengalami perang dan berkelana ke Kerajaan Girilaya, dia tahu bahwa di dunia ini masih banyak pendekar yang jauh lebih
Satu minggu berlalu setelah pertemuan penting di Istana Kerajaan Panjalu berakhir. Saat ini Indra Purwasena sudah siap membulatkan tekadnya untuk memulai perjalanan ke Kerajaan Galuh guna mematangkan ilmunya di Perguruan Pancabuana tempat Maung Lara dan Maung Lodra dahulu berguru.Beberapa hari yang lalu dia sudah ikut pulang ke Kadipaten Mandala bersama dengan keluarga Adipati Mangkuwira. Dia bahkan menginap di sana selama semalam atas permintaan Adipati sendiri, di kediamannya itu Adipati Mangkuwira tidak lupa memberikan Indra uang sebagai bekal di perjalanannya nanti. Setelah menginap di rumah keluarga Mira, dia kemudian pamit untuk kembali ke Desa Panungtungan. Tujuannya tak lain untuk menziarahi kuburan Braja Ekalawya, Lingga dan teman-temannya di Pasir Gede.Hari itu juga dia langsung pergi lagi untuk memulai perjalanan menuju ke dermaga terdekat. Hari ini setelah berjalan beberapa hari akhirnya dia sudah sampai di dermaga yang ada di Kadipaten Nangga
“Ada urusan apa sejak tadi kisanak melihatku terus?” tanya Indra tiba-tiba. Dia segera memalingkan pandangannya ke samping, padahal tidak terlihat siapapun di sana.“Penglihatan kisanak rupanya cukup tajam juga ternyata,” terdengar suara seorang pria berbicara. Mendadak saja sebuah sosok pria kekar dan tegap sudah ada di samping Indra. Dari postur tubuh dan wajahnya kelihatannya umurnya memang sudah jauh lebih tua daripada Indra, mungkin sekitar 30an.“Di tempat terbuka dan berangin seperti ini sangat mudah untuk merasakan keberadaan orang yang menggunakan ajian halimunan. Sejak tadi aku merasa angin yang bertiup dari tempatmu berdiri itu terasa aneh,” tukas Indra seraya tersenyum.“Begitu ya, kelihatannya aku memang belum cukup hebat menggunakan ilmu kanuraganku itu,” ucap pria itu sembari bersandar.“Tidak juga, andaikan saja tidak ada angin yang bertiup mungkin aku tidak akan
Indra dan Juhama terus mengikut awak kapal yang membawa mereka. Tak lama kemudian awak kapal menunjukan perahu nelayan yang sudah siap membawa mereka. Perahu tersebut sudah berada tepat di dekat tangga untuk menaiki kapal. Terlihat seorang nelayan yang ada di perahu tersenyum lebar kepada Indra dan Juhama. Dari penampilannya nelayan itu merupakan pria paruh baya dengan caping di kepalanya.Indra dan Juhama segera menuruni tangga dan mendarat di perahu nelayan. Awak kapal sekali lagi berterima kasih sebelum akhirnya nelayan yang mendayung kapal segera menggerakan kapal menuju daratan yang agak jauh dari pelabuhan. Sejenak Indra agak kecewa sambil menatap pelabuhan di kejauhan, dia sebenarnya cukup penasaran ingin melihatnya dari dekat karena dari kejauhan saja tampak sudah terlihat besar dan megah.“Kelihatannya kisanak berdua baru pertama kali datang ke Kerajaan Galuh ya?” tanya nelayan dengan ramah.“Eh, si mamang kok tahu?&r
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari