Jarak Asoka dengan ruang ritual tidak terlalu jauh. Aura hitam pekat Yasa bisa dirasakan Raden Kusuma dan Ki Langkir Pamanang.
Semakin geram, aura hitam itu terasa semakin pekat.
Raden Kusuma dan Ki Langkir Pamanang khawatir, jika Asoka dibiarkan mengamuk, semua murid bisa terbunuh dengan mudah. Jangankan mereka berdua, Abah Suradira, yang sudah diakui sebagai pendekar elemen api terkuat, tumbang saat ingin menghentikan murka Asoka.
Bono dan Barok hanya bisa menggelengkan kepala melihat tetua padepokan bernama Suryo.
Bukannya berhenti, dia malah memprovokasi Asoka, membuat pemuda itu makin emosi. “Jangan gegabah, Kisanak. Bukannya sombong, Barok yang terkuat di sini saja sudah tumbang olehku, apalagi dirimu.”
“Gertakanmu tidak akan berguna. Kau tidak pantas mengajar di padepokan Ajisaka!” Asoka mengerang, lalu mengeluarkan aura kemerahan di sekitar tubuhnya.
Usai menghela nafas panjang, dia berdiri, menuruni anak tang
“Kenapa? Keluarkan saja seluruh energimu, aku tidak takut.” Suryo semakin berlagak di hadapan Asoka, seolah, dia adalah orang terkuat setelah Raden Kusuma.“Jangankan satu orang, jika ada tiga orang seperti dirimu, pasti kukalahkan semuanya! Gelar yang terkuat di padepokan hanya dimiliki Raden Kusuma, tapi aku adalah orang terkuat nomor dua di sini. Kau tidak tahu seberapa besar tenaga dalamku, kan?”Asoka memicing heran. Bagaimana bisa pria ini begitu sombong. Dia melihat ada sesuatu yang menonjol tapi bukan bakat.“Aku tidak tahu jika kesombonganmu jauh lebih besar dari belalai gajahmu, itu kelihatan menempel di celana.”“Bocah tengik!” Suryo berlari ke arah Asoka dengan pedang terhunus di samping kepala.Awalnya dia ingin menghabisi Asoka dengan jurus terkuatnya, Teknik Pedang Kawah Angin, namun ternyata gagal. Suryo makin geram kala Asoka mempermalukannya di hadapan murid-murid lain.Mau di
Kembali, Asoka melesat dengan Ajian Sepuh Angin, ke belakang tubuh Suryo, lalu menekan arteri nada, tempat aliran energi utama manusia yang letaknya di sekitar leher kiri bawah.Barok yang tidak tahan, segera lari menghampiri Suryo. Dia tidak peduli walau Asoka menatapnya sangat tajam.“Harus berapa kali aku memperingatkanmu, Barok, tidak boleh ada yang ikut campur dalam pertarungan ini!” Dari tangan Asoka, keluar bola-bola api. Dia geram, siap menyerang Barok dan Suryo bersamaan.“Sekali ini saja, aku mohon!” Barok hampir saja sujud jika Raden Kusuma tidak meneriakinya dari jauh.“Kau menang telak setelah berhasil mematikan aliran kanuragan Suryo. Pertandingan ini, merupakan ajang pembuktian siapa yang terkuat. Kau berbuat curang. Teknik totok jarimu sama sekali tidak diketahui murid padepokan.”“Lalu kenapa? Ada masalah dengan teknikku?”“Harusnya kau tahu, kita sebagai pendekar medis,
Srat!Sring!Hunusan pedang Suryo hampir saja memotong tangan Asoka kalau dia tidak fokus. “Bahkan kalian yang belum sampai tingkat pendekar kahyangan saja bisa tahu ke mana pria jelek ini akan menyerang.”Semua murid mengangguk.Barok mengiyakan pernyataan Asoka. Diam-diam, dari kejauhan, pemuda itu mempelajari gerakan Asoka dalam menghindar, lalu menjabarkannya pada murid-murid padepokan lainnya.Memang, melihat pertarungan dari sudut pandang penonton, terasa lebih luwes dari pada harus bertarung di dalam arena. Kesemua murid diminta memperhatikan gerakan Asoka dari jarak aman.Raden Kusuma menyunggingkan senyum puas kala mengetahui semua muridnya fokus, mengamati bagaimana gerakan kaki dan tangan Asoka saat menghindar.“Sudah, cuma itu kekuatanmu?” tanya Asoka.Suryo kewalahan.Tenaganya terus terkuras. Dia merasa dipermainkan oleh seorang bocah. “Jangan hanya berani menghindar, Bocah! La
Dalam dunia pendekar, ada empat tingkat kekuatan api. Yang terkuat adalah api hitam, sangat susah untuk dilawan ataupun dipadamkan. Dua ada api biru, kemudian merah, dan terakhir api oranye atau api biasa.Sedangkan api kuning ada di tingkatan kedua tertinggi setelah api hitam.Sebenarnya ada satu tingkatan api lagi, dan itu hanya dimiliki oleh anak dalam ramalan yang mewarisi kekuatan Bunar Kumbara tiap 400 tahun sekali.Pertarungan ini sebenarnya tidak perlu, karena sudah jelas, siapa yang keluar sebagai pemenang.Tapi mungkin, Asoka punya niat lain dia mau menuruti ego Suryo. Entah sekedar mengajari murid-murid padepokan, atau bahkan praktek langsung dasar-dasar persilatan yang selama ini hanya diajarkan secara teori.“Sebaiknya aku hentikan pertarungan ini. Asoka tidak boleh dibiarkan mengamuk. Jika amarahnya terpancing, aku bisa pastikan Suryo tumbang di tangan Asoka. Minimal kalau dia tidak mati, dia menderita luka bakar yang sangat par
“Cu-cukup... tidak perlu sampai seperti ini. Bangun, Paman. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Semua keributan sudah selesai. Bangunlah, tolong...”Asoka meraih bahu Suryo dan mengangkatnya. Sekalipun Suryo berusaha untuk tetap bersimpuh, dia kalah tenaga dengan Asoka. Keduanya saling bersalaman dan membalas senyuman.Ki Langkir Pamanang dan Raden Kusuma hanya bisa saling pandang. Kepercayaan mereka pada Asoka semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Meskipun kadang ceroboh, tapi Asoka memiliki hati yang suci.Keesokan harinya, latihan kembali digelar. Asoka menyuruh seluruh murid padepokan untuk bersantai hingga matahari sudah berada di atas kepala.Begitu terik, Asoka menyuruh mereka berbaris seperti kemarin tanpa memberitahu alasan dan manfaat dari latihan ini. Tapi sekarang, 30 menit lamanya berdiri, tidak satupun dari mereka ada yang pingsan.Setelah beristirahat, latihan kembali dilanjutkan sore harinya. Asoka diberikan ma
Asoka berbalik arah. Dia melihat ada dua orang murid sedang bercanda satu sama lain. Eskpresinya berubah, dia agak jengkel melihat tingkah dua murid muda itu, padahal dia sendiri juga masih muda.“Apa yang kalian bicarakan? Jangan bilang, kalian membicarakan diriku yang suka buat onar, suka mencari gara-gara dengan para tetua lain? Jawab, apa yang kalian bicarakan!?” Asoka tiba-tiba berada di belakang mereka.“Ti-tidak, Gu-”Ctak!Ctak!Dua pukulan mendarat hingga memunculkan benjolan kecil di kepala belakang dua murid muda itu. Tidak ada yang bersuara atau protes, mereka menerimanya, terpaksa, dengan lapang dada.Asoka berjalan menuju gubuk. Sementara di belakang, kepala dua murid tadi mengikutinya.“Apa kubilang, dia pemuda semprul. Kalian kalau ikut semprul dan tidak serius, jadinya gitu!” Barok mengingatkan, usai Asoka masuk ke dalam gubuk.“Ma-maaf, Kakang Barok, kami tidak tahu se
Mereka terus berbincang, hingga akhirnya, Asoka memasang wajah cerah, pertanda dia paham penjelasan gurunya. Dia baru paham setelah Gatra empat kali mengulang penjelasan.“Membahas tiga sahabatku tadi, mungkin ada kaitannya dengan misi Ki Seno, mengutusmu ke gunung ini. Dua di antaranya merupakan siluman kelelawar, mirip seperti Batara Wasji, penjaga gubuk zamrud hijau Ki Damardjati Sunandar.”“Berarti, aku harus melawan mereka untuk membuktikan kekuatanku?”“Lebih tepatnya, agar Ikatan Pendekar Nusantara tahu, seberapa pantasnya kau menyandang gelar sebagai penerus mustika merah. Tapi, tenang saja, Soka, kemajuanmu cukup pesat, terutama dari sisi pemahaman. Biasanya aku harus mengulang sampai delapan kali. Ini baru mengulang penjelasan tiga kali saja, kau sudah paham.”“Hihihi...”Asoka memejamkan mata usai mengetahui ke mana tujuan akhir dari latihan awal yang diberikan Ki Seno Aji. Dia tidak mencer
“Selamat pagi, Tetua Muda,” ucap Barok yang sudah tersenyum tipis di depan pintu.“Oooo... bakul daun bawang, hanggu orang tidur saja!?” Asoka membuka pintu dengan mata masih banyak belek. Dia menyuruh Barok masuk, lalu pamit menuju kamar mandi lebih dulu untuk menyuci muka.Barok hanya bisa tertawa pelan.Kalau dihitung-hitung, ada belasan, bahkan puluhan julukan yang disematkan Asoka pada dirinya. Dicatat mungkin bisa jadi nama-nama unik yang menjengkelkan!Asoka keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih cerah. “Malam tadi aku sangat suntuk, Barok. Entah kenapa, aku mengalami mimpi buruk sampai tiga kali. Mimpi yang sama, dan berulang-ulang. Tapi, anehnya, mimpi itu terasa nyata, sampai aku juga merasakan rasa sakitnya.”“Wah itu pertanda...”“Ehh, pertanda apa? Maksudmu bagaimana?” Tanya Asoka sambil mengernyitkan dahinya.“Pertanda kalau jodohmu sudah dekat.”