Murid-murid Perguruan Api Abadi berbaris rapi. Ribuan murid baru menunggu nama mereka dipanggil. Seleksi awal dilaksanakan langsung di ruangan ketua perguruan. Aura hangat bercampur suram terasa kala murid-murid baru melewati gerbang utama perguruan.
Hal yang sama juga dialami Asoka, bulu kuduknya berdiri, terutama saat matanya bertatapan langsung dengan mata naga merah yang terlukis di gerbang utama. Seakan mereka beradu pandang, saling menantang satu sama lain.
"Kau kenapa melamun?" tanya Bayu, sahabat baru Asoka. "Murid-murid lain sudah berbaris rapi di Tanah Pelatihan, ayo kita berangkat. Tinggal kita berdua yang masih diam di sini."
Hampir lima menit Asoka mematung dengan mata terbelalak. Bayu sengaja membiarkan Asoka sembari mencari tahu apa yang terjadi. Lama menunggu, akhirnya Bayu menyadarkan Asoka, lalu mengajaknya pergi ke Tanah Pelatihan.
Berkumpul ribuan pendekar dari berbagai aliran dan perguruan. Tidak hanya dari Jawa, sebagian besar yang m
Seperti batu raksasa yang dibebankan di punggung seorang bocah 14 tahun, gempuran energi Abah Suradira terus menghantam Asoka hingga keningnya berkeringat. "I-ini tidak hanya berat. Ini juga menyakitkan!" Asoka mengeluhkan dirinya sendiri. "Aku harus diterima jadi murid perguruan." Abah Suradira mendengarnya. Baru kali ini ada murid segigih itu melawan hantaman energi miliknya. Harusnya pria berkuncir itu sudah resmi diterima jadi murid perguruan. Seleksi perguruan ini sebenarnya mudah, setiap murid harus menahan gempuran energi terendah selama tujuh kedipan mata. Sedangkan Asoka berhasil menahan gempuran energi menengah, bahkan durasinya sampai dua puluh kedipan mata. Melihat tuannya berusaha keras melawan kekuatan Abah Suradira, Gatra nampak prihatin. Dia keluar menggunakan wujud manusia manusia bersayap. Itu adalah wujud terkuat Gatra, Bhagawad Gita menamainya sebagai mode dewa. Kehadiran sang gagak tidak bisa dirasakan siapapun kala menggunakan mo
"Berani-beraninya lelaki hidung belang masuk ke asrama perempuan. Memangnya kau siapa? Jangan hanya karena umurmu masih kecil bisa seenaknya masuk ke asrama ini!"Seorang perempuan menodong Asoka dengan tombak yang dialiri energi. Parasnya lumayan cantik, bahkan Asoka sempat berdesir saat pertama kali melihat wajah perempuan itu. Rambutnya tergerai, bergoyang diterpa angin.Menatap sang pendekar wanita seraya tidak peduli akan ucapannya, Asoka menyingkirkan mata tombak yang bersentuhan langsung dengan kulit lehernya."Nisanak, tidak bisakah kau sedikit sopan pada anak baru? Perguruan Api Abadi terkenal berwibawa, tapi ternyata begini cara mereka menyambut anak baru. Jika tidak bisa menyambut dengan elok ... minimal tanya lah dengan nada halus."Dewi Ratna menarik tubuhnya dua langkah ke belakang, menjaga jaraknya dengan si rambut kuncir. "Bagaimana kau bisa menyingkirkan tombak yang sudah kualiri kanuragan?""Kanuragan? Tombak itu seperti tombak bi
Asrama pendekar dibedakan menurut lencana yang mereka dapat. Asoka mendapat jatah tinggal di asrama khusus bersama senior yang sudah belasan tahun tinggal di sana. Seperti anak ayam mendatangi kandang macan, Asoka disepelekan senior perguruan karena umurnya baru 15 tahun.Pendekar berkumis tipis kemerahan mendekati Asoka, menguji kemampuan bocah itu."Sepertinya kau mencuri lencana perak. Tidak mungkin bocah seusiamu dapat lencana itu dengan mudah. Kami saja mendapatkannya setelah berlatih dan berjuang selama belasan tahun. Dan kamu mendapatkannya begitu saja? Ini tidak adil!"Kemudian rekannya menyela. "Opang, uji saja kemampuan bocah itu, cukup dengan tekanan energi! Jika bocah itu tidak bisa menahan energimu, ada kemungkinan dia mencuri lencana perak dari ruangan ketua.""Jangan begitu, Reksa, dia bisa mati kalau aku yang mengujinya."Memandang remeh kepada Asoka, beberapa senior asrama bergantian mengujinya. Asoka minta pendapat Gatra, apa yang
Hari esok telah tiba. Semua murid lencana perak dikumpulkan di depan asrama. Mereka dibekali gula aren dicampur taburan rempah penguat tulang. Empu Nara datang disambut bungkukan badan semua penghuni asrama."Hormati kami, Guru Nara.""Tegapkan badan kalian! Hari ini adalah uji ketahanan tubuh. Mungkin murid-murid lama tahu tradisi ini, tapi asrama api merah punya satu murid baru bernama Asoka." Empu Nara berjalan mondar-mandir sembari menatap jauh ke arah tanah tandus bekas persawahan. "Seperti biasa, aku akan menjelaskannya lagi."Semua murid menelan ludah. Mereka tahu, tradisi ini hampir sama seperti bunuh diri. Ketahanan tubuh mereka diukur dari seberapa lama mereka bertahan di atas tanah tandus dekat tumpukan jerami kering. Asap beracun telah menunggu mereka."Asoka!" Empu Nara berhenti dan menatap pemuda itu lekat-lekat. "Tradisi ini wajib diikuti oleh murid lencana perak dan di atasnya. Yang perlu kau lakukan hanya satu, menahan rasa sakit dari asa
Seorang pemuda berdiri di tengah lapangan tandus bekas persawahan. Jerami di sampingnya terbakar, mengeluarkan asap kuning kehijauan. Banyak yang menyebutnya Asap Kerling karena rasa sakit yang ditimbulkan.Baju seragam warna merah Asoka tercabik-cabik asap, menyibak punggung putih pemuda itu. Celananya pun sama, robek di bagian lutut dan dekat tulang kering. Asoka tetap bertahan meski darah mengalir dari semua lubang tubuhnya.Puncaknya saat gusi Asoka berlumuran cairan hijau. Rasanya sangat pahit sampai mengganggu konsentrasinya. Asoka segera tumbang di hitungan menit ke empat puluh.Ki Mangun Tapari dan Empu Nara saling pandang heran. Jika Abah Suradira tahu akan hal ini, lencana giok akan diberikan cuma-cuma. Tapi keduanya punya rencana lain; ingin Asoka belajar dari tingkat rendah seperti murid-murid lainnya."Setyo Waringin, lupakan mereka semua. Luka mereka tidak separah pemuda ini." Ki Mangun Tapari membopong tubuh Asoka dibantu siluman katak mera
Demi ketertiban Seleksi Musim Panas, kelima murid tingkat giok diturunkan langsung mengawasi peserta, tamu, dan beberapa murid yang mendaftar bertarung. Ratusan murid tingkat perunggu dan tanpa lencana bergerak beraturan, tak terlalu menyulitkan tugas murid tingkat giok.Setibanya di Tanah Kanuragan, mereka menyebar ke kursi masing-masing. Asoka bersama murid asrama api merah duduk di bangku paling belakang.Tidak ada peraturan khusus untuk mengikuti turnamen ini. Siapapun yang berusia di atas 12 tahun berhak mengikuti seleksi, apalagi mereka yang punya kanuragan di atas rata-rata.Seleksi ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah pertarungan dengan jaminan lencana, sedangkan bagian kedua diadakan bulan depan. Para pendekar biasanya menyebut bagian kedua ini dengan Turnamen Neraka Bumi.Dalam Seleksi Musim Panas, keluarga bangsawan dan pendekar tingkat naga dianggap sebagai tamu istimewa. Mereka ditempatkan di dekat podium tepat di samping are
Hembusan hawa panas menyeruak ke seluruh ruangan. Ada perseteruan antara Ki Setyo Waringin dan salah satu pendekar lencana giok. Api biru berbentuk naga keluar dari telapak tangan Ki Setyo Waringin, melilit tubuh pendekar itu hingga tak sadarkan diri.Mendekati pendekar yang pingsan, Ki Setyo Waringin terkejut mendengar suara tawa yang sangat keras. Ternyata dia hanya pura-pura, mengganti tubuhnya dengan klon bambu. Asap putih memenuhi ruang pengobatan perguruan."Naga Melilit Angkasa, ternyata kau sudah menguasai jurus tersebut. Jurus yang sudah lama tidak kulihat semenjak ayahku meninggal puluhan tahun lalu."Ki Setyo Waringin terbelalak. "Jangan-jangan kau...""Lama tidak bertemu, sudah hampir lima tahun." Ki Damawangsa tiba-tiba masuk ke ruang pengobatan yang letaknya tepat berbatasan dengan laut. "Seperti biasa, kutitipkan seutas surat padamu. Aku punya informasi penting yang harus kau sampaikan pada kakak."Belum sempat melihat wajah Ki Damaw
Antusias penonton makin membludak setelah melihat kemunculan Ki Seno Aji di tengah-tengah arena. Pendekar lencana giok kewalahan menghadapi riuhnya suasana. Petinggi Sekte Pendeta Langit bersiap membantu pendekar lencana giok, tapi Abah Suradira melarangnya.Salah satu pria yang duduk di bangku terdepan bangkit mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Dia adalah orang terkuat pertama di Perguruan Banyu Damar, tamu undangan istimewa seleksi kali ini."Kemunculan api hitam selalu jadi pembuktian kalau lelaki di sana benar-benar Ki Seno Aji, pendekar terkuat di masa ini." Raden Bagaskara berteriak sangat keras. "Aura kematian yang menghujam tubuh-tubuh kalian adalah aura milik Ki Seno."Asoka mendelik ke tengah lapangan. Pantas saja ada aura kematian yang bisa membuatnya ambruk, ternyata aura itu berasal dari gurunya sendiri. Dia masih penasaran, apa gerangan yang dilakukan Ki Seno kala Seleksi Musim Panas sedang berlangsung.Datuk Lembu mengalihkan pandangannya
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As