“Hidup Kerajaan Panjalu!” teriak Indra dengan keras hingga terdengar menggema di cekungan tanah. Sontak saja semua orang yang ada di sana juga langsung tersenyum dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke udara.
“Hidup Kerajaan Panjalu!” timpal semua pasukan sampai terdengar bersahut-sahutan. Mereka bersorak riang karena senang akhirnya perang sudah selesai. Indra kemudian berjalan menuju seberang jurang yang mulai penuh terisi oleh air hujan yang sejak tadi turun dengan derasnya. Saktiwaja terlihat langsung menghampirinya, seketika itu juga Indra tertunduk.“Di mana Mahaguru Maung Lodra dan Mahaguru Pratiwi?” tanya Saktiwaja. Sebelum menjawab pertanyaan Saktiwaja tampak Indra menghela nafas dalam.“Mereka berdua telah meninggal saat aku sampai ke medan perang, tapi berkat pengorbanan mereka jugalah aku bisa mengalahkan Wirarasa dan Angkara,” jawab Indra dengan lirih.“Hmmh“Sejujurnya aku tidak menyangka jika dia akan tergiur dengan tawaran musuh dan memilih berpihak kepada mereka. Aku tidak menyangka jika dia adalah tipe orang serakah yang hanya mementingkan jabatan, harta, tahta dan dunia dibandingkan rakyat dan tanah airnya. Selama ini dia benar-benar pintar bersandiwara seolah-olah berada di pihak kita, nyatanya dia hanyalah seorang penjilat yang mudah berkhianat demi tujuannya sendiri,” sambung Pantera.“Ya. Padahal Maharaja Kalya Cakra sudah sangat mempercainya. Hmm.. Pada akhirnya pasukan kita berkurang lebih dari setengahnya di sini. Hanya tersisa tambahan dua ribu pasukan saja yang saat ini sedang dijemput oleh Suradwipa. Aku memang yakin jika kita berperang dengan Kerajaan Girilaya kita tetap akan menang, tapi korban jiwa di pihak kita juga akan sangat banyak,” tukas Saktiwaja sambil beberapa kali menghela nafas dalam.“Oh iya Indra. Apa kau tidak mendapatkan informasi apapun dari Angka
“Mereka berdua memang sangat hebat, kemenangan ini tidak mungkin diraih kalau mereka tidak ada. Sangat disayangkan jika mereka harus gugur di medan perang ini. Kemenangan ini seakan tidak berarti jika harus kehilangan dua Mahaguru bahkan tiga Mahaguru dari perguruan besar,” timpal Mira.“Ya. Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan memang tidak mudah, kadang kita harus kehilangan sesuatu di tengah-tengah perjuangan kita. Tapi kehilangan nyawa di tengah perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran bukanlah hal yang buruk. Orang seperti mereka berdua pasti sejak awal sudah siap melakukannya, bagi mereka kebenaran dan keadilan adalah hal yang lebih penting dan mutlak untuk ditegakan. Semua itu juga mereka lakukan demi kita para penerusnya,” kata Indra.“Tapi ngomong-ngomong kamu juga sangat berjasa di perang kali ini, jadi jangan berkecil hati seperti itu. Jika kamu tidak ada di medan perang mungkin korban jiwa yang jatuh dari piha
Pagi harinya saat fajar baru menyingsing suara derap langkah kuda yang begitu banyak terdengar mulai mendekati tenda-tenda pasukan Kerajaan Panjalu. Indra dan beberapa orang lainnya yang sudah terbangun segera berdiri di dekat tenda dengan waspada, Saktiwaja dan Pantera juga segera keluar dari tendanya. Namun samar-samar terlihat kalau yang datang adalah Suradwipa dengan lima ratus prajurit berkuda lainnya.“Kelihatannya sebagian pasukan cadangan juga sudah datang,” tukas Saktiwaja sembari berjalan bersama Pantera untuk menyambut kedatangan Suradwipa. Sementara itu setelah tahu kalau yang datang bukanlah pasukan musuh, Indra segera kembali ke tendanya seraya membaringkan tubuhnya lagi di atas batang pohon yang dia jadikan alas untuk tidur.“Bagaimana keadaan peperangan saat ini Senopati? Kami sudah berusaha datang secepat mungkin, tapi ini adalah batasan kami setelah menempuh jarak yang cukup jauh,” tanya Suradwipa setelah turun dari
“Nggak, aku cuma bicara sendiri,” jawab Mira sambil buru-buru berjalan cepat mendahului Indra. Tenda utama tempat Saktiwaja berada juga sudah ada di depan mereka. Melihat hal itu Indra hanya tersenyum saja sambil menatap Mira dari belakang.Sesampainya di tenda utama terlihat beberapa orang sudah ada di sana termasuk Suradwipa dan Senopati Pantera. Indra dan Mira kemudian duduk di batang pohon yang dijadikan kursi seadanya. Terdengar kalau Saktiwaja sedang menceritakan jalannya perang kepada Suradwipa yang memang baru datang.“Hmm.. andaikan aku datang kemari lebih cepat bersama dengan pasukan cadangan,” ujar Suradwipa setelah Saktiwaja mengakhiri ceritanya.“Perjalananmu sudah sangat cepat Sura, jarak dari sini ke tempat pasukan cadangan sangatlah jauh. Sejak awal kita memang tidak menduga kalau Wirarasa akan berbuat selicik itu,” hibur Saktiwaja saat melihat Suradwipa tampak merasa bersalah.&l
Setelah membacakan surat dari Maharaja Kalya Cakra prajurit tersebut kembali meninggalkan tenda untuk kembali ke tempatnya. Sementara itu Saktiwaja hanya menghela nafas dalam. Dia sebenarnya masih marah dengan Kerajaan Girilaya yang telah berani mengganggu Kerajaan Panjalu, tapi apa yang Kalya Cakra sampaikan di suratnya memang masuk akal juga.“Sekarang bagaimana Saktiwaja?” tanya Pantera.“Kita akan mentaati titah dari Maharaja. Kita akan membawa semua pasukan ke Kadipaten Nanggala sambil menunggu keputusan Maharaja, kita tidak mungkin menentang keputusan beliau,” jawab Saktiwaja. Tapi dia terlihat sedikit merenung seolah ada yang mengganjal di hatinya.“Tapi, jika memang keputusannya belum pasti bukankah lebih baik semua pasukan dikerahkan mendekati perbatasan dengan Kerajaan Girilaya? Bukankah jika kita malah di Nanggala nanti kalau Girilaya berniat perang kita malah akan keteteran karena harus buru-buru datang
Hanya dalam waktu singkat terlihat semua tenda tempat pasukan Kerajaan Panjalu beristirahat sudah dibongkar dan dirapikan. Beberapa pasukan lainnya terlihat mulai membuat pedati dan kereta kuda sederhana dari batang-batang pohon yang sudah tumbang. Setelah selesai barulah mereka berkumpul di tepi cekungan tanah untuk memberikan penghormatan terakhir kepada semua orang yang telah gugur di medan perang.Setelah selesai mereka kemudian mulai menaiki pedati dan kereta kuda sederhana yang baru dibuat. Meski begitu tidak semua pasukan bisa diangkut karena keterbatasan jumlah kuda yang ada di sana. Setengah pasukan bisa dibawa sementara setengahnya lagi terpaksa jalan kaki untuk menuju Kadipaten Nanggala. Indra, Elin, Astriani dan Mira sebenarnya berniat untuk jalan kaki saja, tapi atas perintah Saktiwaja mereka berempat ikut menaiki kereta kuda agar cepat sampai. Rima sendiri sudah berangkat duluan bersama ayahnya.“Hoam.. Padahal aku tadinya mau jalan kaki
“Yah. Sebagai murid mereka berdua, saya juga tahu betul kalau mereka berdua memang sangat kuat. Tapi saya sendiri belum sampai di titik yang sama dengan mereka, saya masih perlu belajar lebih banyak lagi sambil mencari pengalaman,” kata Indra.“Hmm.. Ya, kau memang harus menjadi lebih kuat lagi jika mau menjadi me- Aduduh..“ belum selesai Mangkuwira berbicara, Mira sudah mencubit ayahnya tersebut dengan keras.“Ih ayah mah,” gerutu Mira dengan wajah memerah, sementara itu Adipati Mangkuwira hanya tertawa kecil.“Mau menjadi me- apa tuan?” tanya Indra sambil mengerungkan wajahnya.“Hehehe.. tidak, bukan apa-apa,” jawab Mangkuwira sambil tertawa kecil.“Apa Ibu juga ada di sini? Ayo kita temui Ibu saja,” ucap Mira cepat-cepat seraya mendorong tubuh ayahnya.“Iya, Ibu juga ada di dalam,” kata Mangkuwira. Mereka berdua kemudian
“Sebelumnya aku ucapkan selamat datang kepada kalian semua, serta tentunya ucapan terima kasih sebesar-besarnya karena sudah berjuang keras demi kedamaian di Kerajaan Panjalu. Sangat disayangkan beberapa rekan kita, sesepuh kita yang juga ikut turun ke medan perang tidak dapat kembali kemari bersama kita. Tapi percayalah kalau mereka sudah tenang di alam sana dengan penuh kebanggaan karena pengorbanan mereka tidak sia-sia,” tutur Kalya Cakra.“Seperti yang kalian tahu kalau beberapa hari yang lalu aku telah mengirimkan surat kepada Kerajaan Girilaya atas keterlibatan mereka di dalam masalah kerajaan kita, meski sampai saat ini belum ada jawabannya. Namun beberapa hari yang lalu setelah aku mengirimkan surat kepada kalian di perbatasan Kadipaten Kupa, aku kembali menerima surat dari para pengintai yang sedang memeriksa keadaan di Kadipaten Tohaga, Rohaka, Suaka dan Wacana. Aku sebenarnya ingin memberitahu kalian saat itu juga, tapi aku pikir lebih baik
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari