“Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa terkurung di sana?” tanya Asoka, sembari membersihkan luka-lukanya dengan daun binahong yang dibawa Barok.
Sedikit perih, tapi asyik.
Kekuatan kelelawar raksasa itu sedikit di bawah Batara Wasji dan Gandaru, tapi, daya bertahannya jauh lebih gila. Bahkan, serangan Asoka bisa ditahan kelelawar itu, tanpa terkecuali.
Bidadari itu tersenyum, lalu mengajak Asoka dan Barok duduk bersama di atas bebatuan tua.
“Sangat menyakitkan kalau aku mengingat kembali kejadian puluhan tahun silam, atau mungkin, empat ratus tahun silam. Entah, aku akan cerita bagian mananya.”
Dari matanya, terlihat sekali jika gadis itu sangat terpukul. Masa lalunya seperti belenggu yang bisa menghajar empati, menghancurkan batin dan perasaan, hingga mencekik diri teringat kejadian kejam kala itu.
“Meski berat, tapi, aku harus menceritakannya pada kalian karena telah membantuku keluar. Anggap lah ini sebagai ba
Rara menyuruh Asoka mendekat. Dia tahu kalau Asoka adalah sosok yang kelak akan meneruskan titah Bhagawad Gita. Itu terlihat dari tanda tiga api yang ada di leher kiri Asoka, namun tertutup lambang seperti iblis Yasa.“Ahh, siapa nama tadi, Gita atau apa?” Asoka pura-pura tidak paham. Padahal, dia sebenarnya tahu tentang Bhagawad Gita. Idola sekaligus dambaannya ketika masih menjadi murid di Perguruan Kabut Butana.“Bhagawad Gita,” lirih Rara. Dia tersenyum kepada Asoka karena dia tahu, Asoka cuma pura-pura.“Cukup! Jangan senyum lagi! Bisa-bisa aku jadi patung kalau terus melihat senyummu.” Asoka salah tingkah. Dibalik Gatra yang sangat sensitif dengan cewek cantik, Asoka pun juga sama.Memang tuan dan roh yang cocok! Sama-sama mesum, tapi sama-sama tidak kuat melihat kecantikan seorang perempuan!?“Baik, Kakang.” Rara kembali tersenyum.Seketika Asoka nggelundung dari tempat duduknya, hatinya
“Tanah itu dulunya hampir menjadi saksi bisu dari era kehancuran bumi. Tapi Bhagawad Gita tidak ingin pertumpahan darah terjadi di depan mataku. Dia melesat jauh sehingga aku aman tanpa diketahui serikat pendekar.”Asoka mengangguk. Pantas saja dia merasakan aura aneh ketika berada di tanah luas antara dua tebing tadi. Mungkin energi bekas pertarungan dulu masih tersisa walau sedikit.Singkat cerita, Bhagawad Gita tak kunjung kembali hingga ratusan tahun lamanya. Rara menyesal terlanjur menitipkan selendang itu pada sang pendekar legendaris.“Mungkin cekungan yang dibilang Raden Kusuma itu yang jadi tempat penyimpanan selendang Rara,” bisik Barok sangat pelan.Mereka berdua langsung teringat ucapan Raden Kusuma dulu. Cekungan gaib yang ada di dekat padepokan diceritakan pernah disinggahi bidadari. Walaupun hanya selendang, mungkin saja barang berharga Rara itu ada di sana.Sepakat untuk tidak memberitahu Rara terlebih dahulu
“Tiga puluh menit lagi dan aku akan memberi perintah.”Salah satu pemimpin pasukan gerilya Perguruan Elang Hitam, membawa seberkas pasukan menyusup ke sela-sela semak belukar tinggi, pepohonan rindang, dan sela pelepah pohon pisang.Malam ini purnama, hari paling cocok untuk memulai penyerangan.Artinya orang-orang dari aliran hitam akan mendapat asupan kekuatan lebih. Oleh sebab itulah, para pendekar perguruan Elang Hitam memilih hari ini sebagai hari penyerangan padepokan Ajisaka.Mereka mengincar Asoka yang telah mengalahkan Sudra dan mempermalukan nama Wusasena di hadapan seluruh perguruan di tanah Jawa.Joko memimpin pasukan sayap kiri yang menyerang dari Timur, sementara di Barat ada Rekso dengan gerombolan pemanah Elang Hitam.“Tetua Joko, Tuan Wusasena meminta kita agar menahan serangan sampai Asoka menampakkan diri.” Seorang lelaki dengan dua pedang kecil mendekati Joko.“Aku tidak peduli. Menung
Barok mengangguk paham. Di padepokan Ajisaka, mereka diajarkan jurus bola api. Siapapun yang berhasil mengembangkan jurusnya hingga menjadi api merah, maka mereka lah yang berhak diangkat menjadi tetua perguruan.Hal itu berhasil dilakukan Suryo dan Barok seorang. Sedangkan dua tetua lain adalah mantan murid Raden Kusuma saat masih menjadi Pertapa.Rara menyerahkan pedang itu pada Asoka. Asoka masih tidak percaya ada pedang sebagus ini di tanah Jawa. Keindahan yang dimunculkan Pedang Segoro Geni benar-benar membuat siapapun tertarik untuk memilikinya.Sayang, Asoka tidak begitu tertarik karena dia sudah memiliki Pedang Kalacakra pemberian Kong, teman akrabnya saat berada dalam jurang tanpa dasar dulu.Mata Barok berbinar. Dia tidak hanya kagum, melainkan ingin memiliki pedang berpendar biru dengan ukiran ombak di gagangnya. Warnanya sangat memukau.Rara menyadari ketertarikan mereka berdua. Tapi dia menangkap keraguan dalam benak Asoka. Di pinggang
Rekso menerima laporan bahwa serangan diundur sampai tengah malam. Artinya, empat jam dari sekarang mereka harus bersiap.Para pasukan pemanah menurunkan panah mereka. Busur beracun dikembalikan kembali ke tempatnya. Sementara panah yang sudah terlanjur dibakar api, dipadamkan, lalu dibuang agak jauh untuk menyamarkan bau.Ratusan pendekar aliran hitam yang mengelilingi padepokan Ajisaka tidur satu per satu. Joko berjalan ke arah Barat untuk menemui Rekso dan berdiskusi singkat.“Bagimana ini? Mereka tidak boleh tahu keberadaan kita di sini.” Joko seperti ketakutan. Wajahnya pucat mengingat adanya Langkir Pamanang di padepokan.Rekso menepuk pundak rekannya. Dia meyakinkan kalau misi ini akan berjalan lancar. “Kita sudah dilatih tuan Wusasena untuk menekan energi. Mereka pasti tidak tahu. Tenang saja, kita akan menyerbu kalau mereka lemah.”“Tapi, yang kita hadapi orang-orang terkemuka Ikatan Pendekar Nusantara. Apalag
Rara membuka peti dan menyingkirkan pakaian biru di dalamnya. Setelah berucap dengan bahasa yang tidak dipahami Asoka dan Barok, peti itu memancarkan cahaya kebiruan dan bergetar. Sedetik kemudian, peti itu kembali normal. Rara tersenyum. Dia meraih sesuatu di dasar peti. Ada sebuah kitab yang memang disembunyikan sebelumnya oleh Bhagawad Gita. Itu adalah kitab tentang dasar latihan untuk menjadi seorang pendekar pedang hebat. “Di dalamnya juga terdapat beberapa jurus Pedang Segoro Geni yang mungkin akan berguna di lain hari.” Rara berucap sambil tersenyum dan menyipitkan mata. Asoka menerima kitab itu. Sampulnya hampir sama dengan kitab kuno yang ia temukan di goa, namun warna kitab ini agak kebiruan. “Baiklah, aku akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.” “Mmm, sepertinya agak sulit untuk pemula. Tapi jika kalian bekerja keras, pasti pedang itu bisa dikuasai.” Rara menatap Barok tajam. Dia tahu kalau Barok belum pernah belajar tentang ilmu pedang
“Awas depanmu, Soka!” teriak Barok yang ternyata masih belum meninggalkan Goa Kalong.Asoka menoleh ke belakang dengan wajah merah. Dia sangat murka kepada Barok. “Kau pergilah lebih dulu! Biarkan aku yang menyelamatkan Pedang Segoro Geni.”“Tapi nyawamu lebih penting, Soka,” lirih Barok dengan wajah nanar.“Pergi atau kau kuhempaskan dengan kekuatan anginku!?” Asoka serius dalam hal ini. Matanya makin merah menyala, hingga membuat Barok gemetar ketakutan.Barok memutar badan. Dia berlari meninggalkan Asoka sendirian dalam goa. Yang ada di benaknya hanyalah, sebuah harapan agar Asoka bisa keluar dengan selamat, tak kisar apa dia berhasil menyelamatkan Pedang Segoro Geni ataukah tidak.Sambil menyingkirkan rumput tinggi di mulut luar goa, Barok menitikkan air mata. Dia sangat kesal terhadap sahabat barunya. Bagaimanapun juga, Asoka sangat egois.“Andai saja aku memiliki ilmu meringankan tu
Asoka masih tidak percaya. Dia sudah berada di luar goa.Namun, di sana, api merah sudah membakar rerumputan tinggi. Tidak ada waktu lagi untuk bertanya ataupun khawatir. Asoka harus menggunakan ilmu meringankan tubuh dan Ajian Sepuh Angin.Dalam sekejap, dia melayang melewati api merah milik Barok. Dia juga berhasil melewati jembatan gantung yang rapuh. Namun, tenaganya terkuras hebat karena terlalu banyak digunakan untuk Ajian Sepuh Angin.“Di mana Barok?” tanya Asoka kembali. Dia sepertinya lupa kalau menyuruh Barok untuk terus berlari. Yang ada di pikiran Asoka, Barok lari menjauhi Goa Kalong, lantas menunggunya di seberang jembatan.Tapi, yang dipikirkan Barok, bertolak belakang dengan pikiran Asoka.Barok beranggapan, Asoka tidak mungkin selamat dari reruntuhan goa. Belum lagi, api membara yang membakar semak belukar tinggi. Mustahil ada pendekar dengan kondisi energi terkuras, bisa selamat dari dua marabahaya itu, walau sekelas p
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As