"Ya. Aku tahu. Hanya kau yang mewarisi ilmu kakekmu, sedangkan adikmu si Abiyasa itu justru berguru kepada si Kalong Tua! Tentunya Abiyasa tahu bahwa ilmu kakekmu tidak seberapa, sehingga Abiyasa memilih mencari guru lain! Jangan kau pikir aku takut kepadamu walau kamu sudah warisi ilmu kakekmu! Dulu memang aku tidak sanggup melawan ilmu kakekmu, tapi setelah sekian lama aku menghimpun kekuatan sendiri, sekarang aku merasa sanggup menungging-balikkan si monyet Patok Sewu itu!"
Ucapan itu membuat Yayi merah telinganya. Pedang yang sudah dihunus dari sarungnya sejak tadi semakin kuat digenggam dengan tangan kanan. Gadis cantik itu masih menahan diri untuk tidak menyerang lebih dulu, dan ia berkata ketus, "Demi membela kehormatan kakekku yang sudah tiada, aku pun sanggup membuatmu merangkak-rangkak pulang ke kandangmu, Nyai Gayung Demit!"
"Jangan bicara begitu, nanti nyawamu lenyap dengan cepat! Padahal aku ingin membunuhmu secara perlahan-lahan, Yayi!"
"Kau tak ak
Lalu, tiba-tiba gayung yang sudah diangkat mau dihantamkan ke tubuh pemuda itu segera diturunkan. Ia menarik napas dan menghempaskannya sambil memandang Yayi, lalu berkata penuh kegeraman, "Rasa-rasanya memang harus kutunda dulu niatku membunuhmu, Yayi! Aku tak mau orang-orang istana mengetahui bahwa kematianmu adalah akibat ulahku. Tapi ingat, suatu saat aku akan datang lagi menjemput nyawamu, Cah Ayu..! Hiaaah...!"Nyai Gayung Demit melompat dalam satu sentakan ringan. Tubuhnya terangkat naik bagaikan terbang lurus, kemudian hinggap di dahan. Setelah itu ia melompat dari dahan ke dahan, berlari meninggalkan tempat itu. Dalam waktu cepat ia telah menghilang dari pandangan mata gadis cantik itu."Aneh! Dengan gertakan ku saja dia mau pergi cepatnya. Ada apa sebenarnya? Kurasa dia pergi bukan karena gertakanku tadi!" kata Yayi dalam hati.Pemuda itu menggeliat pelan dan berusaha untuk bangkit. Yayi hanya memandanginya dengan mata tak berkedip dan dahi berkerut ta
Pada waktu itu Mahendra Soca sedang bangkit, dan tiba-tiba ia harus menerima serangan kaki Ragajampi yang melayang terbang itu.Buhgg...! Gusrakkk..!Mahendra Soca terpental lagi, jauh ke dalam semak-semak ilalang. Ia memekik tertahan dan segera dikejar oleh Ragajampi. Tetapi tiba-tiba tangan Yayi menyentak, kirimkan pukulan jarak jauhnya lewat telapak tangan, dan langsung mengenai punggung Ragajampi.Beggh..!Brusss..! Ragajampi jatuh. Temannya yang berpakaian hijau turun dari kuda mau mencabut goloknya, tapi sudah didului Yayi mencabut pedangnya yang langsung ditodongkan di depan leher orang itu."Jangan ikut campur, Sulaya..!" geram Yayi."Ehmmm... anu... saya cuma mau jaga-jaga saja," jawab Sulaya dengan perasaan takut dan bimbang."Tinggalkan dia, Ragajampi!" sentak Yayi mengancam. Ragajampi memandang ke arah Yayi dan menjadi sedikit cemas melihat pedang Yayi sudah berada di depan Sulaya."Siapa pemuda itu, Yayi?""
"Kejar dan hadapi dia. Nyai Gayung Demit lari ke timur!" kata Yayi."Bagaimana dengan dirimu sendiri?""Aku akan mencari Abiyasa dan menyeretnya pulang. Anak itu juga harus kuberi pelajaran sendiri atas kenakalannya yang pergi tanpa pamit kepadaku!" jawabi Yayi.Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Ragajampi terpaksa harus membiarkan kehendak putri adipati itu. Meski ia memendam cemburu terhadap Mahendra Soca, tapi ia tak bisa melampiaskan tanpa ada alasan kuat. Maka ia pun segera pergi ke timur bersama Sulaya, anak buahnya, untuk mengejar Nyai Gayung Demit.Setelah Ragajampi dan Sulaya menghilang dari pandangan mata, Mahendra Soca pun segera berkata! "Galak sekali orang itu!""Dia cemburu melihatku bersamamu, Mahendra!”"Apakah dia cinta padamu, Yayi?""Mungkin. Tapi aku muak padanya dan tak pernah tunjukkan sikap manis di depannya!"Mahendra Soca melangkah mengambil blandongnya, setelah itu baru berkata lagi
Daftar nama peserta yang akan menjadi penantang si Wajah Hitam sudah tertera di sebuah papan, di depan pintu masuk gedung itu. Mahendra Soca ada di sana, karena dia memang sering melihat pertarungan para peserta. Saat itu, Mahendra Soca sedang pandangi papan pengumuman nama-nama peserta, dan di dalam nama-nama itu terdapat nama Gumarang dan Abiyasa,"Kalau begitu apa yang dikatakan Yayi itu memang benar adanya," pikir Mahendra Soca dengan mulut terkatup. Kemudian ia segera bergegas menuju ke jalanan yang menanjak, tak seberapa jauh dari Rumah Busuk itu. Karena ia melihat kuda putih sedang dipacu menuju ke tempatnya berdiri. Dan kuda putih itu ditunggangi oleh seorang gadis cantik yang tak lain adalah Yayi.Mahendra Soca menyambut kedatangan gadis itu dan ingin memberitahukan bahwa nama Abiyasa memang ada di deretan nama-nama peserta."Hei, ternyata kau lebih dulu sampai di sini, Mahendra?""Ya. Karena aku tahu jalan pintas menuju tempat ini! O, ya... aku
Prok prok prok prok..!Penonton dan para tamu terhormat bertepuk tangan sambil bersorak dengan riuhnya. Hati Yayi terkejut. Matanya terbelalak. Pengawal itu berkata, "Kurasa kau percuma menghadap Brahmana Gada, adikmu sudah tampil di arena, Nona. Lihatlah!"Yayi mendesak ke tepi pagar pembatas lantai penonton. Hatinya semakin berdebar-debar melihat Abiyasa mengangkat tangannya dan menyentak-nyentakkan dengan penuh semangat, sehingga penonton lainnya berseru mengelu-elukan Abiyasa.Pemuda yang tampak sangat hijau untuk arena seperti itu, menggenggam sebuah pedang lengkung yang amat tajam. Pedang itu sebuah pemberian cindera mata dari seorang pendekar berasal dari Selat Gangga."Abi.. l Abiyasa..! Tinggalkan arena!" seru Yayi dengan tegang. Tapi seruan itu tertutup oleh suara riuh gaduhnya penonton. Dalam hati Yayi sendiri menjadi terharu melihat banyaknya penonton yang seolah-olah menjagokan Abiyasa.Sadar sudah hati Yayi, bahwa ia telah terlambat d
"Horeee..! Horeee..! Horeee..!" seru mereka bersemangat. Hampir sebagian besar mata penonton tertuju ke pintu jeruji sebelah selatan. Di sana sudah berdiri si Wajah Hitam yang kepalanya terselubung kain hitam, bertelanjang dada, mengenakan celana hitam, dan kain ikat pinggang merah. Badannya besar dengan dada lebar dan kekar.Ketika itu si Wajah Hitam tampak berdiri tegang memandangi pertarungan dengan pedang telah tergenggam di tangannya dalam keadaan belum dicabut dari sarungnya. Entah sejak kapan si Wajah Hitam berdiri di sana memperhatikan tiap pertarungan, yang jelas saat itu ia sedang jadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Yayi. Tetapi pikiran Yayi tak banyak bicara tentang si Wajah Hitam. Karena pada saat itu, Luhito segera melanjutkan ucapannya, "Perlu saudara-saudara ketahui juga, kali ini, lawan yang akan berhadapan dengan Abiyasa adalah saudara seperguruannya sendiri, yaitu Guuu... maaa... raaang...!""Huuu..!" seru mereka kegirangan, bertepuk tangan cu
Si Wajah Hitam berdiri tegak dengan pedang lurus ke atas di depan wajahnya. Pedang itu mempunyai ketajaman di dua sisinya dengan bagian ujungnya runcing. Pedang itu digenggam dengan dua tangan yang berotot kekar. Di pergelangan tangan si Wajah Hitam kenakan gelang kulit berwarna hitam pula.Tubuhnya yang kekar itu tampak berkeringat dan menjadikan tubuh itu mengkilap. Abiyasa bergerak pelan mengitari si Wajah Hitam dengan pelan-pelan. Semua penonton diam tak ada yang berkata sepatah kata pun. Napas kedua orang yang bertarung itu saja yang terdengar oleh mereka.Abiyasa mencari kelengahan, sementara si Wajah Hitam diam mematung di tengah arena dengan pedang lurus ke atas di depan dada. Ketika Abiyasa sampai di belakang si Wajah Hitam, tiba-tiba Abiyasa menyerang dengan cepat.Wuttt..!Pedang ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi si Wajah Hitam menangkis pedang Abiyasa dengan kepala melengkung sedikit ke belakang.Trangng..!Pedang Abiyasa terta
Mereka berhenti di bawah pepohonan rindang di hutan tepi sungai. Ki Argapura meminjam pedang milik Yayi, sebab ia tidak membawa apa-apa ketika berangkat menuju kadipaten. Sambil memegang pedang dengan kedua tangannya, Ki Argapura berkata, "Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau tentang dengan mata hatimu! Karena pedang yang sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam, dia akan bergerak dengan sendirinya mendului apa yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang tersalur di dalamnya tidak perlu berlebihan. Gerakannya pun tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Pelan, tapi cepat dan pasti!"Wuttt.. !Ki Argapura menggerakkan pedang itu ke depan, seperti orang membacokkan sesuatu dengan golok. Saat pedang bergerak menebas ke depan, kaki kirinya maju menghentak.Jlegg..!"Ini namanya jurus 'Rembulan Menebas Bintang',
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu