“Bagaimana bisa?”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ini gila! Apa yang terjadi?!”
Beragam komentar bermunculan diantara penonton yang masih terperangkap dalam rasa kagetnya.
Sementara itu, Baraka dengan tenang terus berjalan kearah Kazikage, seakan-akan tidak terjadi apa-apa dalam beberapa waktu yang lalu.
“Kau bilang. Kecepatan adalah seni tertinggi dalam ilmu beladiri. Huh! Pengetahuanmu terlalu dangkal. Di atas langit masih ada langit, diatas kecepatan masih ada yang lebih tinggi, yaitu insting dalam pertarungan” jelas Baraka hingga membuat wajah Kazikage berubah.
“Insting dalam pertarungan...” Kazikage sampai harus mengulangi apa yang baru saja Baraka ucapkan.
“Lebih baik kau menyerah, kau tidak akan menang” ucap Baraka dengan sinis.
Kazikage menggeram penuh kemarahan, harga dirinya benar-benar telah dipermalukan oleh seorang pemuda yang menurutnya tadi, sangat mudah untuk dikalahkan. Kazikage bangkit kembali berdiri dengan wajah beringasnya.
“Sudah kubilang, hari ini. Kalau tidak kau yang mati, aku yang akan mati!” bentak Kazikage dengan hatinya yang keras.
Baraka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kekeras-kepalaan lawannya. Kazikage sendiri terlihat kembali menghimpun kekuatannya.
Zlaap...!
Kedua mata Kazikage tiba-tiba saja membesar, saat melihat lawannya tiba-tiba saja menghilang, belum lagi hilang rasa terkejutnya, Kazikage kembali dikejutkan karena tiba-tiba saja sosok lawannya sudah berdiri tepat didepannya.
Cepat sekali!
PLAK!
Satu tamparan keras kembali menghempaskan sosok Kazikage.
Zlaap...!
Kembali sosok Baraka menghilang dalam pandangan setiap orang.
PLAK!
Sosok Kazikage yang masih terhempas terbang, kembali menerima tamparan keras oleh Baraka dengan punggung tangannya, hingga kembali menghempaskan sosok Kazikage.
Zlaap...!
PLAK!
Begitu seterusnya yang terjadi, sosok Kazikage terus dihempas terbang oleh tamparan Baraka. Kemanapun sosok Kazikage terhempas, kesana sosok Baraka menantinya. Sosok Kazikage seperti balon yang tengah dipermainkan oleh seorang anak-anak yang terus dihempaskan kesana kemari.
Zlaap...!
PLAK!
Bahkan sebelum tubuh Kazikage menyentuh tanah. Dirinya sudah kembali dihempaskan terbang.
“HENTIKAN!” tiba-tiba saja Kazikage berteriak dengan keras seraya mengangkat tangannya keatas, sebagai tanda dirinya menyerah. Baraka yang ada dihadapannya dengan tangan terangkat pula, sudah siap untuk menghempaskan kembali sosok Kazikage dengan tamparannya. Tapi melihat Kazikage menyerah, Baraka menghentikan tindakannya.
Sosok Kazikage benar-benar menyedihkan. Tersuruk dibawah telapak kaki Baraka dengan wajah yang sudah bengkak seperti ikan buntal. Sungguh mengenaskan sekali nasib Tuan Muda dari Kekaisaran Matahari tersebut.
“Kenapa?! Bukankah tadi kau bilang ingin mati! Apa sekarang kau menyerah! Sungguh memalukan” kata-kata Baraka membuat semua orang yang ada ditempat itu gempar.
Sombong!
Arogan!
Mendominasi!
Sungguh luar biasa! Mungkin itu kata-kata yang pantas disematkan untuk Baraka saat ini. Bahkan dalam pandangan Malagha. Sosok Baraka benar-benar sangat gagah dengan kharisma seorang Tuan Muda.
Tak dapat dibayangkan bagaimana perasaan Kazikage saat ini. Rasa benci dan malu bercampur menjadi satu dan hal ini bisa menimbulkan rasa nekat di diri seseorang. Inilah yang melandasi pemikiran Kazikage, melihat sosok lawannya begitu dekat dengannya, niat membunuh Kazikage menyeruak, tidak peduli bagaimana tanggapan orang-orang dengan tindakan pengecut yang dilakukannya. Saat ini dendam membara telah menyeruak didalam hatinya.
Sayang, Kazikage tidak mengetahui kalau hasrat membunuhnya yang besar telah dirasakan oleh Baraka. Maka ; “Mati kau! Khaa...!”
PLAK!
Belum lagi Kazikage menyelesaikan ucapannya untuk menyergap lawannya dalam jarak dekat. Tiba-tiba saja satu tamparan keras kembali membuat tubuhnya terbang. Kali ini hempasan tubuhnya sangat jauh hingga mencapai tempat dimana rombongannya berada. Bahkan beberapa orang pengikutnya yang mencoba menahan hempasan tubuhnya sampai ikut terhempas jatuh.
Selanjutnya sosok Kazikage terlihat terkapar tak sadarkan diri, wajahnya benar-benar bengkak lebih besar dari ikan buntal. Dari mata, hidung, telinga dan mulut. Semuanya mengeluarkan darah.
Seorang laki-laki berperawakan gagah yang memang sejak awal berada di rombongan Kazikage, dengan serta merta mendekati sosok Tuan Muda Kazikage, wajahnya yang semula memancarkan aura yang sangat luar biasa, kini terlihat panik melihat keadaan Tuan Muda Kazikage. Dia adalah orang kepercayaan Tuan Muda Kazikage yang dipercaya oleh Kekaisaran Matahari. Namanya Tn. Kinshiki.
Lelaki ini terlihat segera memeriksa keadaan Tuan Muda Kazikage dan terlihat dia menarik nafas lega saat merasakan Tuan Muda Kazikage masih hidup. Bila sampai Tuan Muda Kazikage sampai tewas dalam pertarungan, maka nyawanyapun akan ikut melayang sebagai bentuk pertanggung jawabannya kepada Kekaisaran Matahari.
Hal ini yang tadi sempat membuatnya panik. Setelahnya, Tn. Kinshiki memerintahkan orang-orangnya untuk segera membawa sosok Tuan Muda Kazikage untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Tuan Muda Kazikage harus segera mendapatkan perawatan, jika tidak. Keadaannyapun akan sangat berbahaya. Tapi baru beberapa langkah mereka mau beranjak pergi.
“Siapa bilang, kalian bisa pergi seenaknya dari tempat ini!” sebuah suara terdengar menggema ditempat itu.
Semua perhatian langsung beralih kearah asal suara, termasuk Tn. Kinshiki dan rombongannya. Ternyata suara itu berasal dari sosok, Baraka.
Tn. Kinshiki sendiri kini menatap Baraka dengan tatapan penuh kebencian. Lalu dengan tenang dia membalikkan tubuhnya kearah Baraka.
“Apa maumu, anak muda? Bukankah sudah cukup kau mempermalukan Tuan Muda Kazikage. Kekaisaran Matahari pasti tidak akan tinggal diam dengan masalah ini” kata Tn. Kinshiki dengan dingin. Aura dahsyatnya merembes keluar dari tubuhnya, membuat semua orang yang ada ditempat itu bergidik.
Beberapa orang yang ikut bersamanya, tampak meraih katana yang ada dipinggang mereka. Bersiap menerima perintah, bila Tn. Kinshiki memerintahkan mereka untuk membunuh Baraka.
“Kau kira aku perduli. Kekaisaran Matahari tidak ada apa-apanya bagiku” kata Baraka dengan sombong.
Huff..!
Hampir saja semua orang ditempat itu memuntahkan darah dari mulut mereka melihat kearogansian Baraka. Bahkan Tn. Kinshiki sendiri mengerutkan kening dengan mata yang berkedut. Baru kali ini ada orang yang tidak takut mendengar nama Kekaisaran Matahari.
Tn. Kinshiki sendiri bukanlah orang sembarangan, di Kekaisaran Matahari, Tn. Kinshiki memiliki kedudukan yang cukup penting. Yaitu sebagai penasehat Kekaisaran Matahari. Kedudukan ini tentu saja bukannya sekedar didapatnya dari kemampuannya berdiplomasi, tapi juga karena kemampuan beladirinya yang sudah dianggap sangat tinggi. Bahkan hampir setingkat dengan Raja Perang.Dalam seni beladiri di Kekaisaran Matahari, ada beberapa tingkatan dalam tingkatan seni beladiri, yaitu : Raja Senjata, Raja Perang dan yang paling tinggi, tingkatannya disebut sebagai Dewa Perang. Jadi dengan status Raja Perang, kemampuan beladiri Tn. Kinshiki dianggap cukup mumpuni.“Jangan memaksakan keberuntunganmu, anak muda. Ada pepatah dari negeri ini, mulutmu adalah harimaumu. Kesombonganmu akan menjadi senjata makan tuan untukmu” ucap Tn. Kinshiki dengan dingin.“Ha ha ha...! Kau ini tidak punya otak, atau memang mati otak. Sudahlah tinggal menumpang di negeri kami, malah memakai pepatah negeri kami. Apa negeri
LANGIT MALAM tebarkan bintang dan rembulan di sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan muda-mudi untuk taburkan kasih kemesraannya. Bahkan pasangan tua berhati muda pun tak segan-segan lepaskan rayu dan canda menggelitik di sela-sela hati mereka.Mendadak kabut berjingkat dari celah bongkahan tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin menebal, lalu membungkus setiap celah tanah berdaun rumput. Bukit mulai diselimuti kabut. Langit sedikit dipulas rona hitam awan. Rupanya tadi telah melesat cahaya hijau berekor. Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang melintasi perbatasan langit bermega hitam. Warna hijaunya terang dan mencolok mata para penghuni bumi.Wuusshh...!Angin mulai menunjukkan keperkasaannya, hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat. Warna hijau cerah berekor panjang di langit bagai semakin dilemparkan dari sisi satu ke sisi lainnya. Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju perbatasannya yang tak pasti. Para tokoh tua saling berl
Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati Iblis yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Rawana Baka. Tiba-tiba tidak disangka-sangka kaki kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu melesat ke arah dada si kakek.Bukkkk!“Uggghhh!”Sang Utusan Para Dewa menjerit keras. Tubuhnya terpental tiga tombak, terbanting jatuh punggung pada sebuah batu besar dan dari mulutnya menyembur darah kental!"Mengapa aku bertindak lengah! Belum mati jahanam itu rupanya!” keluh si kakek. Memandang ke depan dilihatnya Rawana Baka terbungkuk-bungkuk berusaha bangkit berdiri.Walau dadanya serasa hancur si kakek cepat bangun. Tangan kirinya digerakkan. Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk menyala. ”Kali ini harus kuputus lehernya! Harus kutanggalkan kepalanya!”Si kakek berkomat kamit sambil putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api bergetar, meliuk-liuk laksana sosok ular hidup. Begitu dia menyentak maka cambuk api itu melesat ganas ke udara, mengeluarkan suara menggidikkan disert
Gunung Asmoro terlihat berdiri dengan angkernya malam itu, sebuah gerobak yang ditarik kuda berbulu putih belang coklat itu berhenti di depan bangunan besar yang mirip candi diatas puncak gunung asmoro. Saat itu di penghujung malam menjelang pagi. Perempuan tua yang duduk di samping pemuda sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan besar. Di depan pintu bangunan dia hentikan langkah, memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya.Perempuan tua itu ludahkan gumpalan sirih dan tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya."Apa aku datang terlambat Yudha?""Belum mak. Keadaannya gawat sekali. Aku khawatir”Perempuan tua itu tidak menunggu sampai lelaki bernama Yudha menyelesaikan ucapannya. Dengan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung menuju ke sebuah kamar dari dalam mana terdengar suara erangan berkepanjangan.Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah. "Yudha! Kegilaan apa yang aku lihat ini! Siapa yang mengikat
Pada saat sang jabang bayi hendak nongol dari rahim sang ibu, hujan deras disertai dengan amukan badai cukup dahsyat. Lebih dari tiga puluh pohon tumbang, puluhan batu menggelinding dari ketinggian, kilatan cahaya petir ikut menghujani gunung itu. Badai mengamuk hanya di puncak gunung, sedangkan di kaki Gunung Asmoro hanya terjadi angin kencang biasa-biasa saja. Bahkan hujannya tak terlalu lebat.Kabutpun hadir membungkus puncak Gunung Asmoro. Tebal sekali, seperti selimut domba. Puncak Gunung Asmoro bagai lenyap ditelan langit. Kilatan cahaya biru menggelegar menyambar-nyambar puncak gunung itu."Oaaa...! Oaaa.. ! Oaaa. !"Akhirnya, suara tangis bayi itu pun terdengar melengking tinggi. Seakan ingin mengalahkan deru badai dan ledakan guntur di sana-sini. Tangis sang bayi menggetarkan dinding-dinding batu, seolah-olah bangunan candi itu akan runtuh karena getaran suara si jabang bayi. Bahkan dari puncak hingga kaki gunung terjadi getaran hebat, sepertinya gunung itu akan meletus atau
SEMILIR ANGIN MALAM menghembuskan udara yang terasa sangat dingin ketika seorang wanita cantik tengah membuka pakaian warna merah yang dikenakannya. Rambutnya yang semula digelung dengan tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal itu membuat kecantikan Dewi Salindri kian bertambah nyata.Tanpa sepengetahuannya, seseorang dengan mata tak berkedip mengintip tubuhnya yang kuning langsat dan menggairahkan. Lelaki itu berulang kali menelan ludah serta menahan napas dengan mata jalang."Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau Wasesa sampai mabuk kepayang kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang Dewi benar-benar mempesona," gumamnya dengan gairah yang bergejolak.Ketika ia tengah asyik mengintip tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya yang tak mampu menahan getaran birahi tanpa disengaja membentur sesuatu.Krak!Kegaduhan kecil itu membuat Dewi Salindri yang tengah mengganti pakaian tersentak dan terburu-buru mengenakannya kembali. Mata cantiknya memandang lekat pada dinding bilik rumahnya, sedangkan pen
Orang yang memanggul harpa tertawa. Wajahnya yang sesungguhnya tampan, dengan tajam memandang Sepasang Pendekar Golok Sakti yang juga kakak-kakak seperguruannya. Kemudian, pandangannya diarahkan pada Dewi Salindri yang semakin sengit melihat tatap mata nakal itu, sehingga napasnya turun-naik. Matanya melotot penuh kebencian."Wasesa, masih belum jerakah kau?" tanya Dewi Salindri dengan bentakan marah.Ucapan itu tidak menjadikan Wasesa takut. Malah, lelaki berpakaian serba merah itu tergelak-gelak hingga matanya berlinang air mata."Ah, mana mungkin aku jera sebelum mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti?"Usai berkata demikian, Wasesa memandang taman-temannya sambil tergelak-gelak. Sehingga teman-temannya turut tertawa."Kau benar-benar keras kepala, Sudah kukatakan, bahwa kitab itu tidak ada pada kami Lagi pula, jangan bermimpi untuk mendapatkan kitab itu" bentak Dewi Salindri gusar. Kemarahannya sudah tidak dapat lagi dibendung.Dibentak begi
"Kubunuh kau, Wasesa..." bentak Dewi Salindri sengit. Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Dewi Salindri segera menyerang dengan tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu gencar, membuat golok di tangannya bagai menghilang. Ke mana pun Wasesa menghindar, golok di tangan Dewi Salindri mengejarnya. Keadaan itu membuat Wasesa agak kerepotan juga."Hebat.. Rupanya ilmu golokmu semakin lama semakin bertambah maju, Dewi...," puji Wasesa sambil tertawa terkekeh, membuat perempuan itu semakin bertambah panas. Karena ia tahu kalau ucapan Wasesa hanyalah sebuah ejekan kepadanya."Jangan banyak bacot. Terima seranganku ini..." Dewi Salindri semakin mempercepat serangannya. Golok di tangan kanannya berkelebat cepat, menimbulkan sinar putih keperakan yang bergulung cepat mengejar Wasesa.Menghadapi serangan gencar dari Dewi Salindri, Wasesa yang tidak memakai senjata mau tak mau harus mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk berkelit ke sana kemari.Sebuah sodokan gag
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu, "Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan!"Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
Pendekar Kera Sakti manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Kera Sakti."Ada maling!"Baraka berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih, "Kau mendengar degub jantungnya?""Tidak.""Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "A
Tawa pun terdengar pelan. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut, "Ini rumahmu, Baraka?""Bukan.""Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa.Baraka tersenyum sambil menjawab. "Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek.""Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya.Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Baraka pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya."Baraka....""Ada apa?""Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Baraka!” Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil meng
"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!""Setan Bangkai.""Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo itu, hah! Masih ingat!""Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas."Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga tanpa tawa."Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka Cula!""Ya!""Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!""Silahkan!""Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab pertanyaanku!""Katakan.""Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu! Mana Logayo!""Sudah
Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah.Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetes pun."Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya