Baraka ucapkan kata lagi kepada Hantu Laut, "Seharusnya kau memang menjalani hukuman mati karena dosamu terlalu banyak. Tapi menurutku, lebih baik mati kejahatanmu daripada mati jiwamu. Karena mati jiwa tidak bisa menebus dosa, tapi mati kejahatanmu bisa membuatmu punya kesempatan menebus dosa! Dan sekarang ini kau sebenarnya sedang menjalani hukuman dari dosamu, yaitu menjadi pembela kebenaran dan pelindung kebaikan, itulah hukuman yang harus kau jalani seumur hidupmu, Hantu Laut!"
Belum selesai Pendekar Kera Sakti bicara, perahunya kembali terasa diguncangkan oleh suatu kekuatan tenaga dalam yang membuat ketiga orang itu hampir terlempar ke laut. Baraka cepat perintahkan kepada Dewa Racun.
"Lacak suara yang ada di sekitar sini, Dewa Racun!"
Maka, Dewa Racun yang punya keahlian menyadap pembicaraan dari jarak jauh itu segera pejamkan mata dan kedua telunjuknya menekan pelipis kanan kiri. Si kerdil berpakaian putih bulu itu berdiam diri beberapa saat. Kejap beri
"Pulau apa ini namanya, Dewa Racun?"Hantu Laut yang ada di belakang Baraka menyahut, "Namanya Pulau Padang Peluh!"Pendekar Kera Sakti palingkan wajah kepada Hantu Laut, "Kau pernah datang ke pulau ini?""Ya. Sewaktu mengantar pertarungan Tapak Baja dengan Nagadipa, murid Iblis Pulau Bangkai. Tapak Baja berhasil hancurkan Nagadipa hanya dengan tiga jurus.""O, jadi Nagadipa telah mati?""Mungkin saja mati," jawab Hantu Laut. "Sebab, sebelum jelas kematiannya, Nagadipa telah diserobot oleh tokoh tua yang punya ilmu lebih tinggi dari Tapak Baja, lalu Nagadipa dibawanya lari. Tapi menurut Tapak Baja, lawannya itu pasti mati karena ia menyebarkan racun ganas di dalam tubuh Nagadipa!"Tertegun Baraka mendengar kabar itu. Ia sangat kenal dengan Nagadipa, karena orang itu memang musuhnya. Nagadipa sebenarnya musuh bebuyutan Setan Bodong, Guru-nya Pendekar Kera Sakti. Nagadipa selalu berusaha membalas kematian gurunya Iblis Pulau Bangkai, yang dika
"Ya, aku tahu. Tapi mengapa dia bilang bicala dua kali!"Dayang Selatan cepat serukan kata, "Hantu Laut, katakan di mana Dadung Amuk belada!""Aku sudah katakan tadi, Dayang Selatan!""Katakan yang sebenalnya!" bentak Dayang Selatan. Hantu Laut kebingungan, ia memandang ke arah Pendekar Kera Sakti, tapi waktu itu Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun sedang kasak-kusuk."Sebenalnya! Maksudnya, sebenalnya!""Diii... dia... dia ternyata cadel! Tak bisa sebutkan huruf 'R'.""Tapi mengapa baru sekarang dia cadel? Sejak tadi bicaranya lancar-lancar saja. Namaku saja disebutnya dengan lancar""Kar... kar... karena omongannya sejak tadi tidak memakai huruf 'R'. Dia bisa hindari huruf 'R', sehingga tak kelihatan cadelnya! Tapi aku bingung juga, kenapa menyebut namamu dia tidak cadel""Tunggu, aku sepertinya pernah bertemu dengan tokoh cadel. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, Peri Malam pernah punya guru yang cadel bicaranya, yaitu Mawar
Anak buah Tua Rakus bermaksud menghancurkan perahu layar hijau, tetapi usaha mereka selalu dapat digagalkan. Dan satu hal yang membuat Dewa Racun, Hantu Laut, serta Baraka terheran-heran adalah kemunculan lawan Tua Rakus dari perahu layar hijau.Ternyata bukan sosok Dadung Amuk seperti dugaan Hantu Laut, melainkan dua anak muda kembar rupa, yaitu Doma Damu. Mereka menggunakan perahu milik Dadung Amuk dalam perjalanan menuju Pulau Beliung. Tetapi bertemu dengan kapal Bajak Naga di perjalanan dan terjadilah pertempuran itu, sebab kapal Bajak Naga memang bermusuhan dengan kapal Siluman Selaksa Nyawa. Entah apa yang menyulut api pertarungan lebih dulu, yang jelas mereka bertarung dengan sengit, walau dengan jumlah tak seimbang, dua melawan lebih dari sepuluh."Siapa dua anak kembar itu?" tanya Pendekar Kera Sakti kepada Dewa Racun. Tetapi, Hantu Laut yang segera beri jawaban, "Mereka Doma dan Damu, pengawal pribadi sang ketua yang ilmunya paling tinggi dari sekian banyak a
“Dengan dibekali pusaka saja, sudah menandakan ciri yang amat penting dari tugas yang diembannya, apalagi sekarang yang turun tangan adalah Doma Damu sendiri, itu berarti ada tugas yang maha penting dari seluruh tugas lainnya!"Percakapan mereka terhenti karena melihat Doma semburkan api panas membara kepada salah seorang anak buah Tua Rakus. Orang tersebut menjadi terbakar sekujur tubuhnya dan berteriak-teriak kelimpungan.Walau sudah merendam dalam air laut, tapi nyala api masih berkobar, ia akhirnya mati hangus seperti empat orang lainnya."Bah... bah... bahhh... bahaya sekali! Bahaya sekali mulut kedua anak kembar itu!" kata Dewa Racun entah kepada siapa.Kini tinggal empat orang berdiri menghadapi Doma dan Damu. Mereka adalah Raja Tebas, Wisoguno, Dampu Samak, dan Tua Rakus sendiri. Mereka menghentikan pertarungan sejenak, karena Tua Rakus serukan kata kepada ketiga orangnya yang tersisa,"Mundur kalian! Munduuur...!"Tua Rakus be
"Heaaat...!" Wisoguno bersalto di udara sambil kibaskan senjata goloknya yang lebar itu. Tapi Damu yang diserangnya bersalto mundur dua kali, kemudian dengan lutut merendah satu ke tanah Damu sentakkan cerminnya dan dari cermin itu keluar sinar hijau bertubi-tubi. Hantaman terlihat jelas ke tubuh Wisoguno. Sinar hijau itu membungkus Wisoguno yang telah mendaratkan kakinya di atas sebuah batu. Sinar hijau itu membuat si Wisoguno tidak bisa bergerak maupun berteriak.Kejap berikut, sinar hijau itu lenyap. Tapi Wisoguno telah menjadi putih bagai diliputi salju. Salju itu makin lama makin mencair bersama hilangnya bentuk wujud Wisoguno. Di sisi lain, Tua Rakus berhasil menghantamkan pukulannya ke arah dada Doma. Dada itu menjadi berasap dan Doma jatuh dengan tubuh kejang-kejang.Sebelum menghembuskan napas terakhir, saudara kembarnya segera melompati tubuh Doma. Kejap lainnya, Doma kembali bangkit berdiri dalam keadaan segar seperti semula, ia berdiri berdampingan dengan D
"O, benar! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak perlu jauh-jauh memburunya, ternyata dia ada di sini!""Mungkin sedang mencari tempat untuk perlindungan diri sewaktu-waktu ia terdesak oleh kita!""Cepat, kejar dia sebelum mencapai perahunya!"Hantu Laut semakin ketakutan melihat Doma Damu mengejarnya. Dewa Racun menggeram gemas sambil pukulkan tangannya ke paha."Bod...! Boood...! Bodoh! Bodoh amat anak itu!""Cepat kita bertindak, dia dalam bahaya!" kata Pendekar Kera Sakti sambil lebih dulu melesat, lalu Dewa Racun menyusulnya.Gerakan lari Doma Damu pun cukup cepat. Dalam waktu singkat keduanya sudah sampai di belakang Hantu Laut. Damu berseru, "Berhenti! Atau kusembur kau dengan 'Bromo Seribu Api'!"Mendengar jurus 'Bromo Seribu Api' yang amat ganas itu disebutkan, Hantu Laut pun cepat hentikan langkahnya, ia merasa tak akan mungkin bisa berlari jauh jika 'Bromo Seribu Api' itu telah disemburkan. Karena sifat jurus 'Bromo Seribu Api'
"Tahan semua serangan!" seru Baraka, baik ditujukan kepada kedua temannya maupun kepada kedua lawannya. Ia bermaksud membicarakan masalah itu secara baik-baik, tanpa melalui pertarungan.Buat kedua teman Pendekar Kera Sakti hal itu bisa diterima, tapi bagi kedua musuh kembarnya, hal itu tak bisa diterima. Damu segera sentakkan cermin ke atas dan keluarkan sinar hijau ke arah Baraka, sedangkan Doma juga sentakkan cerminnya ke atas dan memantulkan sinar merah menyerang Pendekar Kera Sakti. Pendekar Kera Sakti agak kebingungan menghindarinya. Tubuhnya limbung ke kanan dan ke kiri seperti kera yang sedang menari. Tapi dalam kejap berikutnya ia sudah terpental terbang ke atas dan bersalto dua kali ke arah depan hingga melintasi kepala Hantu Laut. Dua sinar itu menghantam batu, dan batu setinggi dua tombak itu hancur menjadi kepingan-kepingan salju."Cepat sembunyi!" sentak Baraka kepada Hantu Laut. Maka dengan lompatan kuatnya, Hantu Laut mencapai celah dua batu besar. Pend
"Kita mendarat!" seru Pendekar Kera Sakti kepada Hantu Laut yang pegang kemudi di haluan. Tapi karena Hantu Laut yang berkepala gundul dan bertubuh besar tanpa mau memakai baju itu telinganya rada tuli, maka ia pun segera menyahut, "Siapa yang mau kirim surat!""Kita mendaraaat....!" teriak Pendekar Kera Sakti dari bawah tiang layar."O, mendarat! Baik!"Baraka segera turunkan layar perahu, ia berseru lagi kepada Hantu Laut, "Hati-hati, ada karang di depan!""Apa? Ada kerang delapan!""Ada karang di depaaaan...!""O, ada karang. Iya! Aku belum buta! Menurutmu di mana letak karang itu? Di depan atau di belakang kita?" seru Hantu Laut.Pendekar Kera Sakti kesal hati dan tidak menyahut lagi. Langit gelap karena mendung. Kilat menembus gumpalan hitam itu lalu menggelegar di langit bagai ingin turunkan hujan badai. Melihat cuaca murka begitu, Dewa Racun cepat berseru kepada Pendekar Kera Sakti dan Hantu Laut yang habis menambatkan perahuny
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern