Pada waktu prajurit itu belum tiba di istana, Singo Bodong sudah hampir membawa lari tombak pusaka tersebut. Tapi ketika ia didesak terus untuk memainkan satu jurus tombak oleh Hantu Laut, dan ia kibaskan tombak itu dengan sembarangan, Hantu Laut sempat terpental dan Singo Bodong pun cepat melepaskan tombak itu. Karena dari ujung tombak keluar sinar kilat biru yang segera melesat dan mengenai sebuah pohon.
Pohon itu langsung hancur dari ujung sampai akarnya. Singo Bodong yang kaget, juga terpental karena ledakan pohon, dan tombaknya terlepas jatuh. Bahkan hampir-hampir kilatan cahaya biru itu mengenai Cempaka Ungu yang bersembunyi tak jauh dari pohon yang meledak itu. Karena takutnya, Singo Bodong gemetar dan segera mengambil tombak itu lalu menyerahkannya kembali kepada Hantu Laut sambil berkata dalam kepolosan asli Singo Bodong. "Mmma... maaf, aku tidak sengaja! Sungguh aku tidak sengaja, Hantu Laut! Ak... aku... aku tidak tahu kalau benda ini bisa keluarkan cahaya biru pet
Orang-orang yang mengerjakan perbaikan Kapal Neraka itu berhenti bekerja. Mereka memandangi suatu ketegangan yang terjadi di bawah pohon kelapa yang meliuk agak rendah ke pantai. Ketegangan itu terjadi antara Hantu Laut dan Gagak Neraka. Sedangkan Tabib Akhirat dengan dinginnya berdiri agak jauh dari mereka."Aku mendengar kabar kurang enak dari seseorang tentang dirimu, Hantu Laut!""Kabar tentang aku beranak!""Kabar kurang enak!" tegas Gagak Neraka."O, kabar kurang enak! Ya, mungkin saja!""Kau membunuh Tapak Baja?""Betul! Aku yang membunuhnya!""Kau mau memberontak kepada sang ketua?""Betul! Aku akan membunuh sang ketua!" jawab Hantu Laut tanpa tedeng aling-aling lagi, artinya secara blak-blakan dia berkata apa adanya."Sayang sekali sikapmu berbalik begitu, Hantu Laut! Padahal aku baru mau usulkan pada ketua untuk mengangkat kamu menjadi pengawal pribadiku!""Aku tak sudi! Mau apa kau!" tantang Hantu Laut.
Keringat banyak mengucur dari tubuh Tabib Akhirat, sementara itu, Cempaka Ungu segera dibawa lari oleh Ratu Pekat ke istana. Di perjalanan, Cempaka Ungu berkata, "Ibu, aku tak kuat lagi...!""Kuatkan anakku! Kuatkan! Ibu akan sembuhkan kamu dengan batu Galih Bumi...!"Tapi alangkah kecewanya Ratu Pekat, karena begitu tiba di istana, sebelum ia mengambil air yang akan dipakai merendam batu Galih Bumi dan diminumkan kepada Cempaka Ungu, ternyata gadis itu sudah menghembuskan napasnya yang terakhir.Ratu Pekat tak dapat berteriak dan mengucap kata apa pun. Tapi wajahnya menjadi merah dan nafsu untuk membunuh Hantu Laut menjadi berkobar besar.-o0o-Ratu Pekat segera kembali ke pantai untuk bikin perhitungan dengan Hantu Laut. Tak ada gentar sedikit pun pada diri Ratu Pekat. Mati pun ia siap demi menebus kematian anaknya.Di pantai, ternyata Tabib Akhirat merasa tak sanggup bertahan melawan Hantu Laut. Lukanya makin parah, ia harus
"Majulah kalau kau berani! Tombak ini akan menghantam kepalamu menjadi remuk!"“Tombak yang mana!" tanya Pendekar Kera Sakti dengan senyum makin lebar.Hantu Laut yang merasa masih memegang tombak dan diputar-putarkan di kepalanya itu menjadi tersentak kaget setelah ia melihat ke tangannya, ternyata sudah tidak memegang tombak lagi. Hantu Laut kebingungan memandang sekeliling dan berkata, "Mana tombakku tadi? Lho... mana tombakku!"Terdengar suara tawa Dewa Racun yang ada di belakang Hantu Laut. Dewa Racun bahkan berkata, "Ap... ap... apa yang kau cari, Gundul? Un... un... undur-undur atau kerang laut!""Diam kau, Bangsat! Aku mencari tombak pusakaku!"“Tak perlu dicar... car... cari! Tombakmu sudah musnah oleh ilmu ‘Tabir Ghaib’ milik anak muda tampan itu!"Hantu Laut cepat palingkan wajah kepada Baraka."Mana tombak pusakaku tadi, hah!"Baraka menjawab dengan tenang, "Sudah kumakan!"Ha
“Tentu saja sak... sak... sakit...! Tapi kala kau lukai orang lain, kau tidak memikirkan bahwa hal itu menyakitkan orang tersebut!""Ampunilah aku...! Tolonglah aku! Aku tidak akan bersikap seperti yang sudah-sudah! Aku telah sadar, bahwa ketinggian ilmu apa pun masih tetap ada yang bisa mengalahkan dan mengunggulinya...! Tolonglah aku, Pendekar Kera Sakti! Aku akan mengabdi padamu jika kau mau menolongku!""Aku tidak suka berteman dengan orang keji," kata Pendekar Kera Sakti."Ak... aku... aku tidak akan berbuat keji lagi! Aku... tobat!" Hantu Laut tundukkan kepala menahan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Wajah dukanya itu disembunyikan dengan penuh kepasrahan.Baraka melihat kepasrahan itu begitu tulus, kemudian ia berkata, "Kuberi kau kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakumu selama ini! Jika kau tak mampu perbaiki tingkah lakumu, terpaksa aku tak mau peduli lagi dengan nyawamu!""Ba, ba, baaaik... baik! Beri aku kesempatan sat
"Wenar juga afa katamu, kafal tidak wergerak! Fadahal wanyak angin, layar fun werkemwang wagus!""Wagus, wagus!" omel Nakhoda Salju. "Periksa sekitar kapal, siapa tahu ada yang lego jangkar!""Waik, waik...!" kemudian Sumbing Gerhana memeriksa buritan dan sekitarnya, ia melihat jangkar masih ada di tempatnya, tidak bergerak turun."Dayuuung...!" teriak Sumbing Gerhana."Dayuuung...! Kafal tidak wergerak! Ayo, lekas dayuuung...!"Tarr...! Tarrr...!Sumbing Gerhana melecutkan cambuknya. Maka, dua puluh budak tanpa baju segera mendayung kapal itu dengan serempak. Mereka ada di kanan kiri kapal, duduk di tempat pendayung.Para budak pendayung paling takut jika Sumbing Gerhana marah. Cambukannya lebih sering ngawur.Sumbing Gerhana tak pernah pikirkan cambukannya mengenai hidung atau mata mereka, yang penting dengan melecutkan cambuk dan membentak-bentak, itu adalah tugas utama baginya, disamping menjaga keamanan sekitar geladak kap
Semua mata tertuju pada tamu tak diundang itu. Bahkan Sumbing Gerhana sempat ternganga mulutnya karena bengong melihat sesuatu yang mengagumkan, juga para pengintai di atas tiang itu memandang tak berkedip. Ada pula yang bersuit dan menggoda dari sisi lain. Para pendayung serentak hentikan gerakan dayungnya dan tertegun memandang perempuan cantik yang muncul bagaikan setan.Perempuan itu tampak cantik luar biasa, ia berpakaian penutup dada warna hijau dengan hiasan benang emas yang ketat dengan bentuk pinggang sampai dadanya yang montok itu. Ia juga mengenakan celana hijau beludru ketat berhias benang emas. Pakaian itu dirangkapi baju jubah warna biru muda transparan terbuat dari sutera halus. Rambutnya sebagian digulung kecil di atas kepala, tapi bagian belakang dan sisanya dibiarkan terurai panjang sebatas punggung, ia mengenakan mahkota emas kecil sebagai penghias bagian depan rambutnya, juga mengenakan kalung lempengan emas berhias mutiara susun dua, juga gelang keroncong
"Mana Siluman Selaksa Nyawa yang menjadi ketua kalian! Aku mau beltemu dengan dia!" jawab Dayang Selatan dengan bahasa cadel, tak bisa sebutkan huruf 'R'."Ada perlu apa kau ingin bertemu dengan sang ketua?""Itu ulusanku!""Aku harus tahu, karena aku nakhoda di kapal ini! Aku bertanggung jawab atas keselamatan jiwa para penumpang dan awak kapalku!""Jangan banyak mulut, Nakhoda Salju! Kau tak akan bisa belnapas lagi jika kesabalanku habis!" ancam Dayang Selatan."O, kau mau menggertakku, Dayang Selatan?" kata Nakhoda Salju dengan mata tajam memandangnya. "Ketahuilah, Dayang Selatan... aku orang yang tidak pernah mempan dengan gertakan ataupun ancaman! Aku tahu kau punya ilmu, tapi aku bisa ukur ilmumu tak akan lebih dari ilmu yang kumiliki!"Tiba-tiba Dayang Selatan menggenggam jari tengahnya sendiri, sementara ketiga jari lainnya mengeras lurus. Jempol tangan itu menekan kuat jari tengahnya, dan Nakhoda Salju cepat-cepat sentakkan tanganny
"Sekalang sudah menjadi milikku! Si Lalang Buana sudah tak ada!" jawab Dayang Selatan dengan rasa bangga.Wajah Siluman Selaksa Nyawa tetap dingin dan datar saat ia berkata, "Tapi ilmu 'Jemari Mayat'-mu itu tidak berlaku untukku, Dayang Selatan. Jadi, sebaiknya cepatlah minggat dari kapalku sebelum murkaku tiba dan mencelakakan jiwamu!""Aku tidak akan pelgi, sebelum Dadung Amuk kau selahkan padaku, atau kaugantung dihadapanku!""Dadung Amuk tidak ada di sini. Dia belum pulang!""Kalau begitu, aku halus pastikan kebeladaannya di kapal ini dengan cala menggeledahnya!""Bangsat!" teriak Nahkdoa Salju yang cepat bergegas maju. Ia menuding Dayang Selatan dengan geram kemarahan. "Tak kuizinkan kau menggeledah kapal ini! Karena itu sama saja kau menginjak-injak wibawa dan kehormatan orang-orang di kapal ini!"Plakkk...!Tiba-tiba tangan Damu berkelebat dan menampar mulut Nakhoda Salju. Orang berusia sekitar lima puluh tahunan itu tak berani
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern