“Heh! Katakan yang sebenarnya, kamu bertemu dengan Nyi Sarwati atau tidak?” tanya Mira setengah membentak sambil menampar kepala Jaram.
“Saya ng-nggak pernah bertemu dengannya Nyai. Tadi saya cuma bercanda doang,” jawab Jaram yang masih terus tertunduk. Sontak saja Indra kembali tertawa mendengar jawaban Jaram tersebut.“Brengsek ya, memangnya kau itu anggap kami apa? Kalau bohong ya bilang saja bohong! Pake alesan bercanda segala rupa lagi,” gerutu Mira.“Iya Nyai. Maaf,” tukas Jaram dengan pelan. Sementara itu Indra mulai mengatur nafasnya agar tidak terus tertawa.“Jangan-jangan selama ini kau menjadi bandit juga bercanda ya?” tanya Indra lagi.“Iya Kisanak, eh maksud saya nggak,” jawab Jaram. Sontak Indra kembali tergelak tertawa karena mendengar jawaban Jaram yang masih menunduk.“Ayo kita pergi saja. Percuma tadi kita buangIndra dan Mira terus berjalan di jalanan yang menuju desa, di samping kanan dan kiri mereka terlihat ada sawah yang baru dibajak oleh kerbau. Beberapa diantaranya malah baru sedang dibajak. Saat melihat mereka berdua lewat, tampak perhatian para petani tertuju kepada mereka berdua. Indra hanya mengangguk ramah dari kejauhan sambil terus menunggang kudanya menuju desa, meski begitu para petani tersebut hanya tertunduk saja.Dari kejauhan terlihat rumah-rumah penduduk desa yang berdiri kokoh. Tampak juga berbagai jenis pohon buah yang ranum tumbuh subur di sekitar rumah mereka. Mira dan Indra kemudian turun dan menuntun kudanya setelah dekat ke pemukiman warga desa. Beberapa anak kecil terlihat sedang kejar-kejaran di halaman rumah, sementara itu hanya sedikit saja orang dewasa yang ada di sana karena kemungkinan mereka sedang pergi ke kebun atau ladangnya.Hanya ada beberapa ibu-ibu yang ada di teras rumahnya. Perhatian mereka langsung tertuju kepada Indra d
“Tebakan tuan memang benar,” jawab Mira sambil tersenyum.“Hihihi.. begitulah tuan,” timpal Indra sambil menggaruk-garuk kepalanya.“Hmm.. Kalau begitu kita berbincangnya di kediaman saya saja,” tutur Sopala sambil mengajak Indra berjalan menuju ke arah para pemuda dan anak-anak yang sedang berlatih pencak silat.Pria yang sedang melatih para pemuda dan anak-anak itu segera menghampiri Indra dan Mira seraya memperkenalkan dirinya sambil bersalaman, Indra kemudian menambatkan tali kedua kuda mereka di pohon buah yang ada di samping rumah. Setelah berbincang sebentar mereka berdua kemudian masuk ke dalam rumah besar yang ternyata merupakan kediaman Sopala. Sementara kediaman temannya ternyata agak jauh dari sana, namun diwaktu siang hari mereka biasanya ada di sana untuk melatih para pemuda dan anak-anak Desa Petir.Istri Sopala segera menyambut kedua tamunya itu dengan ramah. Dia langsung menyuguh
“Nah kalau itu baru saya mau,” ucap Indra sambil tertawa kecil.“Ish,” gerutu Mira sambil mengeplak tangan Indra yang hanya cengar cengir saja sebab tidak bisa menyembunyikan rasa laparnya.Setelah berbincang sebentar akhirnya Sopala dan istrinya mulai menyiapkan hidangan untuk makan siang. Semua pemuda dan anak-anak yang berlatih juga akhirnya berhenti untuk beristirahat. Setelah rehat sejenak mereka mulai berkumpul di kediaman Sopala untuk makan siang. Sopala mengatakan kalau makan bersama sudah menjadi kegiatan mereka sehari-hari.Sopala juga menjelaskan kalau dia serta istrinya pernah berguru di salah satu perguruan silat aliran putih yang kini sudah lenyap karena diserang orang suruhan kerajaan. Mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di Desa Petir, ternyata di desa tersebut bukan hanya mereka saja yang merupakan seorang pendekar. Tapi kebanyakan penduduk Desa Petir memang seorang pendekar, karena itulah kelompok b
Indra dan Mira mulai berjalan menuruni bukit. Sepanjang jalan terlihat Mira terus senyum-senyum sendiri melihat Indra, kali ini Indra benar-benar sudah menyamar dengan menutupi wajahnya menggunakan topeng yang terbuat dari kantung kulit yang biasa mereka gunakan untuk membawa perbekalan di kudanya. Indra menyobek kantung kulit itu dan membuat topeng, dia mengikatnya dengan tali rotan ke kepalanya.“Ada apa sih?” tanya Indra saat melihat Mira terus senyum-senyum sendiri.“Itu yang kamu maksud menyamar?” Mira malah balik bertanya kepada Indra.“Iya, keren kan? Cuma rasanya lubang buat hidungnya ke kecilan nih. Nanti hidungku jadi semakin pendek deh karena ketekan,” ucap Indra sambil menata kembali topeng di wajahnya.“Keren dari mananya, yang ada malah serem tahu,” kata Mira.“Hihihi.. Bagus dong, nanti bandit-bandit itu juga bakalan ketakutan,” tukas Indra samb
Lima bandit segera melesat menyerang Indra sambil mengayunkan senjata yang mereka pegang. Tanpa ragu Indra melesat dalam gerakan kedua pancalima, dua orang bandit yang menyerangnya langsung tumbang saat leher mereka dihantam pukulan keras oleh Indra sampai memuntahkan darah dari mulut serta hidungnya.‘Beukh’‘Dakh’‘Deukh’Tiga bandit lainnya secara bergiliran segera Indra serang dengan tendangan kaki kanannya yang diputarkan mengincar leher mereka semua sekaligus hingga terpelanting dan kepalanya membentur tanah dengan keras. Melihat ada keributan di kejauhan, tampaknya bandit yang melihatnya tidak tinggal diam. Belasan bandit terlihat mulai bergerak menuju Indra dan Mira yang sedang menghajar rekan mereka satu persatu.Mira sendiri tanpa ragu segera mengambil dua golok dan dia gunakan untuk menebas semua bandit yang datang menyerangnya tanpa ampun. Suara dentingan senjata terus te
Saat Mira baru saja menapakan kakinya ke tanah, lima bandit sudah melesat lagi ke arahnya sembari melayangkan tebasan pedang serta golok di tangannya. Mira dengan cepat menghindari satu tebasan lalu menangkis dua tebasan lainnya menggunakan golok yang ada di kedua tangannya, Mira dengan cepat juga menghantamkan kakinya membelokan serangan satu bandit dan menghindari tebasan bandit terakhir yang menyerangnya.Dengan cepat Mira memutar goloknya di tangan lawan sampai tangan mereka tersayat bilah tajam golok yang dipegang Mira. Tak hanya sampai di sana saja sebab Mira juga segera menyepak kaki dua bandit tersebut sampai tubuhnya oleng dan disusul tusukan golok mengincar dadanya.“Aakkhh!” dua bandit itu terdengar menjerit kencang sesaat setelah Mira mencabut dua goloknya yang menancap di dada mereka.Mira beralih menghindari serangan satu bandit lainnya dan menahan tebasan dua bandit lainnya dengan golok di tangannya, tapi mendadak dar
“Mereka benar-benar berbeda dengan bandit yang pernah kami lawan di perjalanan,” batin Mira sambil merasakan rasa perih di pinggangnya.“Kelihatannya apa yang dikatakan oleh tuan Sopala memang bukan hanya isapan jempol belaka,” pikir Mira sambil waspada lagi saat melihat belasan bandit kembali datang mengepungnya. Terlihat beberapa bandit lainnya juga baru datang dari arah yang berbeda, mereka pasti datang setelah mendengar ada keributan di wilayah mereka.Mira merasa kalau para bandit yang ada di Desa Gugur benar-benar sudah terlatih. Sangat berbeda jauh dengan bandit yang ada di Desa Sanca atau Desa Cangkeul yang ada di tepi Sungai Cisoca. Tentu saja hal itu membuat Mira semakin curiga saja, dia yakin keberadaan bandit-bandit hebat di sana ditambah dengan persiapan yang terlihat mereka lakukan sebelumnya pasti berhubungan dengan rencana cadangan Wirarasa.Sejenak Mira terlihat menatap ke arah Indra yang juga sedang sib
Suara benturan dan pekikan para bandit terdengar jelas saat Indra mendaratkan serangannya di tubuh mereka. Dengan lincah Indra berganti dari gerakan ketiga, kedua dan pertama silat pancalima tanpa kesusahan sedikitpun. Semakin sering dia menggunakan gerakan silat yang diajarkan Maung Lara kelihatannya semakin terampil saja dia menggunakannya.Kali ini Indra yang dikepung tujuh orang bandit segera melompat ke udara dan menggunkan gerakan ketiga pancalima dengan membalik tubuhnya sembari menghujamkan kedua tinjunya ke bawah. Dua kepala bandit yang terkena hantaman tinju Indra langsung roboh bersamaan dengan suara benturan yang cukup keras. Indra tidak membuang waktu dan segera melesat lagi dengan tendangan mengincar leher seorang bandit.Musuhnya terlihat mencoba menghalaunya menggunakan bilah pedang. Tapi tubuhnya tetap terpental ke belakang saking kuatnya tendangan yang dilakukan oleh Indra. Tiga bandit lainnya mencoba menyerang Indra dengan senjata di tang
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari