Mahaguru Maung Lodra, Mahaguru Pratiwi dan Senopati Saktiwaja yang tadi berlutut kini mulai bangkit lagi menatap cekungan tanah yang begitu dalam. Mereka semua hanya bisa tertegun diam melihatnya. Kenyataan bahwa sampai terbentuk cekungan seluas dan sedalam itu menandakan kengerian yang terjadi akibat ajian pancabaya milik Wirarasa.
“Wirarasa!” teriak Saktiwaja.“Pratiwi, perintahkan Suradwipa untuk memanggil pasukan cadangan yang sudah ditempatkan sebelumnya. Aku yakin banyak dari pasukan kita yang jadi korban. Suruh dia untuk membawa pasukan cadangan itu kemari,” perintah Maung Lodra. Mahaguru Pratiwi langsung mengangguk dan berbalik ke belakang untuk menemui Suradwipa yang terlihat juga berniat menghampirinya.“Sura, bawa pasukan cadangan kemari. Perintahkan mereka untuk segera datang kemari. Katakan bahwa kita di sini membutuhkan batuan,” perintah Pratiwi.“Baik,” jawab SuradwipaMaung Lodra juga yakin kalau Wirarasa sejak awal sudah tahu kalau pasukannya sedang diintai, jadi dia sengaja menunjukan semua pasukannya agar Candra turun dengan kekuatan penuhnya tanpa ragu, sebab jika jumlahnya seperti kemarin hanya ada seribu lebih kemungkinan Candra juga hanya akan membawa setengah pasukannya ke medan perang.“Setelah Wirarasa yakin umpannya akan berhasil hingga Candra turun dengan kekuatan penuh maka dia hanya mengirim enam ratus pasukan saja ke medan perang. Sejak awal dia pasti sengaja memilih pasukan terlemah untuk dikirim ke medan perang, karena sejak awal dia berniat menjadikan mereka hanya sebagai tumbal untuk mengecoh kita,” jelas Maung Lodra.“Aku yakin dia ikut turun ke medan perang bersama dengan barisan pasukan paling belakang yang memakai kain hitam menutupi wajahnya. Dengan begitu Candra ataupun pendekar lainnya tidak akan mengetahui kalau dia sudah turun ke medan perang. Dia juga pasti sengaja memerinta
“Jika kalian memang ingin tahu kenyataannya maka akan aku ceritakan. Itung-itung sebagai dongeng sebelum kalian berdua tewas di medan perang ini,” ucap Wirarasa dengan penuh percaya diri.“Biar aku yang menjelaskannya Wirarasa, mungkin jika mendengarnya dariku mereka akan lebih puas,” potong Arcayuda sebelum Wirarasa menceritakan kisahnya.“Lebih dari sepuluh bulan yang lalu Wirarasa datang ke Kerajaan Girilaya untuk menawarkan suatu hal yang menarik. Dia meminta bantuan Kerajaan Girilaya untuk membantunya menjalankan rencana menguasai Kerajaan Panjalu. Kami menerimanya dengan syarat nanti setelah dia berhasil dengan rencananya kami ingin mengirimkan banyak warga Kerajaan Girilaya untuk mengolah sebagian lahan pertanian dan sumber daya lainnya, kami juga ingin agar warga Girilaya mendapatkan perlakuan istimewa,” jelas Arcayuda.“Wirarasa menyetujuinya, tapi dia bilang ada dua orang yang akan menjadi ham
Sementara itu di area Perguruan Manahsulaya. Elin, Mira, Astriani dan Rima yang merasakan getaran tanah hebat langsung terkejut bukan main. Terlebih tidak lama kemudian suara dentuman yang amat dahsyat langsung terdengar bersamaan dengan gemuruh angin kencang yang datang. Mereka berempat bersama dengan Ki Bisara dan anak buahnya langsung berhenti bertarung dan tertegun sejenak.“Apa yang terjadi?” tukas Elin sambil menutup matanya karena terpaan angin yang begitu kencang.“Aku tidak tahu,” jawab Astriani.“Arah suara tadi. Kalau tidak salah itu adalah arah medan perang berada,” batin Mira sembari terus memperhatikan musuhnya yang juga ikut terdiam.“Cih. Angin apa ini,” gerutu Rima yang kesal karena dia tadi hampir saja bisa merobohkan Ki Bisara andaikan tanah tidak berguncang.“Hehehe.. kelihatannya Wirarasa sudah menggunakan ajian terlarang miliknya,” gumam
“Hihihi.. maaf nih, bisa disingkat ke intinya saja tidak? Nanti pertarungan kita nggak selesai-selesai,” sela Indra.“Intinya dia menghancurkan masa depanku!” bentak Jalu karena tersinggung disela oleh Indra.“Eh? Maksud masa depanmu itu gimana?” ucap Indra dengan keras karena kaget, dia pikir masa depan yang Jalu maksud sama seperti yang Ki Bisara maksud.“Tadi minta ke intinya sekarang malah nanya lagi! Makanya dengerin saja sampe tuntas! Nggak semua penjelasan itu bisa disingkat! Nanti banyak pertanyaan, banyak kesalah pahaman. Makanya dengerin jangan sampai ada yang terlewat!” bentak Jalu.“Hihihi.. iya-iya, silahkan kalau begitu biar aku tidak salah paham,” tukas Indra sambil cengar cengir.“Waktu itu aku berniat melamar seorang pendekar cantik yang merupakan putri dari mahaguru perguruan besar yang ada di Kerajaan Girilaya. Kami sudah mengenal baik
Mata Ki Bisara langsung terbelalak saat Rima menancapkan tiga jarum beracun milik Ki Bisara sendiri ke lehernya. Tubuh Ki Bisara kemudian gemetar pertanda racun dari ketiga jarum itu menyebar cepat ke seluruh tubuhnya. Kedua bola matanya mulai terbalik seiring dengan tubuhnya yang menggelepar meregang nyawa.“Setiap manusia akan menuai apa yang mereka tanam. Kau yang sering menghabisi orang lain dengan racun kini merasakan racunmu sendiri dan mengalami rasa sakit yang korbanmu rasakan,” kata Rima sembari menatap mayat Ki Bisara yang sudah terbujur kaku.“Sayang sekali aku tidak bisa menyiksa orang biadab sepertimu lebih lama,” sambung Rima sambil mengalihkan pandangannya kepada Astriani, Elin dan Mira yang datang mendekat.“Kelihatannya Kang Indra juga sudah selesai bertarung,” tukas Elin cepat-cepat karena dia khawatir Mira dan Rima akan mulai cekcok lagi jika berdekatan terlalu lama.“Ya.
“Kalau begitu kami juga akan ikut. Kami tidak akan mundur begitu saja,” tukas Mira.“Hmm.. Ya, aku tahu kalian berempat memang tangguh. Tapi berhati-hatilah, ini perang bukan duel biasa. Terlebih jika kita turun dari sini pastinya kita akan datang dari belakang barisan pasukan musuh. Kalian sebaiknya bertindak hati-hati dan jangan gegabah, aku yakin kalian juga tahu kalau banyak pendekar aliran hitam yang kuat,” kata Indra.“Tentu saja Kang. Kami pasti akan bersama-sama, jadi jangan mengkhawatirkan kami,” ucap Astriani.“Untuk masalah ini, aku juga sudah memiliki rencana,” ujar Mira sambil tersenyum kepada Indra.“Syukurlah, aku percayakan mereka kepadamu. Aku akan membuka jalan lebih dahulu,” jawab Indra sembari tersenyum. Rima mendadak merasa jengkel karena entah mengapa tiba-tiba mereka berdua terlihat begitu dekat setelah pertarungan dengan Ki Ireng.&ldqu
“Ada apa Wirarasa? Apa hanya itu saja yang kau pelajari dari Purbakala?” tanya Maung Lodra.“Haha.. Santailah dahulu Maung Lodra, aku ingin menikmati pertarungan kita lebih lama lagi. Sebab sejak awal pemenangnya sudah ditentukan,” balas Wirarasa.“Kau sangat percaya diri sekali Wirarasa. Asal kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu menggunakan ajian pancabaya lagi!” tegas Maung Lodra yang melesat dalam gerakan ketiga pancalima. Dia melompat ke udara secara terbalik sembari kedua tangannya di hujamkan ke tanah mengincar tubuh Wirarasa.‘Beukh’Suara benturan keras kembali terdengar, riuh angin kembali muncul dari titik benturan saat Wirarasa menahan kedua pukulan Maung Lodra dengan kedua telapak tangannya. Saat Wirarasa berniat mencengkram tangannya, Maung Lodra segera menghentakan kedua tangannya ke telapak tangan Wirarasa sampai tubuhnya terlontar kembali ke udara.Wirara
Riuh angin mulai berhembus dari tempat Wirarasa dan Maung Lodra yang masih berdiri, kerikil di sekitar pijakan mereka tampak terangkat ke udara saking kuatnya tekanan tenaga dalam yang mereka kerahkan. Arcayuda dan Mahaguru Pratiwi yang tengah bertarung mendadak berhenti dan melirik ke arah mereka berdua.“Jadi itu ya gerakan sahasrabala dan gerakan pancatunggal yang sering diceritakan orang-orang, tekanan tenaga dalam yang mereka kerahkan benar-benar luar biasa,” batin Arcayuda.“Para pendekar yang pernah berguru di Kerajaan Galuh memang berbeda. Pantas memang jika pendekar yang hanya berguru di Kerajaan Panjalu tidak bisa berbuat banyak menghadapi mereka,” pikir Mahaguru Pratiwi.“Terakhir kali aku menggunakan gerakan silat pancatunggal adalah waktu menghadapi Braja Ekalawya, sejak saat itu aku belum pernah menggunakannya lagi untuk mengadapi orang lain,” tukas Mahaguru Maung Lodra seraya menatap Wirarasa d
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.âSilahkan temui Mahaguru di sana,â tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
âItu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,â potong Laila.âItu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,â kata Purnakala.âEh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?â tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.âSetââTapâTiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.âAda apa ini?â tanya Indra dengan waspada.âCih, gesit juga,â gerutu Laila.âBeukhââHeukh..â pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.âMaafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,â terdengar suara Purnakala pelan.âKenapa?â batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.âAku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
âSaya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,â ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.âPadahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,â batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
âApakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?â tanya Jaka dengan raut wajah serius.âTidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,â tegas Adiyaksa.âYahuuu! Huaaaahh!â tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.âApakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?â batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
âMira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?â batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.âHmmh..â Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari