Wussh...!
Pendekar Kera Sakti tahu lawannya ada di sebelah kiri, jaraknya tak sampai empat tindak karena ia menyerang dengan senjata. Setidaknya tongkat El Maut yang punya jarak tak lebih dari tiga langkah. Maka dengan cepat Pendekar Kera Sakti menggunakan pukulan 'Sekat Nadi' jarak jauh yang dapat menotok jalan darah lawan di bagian mata kakinya. Jari tangan Pendekar Kera Sakti disentilkan beberapa kali dan pukulan 'Sekat Nadi' jarak jauh meluncur cepat bertubi-tubi setinggi tak lebih dari satu jengkal di atas permukaan tanah.
Tabb tab tab tab tab... dub!
Kena!
Pendekar Kera Sakti merasakan pukulannya mengenai mata kaki lawan. Lalu ia membuka matanya dan ternyata wujud yang menghilang dari pandangannya tadi sudah berada di depannya dalam nyata. Berdiri dengan kerudung hitam dari kepala hingga kakinya, menggenggam tongkat panjang berujung sabit sedikit lengkung. Itulah senjata pusaka El Maut.
Orang berwajah putih dengan bibir biru dan mata memandan
"Aku mengagumi jurus itu, karena... karena...," suaranya makin pelan, kepalanya makin terkulai tunduk. Matanya terpejam pelan-pelan, sementara punggungnya tetap bersandar pada batu di belakangnya. Baraka jadi kerutkan dahi kuat-kuat."Matikah dia...!" pikir Pendekar Kera Sakti dengan merasa aneh. Terdengar suara dengkur yang samar-samar dari mulut yang masih tetap terkatup rapat itu. Baraka makin terkesiap melihat lawannya tertidur. Lalu, segera ia teriakkan suara menyentak penuh kejengkelan hati, "Bwana Sekarat!""Hai...!" sahut lawannya yang tertidur dengan suara malas-malasan."Lepaskan topengmu!" sentak Baraka. Ada rasa sesal yang menjengkelkan setelah tahu orang itu adalah Ki Bwana Sekarat yang menyamar sebagai Siluman Selaksa Nyawa.Dalam, keadaan tertidur, Ki Bwana Sekarat melepaskan topengnya sesuai perintah Baraka. Wajahnya terlihat jelas sebagai wajah Ki Bwana Sekarat yang termasuk orang konyol menurut pandangan Baraka. Orang itu bahkan tetap te
Buggh...! Srappp...!Rasa panas menyerang tubuh seketika. Baraka berguling ke belakang dan mencoba mengatasi rasa sakitnya itu dengan menahan napas. Matanya menatap ke sana-sini dengan liar. Tak ada bentuk manusia penyerang yang dilihatnya. Tak ada gerakan yang dapat dirasakan mendekat. Pendekar Kera Sakti terpaksa pejamkan mata untuk tingkatkan kepekaan inderanya. Tapi, baru saja ia pejamkan mata, tiba-tiba, crasss...!Dadanya bagai dirobek oleh benda tajam yang tak terlihat bentuknya. Baraka berdarah, ia terpental ke belakang, dan cepat berguling sambil seringaikan wajah menahan sakit. Luka itu cukup dalam dan panjang, mengucurkan darah segar yang membasahi rompinya.Tiga pukulan tenaga dalam dilepaskan Baraka ketiga arah.Wuttt... wuttt... wuttt...!Tapi tak satu pun ada yang mengenai sasaran selain batu-batu tak bersalah. Bahkan ia tiba-tiba terkena luka di ujung pangkal pundaknya. Luka tebasan yang menyerempet tipis itu timbulkan darah kembali
Clappp...!Ia menghilang dari pandangan siapa saja. Baraka ingin mengejarnya, tapi suara Cendana Wilis terdengar, "Gusti Manggala...! Jangan kejar dia! Sebaiknya kembali ke Pulau Mayat! Gusti Betari Ayu datang, ingin bicara!""Katakan pada Nyai Betari Ayu, aku sedang mengejar Siluman Selaksa Nyawa!""Tapi, Gusti Manggala... tunggu dulu...!"Clappp...!Pendekar Kera Sakti menghilang setelah mengusap keningnya dengan tangan kiri. Ia mengejar lawannya yang melarikan diri ke alam gaib. Mereka hanya bisa terbengong dan saling membisu seketika.Ki Bwana Sekarat segera berkata, "Sudahlah! Biar dia mengejar orang sesat itu! Sebaiknya aku yang mewakili Gusti Manggala untuk menemui Nyai Betari Ayu...!"Ki Bwana Sekarat melangkah. Tapi kepalanya terkulai kembali dan suara dengkur tipis terdengar, ia tidur sambil menuju ke kapal.-o0o-PAKAIAN kuning gading membuat wajah cantiknya menjadi lebih anggun lagi. Dengan ramb
"Monyet busuk!" caci Barong Geni. "Rupanya kau telah menotok jalan darahku di bagian kedua tangan ini dengan kekuatan senyumanmu, hah! Kau telah kuasai ilmu 'Sungging Betari' dari Begawan Sangga Mega itu! Baik! Aku tak mudah menyerah, Intan Selaksa! Kutunjukkan padamu bahwa aku pun tetap mampu melawanmu walaupun kau menguasai ilmu 'Sungging Betari'! Hiaaah...!"Barong Geni sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melesat terbang dengan berkelebat menendang kepala Intan Selaksa.Wusss...!Intan Selaksa menangkis tendangan itu dengan sentilan dua jarinya.Tass...!Kaki itu bukan hanya tertahan, namun juga terlempar ke arah lain dengan satu sentakan kuat.Bregggh...!Barong Geni jatuh dengan tangan tetap kaku pada posisi semula, yang kiri di depan dada, yang kanan di atas kepala. Intan Selaksa cepat menjauhkan diri dengan satu lompatan ringan ke arah samping. Senyumnya semakin mekar melecehkan jatuhnya Barong Geni. Yang merasa dileceh
"Tidak. Ini urusan perguruan, Gincu Mayat! Kau tak bisa ikut campur! Biarlah aku yang hadapi kebo busuk itu!""Intan, aku pernah kau tolong dari maut, sekarang aku pun perlu menolongmu dari maut, supaya impas sudah hutangku padamu!""Anggap saja kau telah melunaskan hutangmu padaku dengan mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba giliranku untuk menggempurnya!"Tapi Gincu Mayat berkeras hati dan segera menyingkirkan tubuh Intan Selaksa dari depannya. Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi Barong Geni. Tangan Barong Geni yang kanan masih di atas kepala, dan yang kiri masih di depan dada. Ke mana pun ia melangkahkan kaki, dan dalam keadaan bagaimanapun, tangan itu tetap saja kaku begitu. Hal itu dijadikan bahan ejekan oleh Gincu Mayat."Kau ini seorang penari ronggeng atau seorang pendekar, Barong Geni! Atau jangan-jangan kau pemain topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana-mana dengan tangan begitu! Hi hi hi...!""Tutup mulutmu, Perempua
"Aku mencari tempat untuk menyerangmu!" Jawab Barong Geni. Pada saat Barong Geni bicara begitu sambil melayangkan pandang kepada Intan Selaksa, tiba-tiba Gincu Mayat melepaskan pukulan tenaga dalam yang keluarnya dari jari tengah tangan kanan.Zuuttt...! Hijau warna sinar yang keluar itu, dan telak menghantam punggung Barong Geni.Zrappp...!"Aahg...!" Barong Geni mendelik dengan wajah menegang karena kaget dan tubuhnya melengkung ke depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya, lalu menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di lututnya. Cepat-cepat Barong Geni menekan napasnya kuat-kuat. Tubuhnya sampai gemetar karena kerahkan tenaga dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang akan membakar dirinya."Gggrrr...!" Barong Geni mengerang dengan kaki makin merenggang rendah dan tangannya gemetaran. Peluh pun keluar dari tiap pori-pori tubuhnya. Matanya berusaha memandang sekelilingnya untuk hindari serangan tiba-tiba dari kedua perempu
"Tua bangka! Tak perlu kau banyak bicara lagi, terimalah jurus pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"Wutt, wuttt...!Pedang berkelebat dua kali, lalu kaki Panji Tampan disentakkan ke tanah dan melesat terbang tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan lurus bagai hendak menusuk mata Barong Geni. Maka, Barong Geni pun cepat menghindarkan diri ke samping, dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke samping.Wungngng...!Begitu cepat, begitu rapat hampir menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang itu menimbulkan dengung yang memekakkan telinga. Barong Geni menggulingkan badan, kemudian kakinya menyentak ke atas dengan penuh gelombang tenaga dalam yang dilepaskan lewat telapak kaki itu.Wusssh...! Crasss...!Pedang Panji menebas mengenai sinar putih yang melesat dari telapak kaki itu. Benturan sinar pedang timbulkan letupan api yang memercik ke kaki Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan Barong Geni cepat singkirkan kakinya da
"Jadi kau tak bisa kalahkan Intan Selaksa!""Bukan tak bisa, Dewi! Aku terpaksa melarikan diri karena Gincu Mayat ikut campur dalam urusan ini!""Gincu Mayat...!" Dewi Kelambu Darah agak terkesiap matanya, lalu menyipit benci. "Berani-beraninya dia ikut campur urusanmu? Apakah dia tak tahu bahwa kau calon suamiku?""Dia tahu persis! Bahkan dia tahu bahwa aku datang ke Kuil Swanalingga untuk mencari Pedang Guntur Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa jadi tahu tujuanku sebenarnya!"Menggeram mulut Dewi Kelambu Darah sambil geletakkan giginya, ia mengencangkan genggaman tangannya. Lalu ia bertanya, "Jadi, bagaimana dengan pedang pusaka itu? Kau belum berhasil mendapatkannya!""Untuk sekarang memang belum," jawab Barong Geni. "Tapi untuk waktu mendatang, Pedang Guntur Biru pasti akan kudapatkan dan kupersembahkan padamu, Kelambu Darah!""Ingat, kalau kau tak cepat memberikan pedang pusaka itu, berarti masa bulan madu kita tertunda lagi!
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern