Sejak berusia enam belas tahun, si Tua Rakus sudah mempunyai kesenangan memperkosa perempuan. Sampai seusia sekarang, kegemaran itu masih berkelanjutan. Cukup banyak perempuan di wilayah timur yang menjadi korban keganasan nafsu si Tua Rakus itu. Dan agaknya ia sedang melarikan diri dari kejaran dendam seseorang yang merasa dirugikan oleh kegemaran memperkosanya itu.
Bukan hal aneh lagi jika si Tua Rakus tak mau kedipkan matanya ketika melihat Dayang Selatan melesat di atas belarak, atau pelepah daun kelapa kering.
Bukan ketinggian ilmu Dayang Selatan yang menjadi pusat perhatian si Tua Rakus, melainkan kecantikan dan bentuk tubuh Dayang Selatan yang membuat mata si Tua Rakus lupa berkedip. Bahkan lidahnya beberapa kali menyapu bibirnya yang sudah mulai dihinggapi keriput pada bagian sudut dan tepiannya.
"Waduuuk...!" serunya memanggil sang anak buah.
Orang kurus yang berjuluk Waduk Kebo itu cepat menyahut dari samping haluan dan segera berlari menghadap
"Kenapa dia?" tanya si Tua Rakus.Salah seorang dari mereka yang berkerumun menjawab, "Mungkin mengantuk!"Memang keadaan Waduk Kebo seperti orang mengantuk. Tunduknya kepala dengan terkulai lemas, juga kedua tangannya yang bagai tak bertulang lagi itu. Tetapi mata si Tua Rakus segera menyipit curiga. Ia melihat ada kepulan asap di kedua pundak Waduk Kebo. Cepat-cepat ia memeriksa pundak itu dengan membuka sebagian baju Waduk Kebo."Jahanam...!" si Tua Rakus menggeramkan suara dengan mata terbelalak lebar, ia melihat kulit pundak kanan-kiri Waduk Kebo itu melepuh biru. Bagian tengahnya sedikit mengeluarkan busa yang berasap. Tiba-tiba tubuh Waduk Kebo itu rubuh ke depan.Brukk...!Semua orang yang memandang segera sentakkan badan mundur ke belakang. Waduk Kebo terkulai tak berkutik. Si Tua Rakus semakin belalakkan mata dengan dahi berkerut kuat. Lalu, ia cepat berdiri dan palingkan wajah beringasnya setelah memeriksa sebentar keadaan Waduk Kebo. De
"Heaaa...!" Mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan melompat menyerang Dayang Selatan.Wuurrr...! Dayang Selatan segera lompat dengan berpegangan pada seutas tambang layar yang menggantung. Dengan tambang itu, ia laksana terbang di atas kepala orang-orang yang menyerangnya secara bersamaan.Dalam keadaan melayang begitu, Dayang Selatan kelebatkan tangannya seperti orang menaburkan sesuatu dengan cepat. Lalu dari tangan itu keluarlah ratusan ekor kunang-kunang. Kunang-kunang itu jatuh dan hinggap di kepala mereka, sehingga kepala mereka menjadi berpijar-pijar nyala hijau kekuningan. Mereka seperti memakai mahkota, dan kelihatan indah. Namun beberapa kejap berikutnya mereka saling menjerit, berteriak kesakitan, bahkan saling berguling-gulingan di lantai geladak.Ratusan kunang-kunang itu meresap masuk di kepala mereka bagai bersarang ke dalam kepala. Setiap satu kepala, jumlahnya lebih dari lima puluh kunang-kunang. Dan kepala mereka menjadi bengkak, kulit
Hantu Laut ditaklukkan Pendekar Kera Sakti, dan kini justru menjadi pelayannya Baraka, yang siap membantu dalam perjalanan laut. Karena Hantu Laut memang lebih menguasai tentang kelautan ketimbang Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun. Sedangkan Singo Bodong, orang yang selama ini digembar-gemborkan sebagai kembarannya Dadung Amuk, lebih memilih tinggal di Pulau Beliung, karena Ratu Pekat ingin mengangkat Singo Bodong sebagai muridnya. Singo Bodong yang polos dan tidak mempunyai ilmu kanuragan sedikit pun itu, merasa lebih senang mendapat ilmu dan menjadi muridnya Ratu Pekat, ketimbang mengikuti Pendekar Kera Sakti ke Puri Gerbang Kayangan di Pulau Serindu, tanpa ada kepastian kapan ia akan bisa menjadi seorang pendekar. Singo Bodong memang sangat berkeinginan untuk menjadi seorang pendekar seperti Baraka.Sejak Hantu Laut tidak lagi memiliki Pusaka Tombak Kematian, niatnya untuk memberontak dan mengalahkan Siluman Selaksa Nyawa menjadi batal. Bahkan ia selalu dibayang-
"Iiyyy... iya, iya... aku ingat!" jawab Dewa Racun dengan bersemangat. "Sugali itu nama asli Singo Bodong, dan... dan... dan dia bilang ibunya sering sebut-sebut nama Arjuna sebagai ayah Singo Bodong, dan dijuluki Siluman oleh ibunya Singo Bodong, karena sang Arjuna itu tak pernah punya waktu tetap untuk menjenguk ibu Singo Bodong yang bekas... beka... bekas sinden zaman dulu!""Kalau begitu, Singo Bodong itu kakak beradik dengan Dadung Amuk, hanya lain ibu tapi satu bapak!" ujar Baraka menyimpulkan keterangan itu."Tap.... tapi mereka seperti anak kembar saja?" kata Dewa Racun.Hantu Laut segera menyahut, "Menurut keterangan Begawan Sangga Mega, Rawana Baka adalah anak kembar. Ia mempunyai kakak yang namanya aku tak ingat, tapi yang jelas dia sendiri yang bunuh kakaknya! Dia tak mau ada orang yang menyamainya, baik ilmunya maupun ketampanannya.""O, bisa jadi darah keturunan kembarnya ada di wajah Singo Bodong dan Dadung Amuk!" kata Pendekar Kera Sakti.
Gemetar sekujur tubuh Baraka mendengar nama Eyang Purbapati dan Nini Galih adalah kakek dan neneknya Siluman Selaksa Nyawa. Padahal Eyang Purbapati dan Nini Galih adalah gurunya si Setan Bodong dan Dewi Pedang. Sedangkan Pendekar Kera Sakti adalah murid dari Setan Bodong. Tapi selama menjadi murid mereka, Baraka tidak pernah mendengar cerita tentang kutukan hidup sesat dari Eyang Purbapati kepada Rawana Baka. Apakah si Setan Bodong merahasiakannya, atau memang tidak tahu? Jika si Setan Bodong tidak tahu, mengapa Hantu Laut yang sebagai budak Kapal Neraka, orang bawahannya Tapak Baja, bisa mengetahui urutan silsilah tersebut? Mengapa Hantu Laut bisa hafal semua nama dan kejadian leluhur Siluman Selaksa Nyawa? Benarkah ia mampu mengingat segala yang pernah didengarnya dari Begawan Sangga Mega?Hantu Laut berdebar cemas ketika Pendekar Kera Sakti melangkahkan kaki mendekatinya. Kemudian Pendekar Kera Sakti menepuk-nepuk pundak Hantu Laut sambil ucapkan kata, "Lupakan tentang sik
Baraka ucapkan kata lagi kepada Hantu Laut, "Seharusnya kau memang menjalani hukuman mati karena dosamu terlalu banyak. Tapi menurutku, lebih baik mati kejahatanmu daripada mati jiwamu. Karena mati jiwa tidak bisa menebus dosa, tapi mati kejahatanmu bisa membuatmu punya kesempatan menebus dosa! Dan sekarang ini kau sebenarnya sedang menjalani hukuman dari dosamu, yaitu menjadi pembela kebenaran dan pelindung kebaikan, itulah hukuman yang harus kau jalani seumur hidupmu, Hantu Laut!"Belum selesai Pendekar Kera Sakti bicara, perahunya kembali terasa diguncangkan oleh suatu kekuatan tenaga dalam yang membuat ketiga orang itu hampir terlempar ke laut. Baraka cepat perintahkan kepada Dewa Racun."Lacak suara yang ada di sekitar sini, Dewa Racun!"Maka, Dewa Racun yang punya keahlian menyadap pembicaraan dari jarak jauh itu segera pejamkan mata dan kedua telunjuknya menekan pelipis kanan kiri. Si kerdil berpakaian putih bulu itu berdiam diri beberapa saat. Kejap beri
"Pulau apa ini namanya, Dewa Racun?"Hantu Laut yang ada di belakang Baraka menyahut, "Namanya Pulau Padang Peluh!"Pendekar Kera Sakti palingkan wajah kepada Hantu Laut, "Kau pernah datang ke pulau ini?""Ya. Sewaktu mengantar pertarungan Tapak Baja dengan Nagadipa, murid Iblis Pulau Bangkai. Tapak Baja berhasil hancurkan Nagadipa hanya dengan tiga jurus.""O, jadi Nagadipa telah mati?""Mungkin saja mati," jawab Hantu Laut. "Sebab, sebelum jelas kematiannya, Nagadipa telah diserobot oleh tokoh tua yang punya ilmu lebih tinggi dari Tapak Baja, lalu Nagadipa dibawanya lari. Tapi menurut Tapak Baja, lawannya itu pasti mati karena ia menyebarkan racun ganas di dalam tubuh Nagadipa!"Tertegun Baraka mendengar kabar itu. Ia sangat kenal dengan Nagadipa, karena orang itu memang musuhnya. Nagadipa sebenarnya musuh bebuyutan Setan Bodong, Guru-nya Pendekar Kera Sakti. Nagadipa selalu berusaha membalas kematian gurunya Iblis Pulau Bangkai, yang dika
"Ya, aku tahu. Tapi mengapa dia bilang bicala dua kali!"Dayang Selatan cepat serukan kata, "Hantu Laut, katakan di mana Dadung Amuk belada!""Aku sudah katakan tadi, Dayang Selatan!""Katakan yang sebenalnya!" bentak Dayang Selatan. Hantu Laut kebingungan, ia memandang ke arah Pendekar Kera Sakti, tapi waktu itu Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun sedang kasak-kusuk."Sebenalnya! Maksudnya, sebenalnya!""Diii... dia... dia ternyata cadel! Tak bisa sebutkan huruf 'R'.""Tapi mengapa baru sekarang dia cadel? Sejak tadi bicaranya lancar-lancar saja. Namaku saja disebutnya dengan lancar""Kar... kar... karena omongannya sejak tadi tidak memakai huruf 'R'. Dia bisa hindari huruf 'R', sehingga tak kelihatan cadelnya! Tapi aku bingung juga, kenapa menyebut namamu dia tidak cadel""Tunggu, aku sepertinya pernah bertemu dengan tokoh cadel. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, Peri Malam pernah punya guru yang cadel bicaranya, yaitu Mawar
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern