Nyi Genit melayangkan selendangnya ke berbagai arah hingga angin tercipta dan mengacaukan ruangan. Beberapa lemari dan kendi berjatuhan ke bawah.Nyi Genit kembali menarik selendangnya sekaligus, mendengkus kesal. “Terkutuklah kalian semua, terutama kau Ganawirya! Gadis berselendang merah itu juga membuatku sangat muak! Dia langsung tahu kelemahan siluman Sora Jerit! Dia juga membuat beragam ramuan yang akan membuat para siluman kesulitan!”Nyi Genit berjalan menuju jendela, mengamati bulan yang menggantung di langit. “Bulan purnama akan terjadi dalam beberapa hari lagi. Pasukan siluman dan para pendekar golongan hitam terus bertambah dari hari ke hari, tetapi itu masih belum cukup!”Nyi Genit menoleh pada beberapa ramuan di atas meja batu. “Aku kesulitan karena tidak memiliki bawahan yang kuat dan bisa diandalkan! Danuseka, Wira, Darmasena bekerja sangat lambat dalam mengumpulkan para siluman dan para pendekar golongan hitam!”Nyi Genit mengepalkan tangan erat-erat. “Aku tidak boleh
am yang panjang akhirnya berganti pagi. Para murid terlihat berjalan dari arah sungai, berbincang mengenai keadaan semalam. Mereka bahu membahu membereskan dan merapikan gubuk tempat mereka tinggal sebelum akhirnya berduyun-duyun pergi ke ruangan makanan.Di ruangan lain, Lingga tengah bersiap pergi. Ia mengintip para murid dari jendela. “Waktu terasa sangat cepat, padahal baru saja aku tiba di padepokan ini kemarin. Meski begitu, aku senang karena bisa bertemu dengan teman-temanku.”Lingga melayangkan tendangan saat sebuah serangan muncul di belakangnya. “Ka mengejutkanku, Paman.”Limbur Kancana tersenyum, mengamati para murid sekilas. “Aku sudah mendengar ceritanya dari Ganawirya. Ini menjadi pertanda jika Nyi Genit dan para bawahannya tidak akan berhenti membuat kekacauan di rimba persilatan. Untuk itu, kau tidak memiliki pilihan selain terus berlatih agar bertambah kuat, Lingga.”“Nyi Genit pasti masih memiliki banyak rencana setelah salah satu rencananya gagal. Dua siluman Sora J
Sebuah ledakan besar dan embusan angin kencang seketika tercipta ketika serangan Sekar Sari beradu dengan serangan orang-orang berpakaian hitam.Orang-orang berpakaian hitam itu melompat mundur, melayangkan serangan dalam waktu nyaris bersamaan. Lingga dan Sekar Sari menepis semua serangan, melemparkan serangan musuh.Suasana menjadi sangat hening untuk sesaat, tetapi orang-orang berpakaian hitam itu kembali menyerang dengan sangat cepat.“Serahkan mereka padaku, Kakang.” Sekar Sari mengentak tubuh ke atas, tersenyum tipis. Gadis itu melemparkan bibit hijau dengan selendangnya ke arah lawan.Bibit hijau itu seketika berubah menjadi akar dan sulur tanaman yang menyerang dan menjerat orang-orang berpakaian hitam. Mereka menebas akar, tetapi sulur dan akar kembali tumbuh dengan sangat cepat.Bunga merah mendadak bermekaran di atas sulur. Serbuk sari berjatuhan ke arah orang-orang berpakaian hitam.Tiga orang berpakaian hitam berhasil lolos dari kepungan serbuk sari yang menidurkan sebagi
Padepokan Maung Bodas Langit sudah bersolek lembayung ketika seorang anak laki-laki baru tiba di depan sebuah padepokan. Tampak halaman bangunan itu dipenuhi murid-murid persilatan yang tengah berlatih secara berpasang-pasangan. Ketika mentari sudah sepenuhnya terlelap di ufuk barat, obor yang mengelilingi area sekitar menyala secara bersamaan. Anak laki-laki bernama Lingga itu memilih jalan samping untuk sampai ke belakang bangunan. Pandangannya bermuara pada kumpulan murid yang masih berlatih, merekam dan mencatat dalam otak semua gerakan yang ditampilkan. “Kuda-kudanya masih salah, pukulannya kurang bertenaga, gerakannya masih kaku,” gumam Lingga seperti guru yang tengah mengamati perkembangan muridnya. Beban berat yang anak itu pikul mendadak ringan, padahal ia tengah membawa tiga ikat kayu bakar di punggung, juga dua kantong besar berisi buah dan sayuran liar yang ia dapat di sekitar hutan. Lingga terus bergumam dengan pan
Malam kian menggurita di pedalaman hutan Ledok Beurit. Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memantulkan cahaya keemasan. Langit terlihat cerah dari jajahan awan. Di salah satu pohon yang tak jauh dari padepokan, Lingga tengah duduk di dahan paling tinggi. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat pekatnya Ledok Beurit. Kawasan padepokan ini memang berada di tengah hutan, jauh dari lokasi penduduk. Setidaknya butuh setengah hari agar bisa ke perkampungan terdekat. Berbekal obor kecil, Lingga mulai membuka lembaran gulungan-gulungan berisi gerakan silat yang sengaja ia gambar secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengamati isi gulungan. Namun, fokusnya justru tertuju pada pekarangan yang ramai. Malam ini, para murid padepokan akan mendapat senjata mereka masing-masing dari Ki Petot sebagai tanda kelulusan dari padepokan ini. “Aku sangat kesal setiap kali kegiatan ini berlangsung.” Lingga menutup kembali gulungan, memilih berbaring
“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut. Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka. “Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?” “Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk. “Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”
Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya b
Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid. “Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang. Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang. “Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid. “Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.” “Benar,” sambung yang lain. “Kita harus ingat kalau har