"Memang itulah akibat yang harus diterima bagi orang yang tak pernah mau mengenal perdamaian," ujar Raja Maut. "Aku tak salahkan dirimu. Kau hanya sebatas melindungiku. Karena kau tahu keadaanku sedang lemah, tak mungkin mampu melawan jurusnya tadi. Aku berterima kasih padamu, Baraka! Biar kujelaskan sendiri pada si Setan Bodong, gurumu itu, mengapa kau membunuh Kiswanti."
Baraka memandang jauh dalam lamunan sesalnya. Pantai Pulau Blacan terlihat jelas dan akan dilewatinya. Baraka diam tanpa bicara apa pun. Raja Maut segera mendekati dan bicara dengan hati-hati.
"Baraka, aku harus mengambil Kitab Sukma Sukmi di pulau itu. Maukah kau menungguku mengambilnya, agar aku bisa pulang menumpang perahumu?"
Napas Baraka ditarik dalam-dalam. "Ambillah, setelah itu jagalah agar Kitab Sukma Sukmi yang berisi jurus-jurus maut dan ilmu 'Tarian Mayat' itu jangan sampai jatuh ke tangan orang sesat lagi."
Raja Maut yang berjubah abu-abu itu tersenyum ceria. Pendekar Kera
Dugaannya benar, ada orang bersembunyi di balik pohon itu. Orang tersebut tak sengaja terpekik karena tak menyangka akan kejatuhan dahan sebesar lengan. Anehnya orang itu masih saja tidak mau keluar dari persembunyiannya, rupanya ia bertahan untuk tidak menampakkan diri dan segera menutup mulutnya dengan tangan. Baraka mau meninggalkan orang itu dan tidak peduli dengan serangan tadi. Tetapi baru saja ia balikkan tubuh, tiba-tiba dari arah kirinya melesat dua benda kecil warna putih terpantul sinar matahari. Benda itu adalah dua senjata rahasia yang dilemparkan dari balik dua pohon berjajar rapat.Ziing, ziing...!Dua tangan Baraka segera berkelebat menangkap dua senjata rahasia tersebut dalam gerakan melebihi kecepatan layang senjata itu sendiri.Sleb, sleb...! Sekali lagi dua senjata itu mampu ditangkap dengan jepitan jari-jemarinya. Ternyata senjata itu berbentuk bintang segi enam yang runcing dan berbau amis. Itu tandanya senjata tersebut mempunyai kadar racu
Semua diam, seakan saling berserah diri untuk menjelaskan. Lawa Abang segera berseru kepada si muka runcing, "Jelaskan sekalian, Musang Hitam!"Maka orang berwajah runcing dan berkulit hitam itu pun berkata tegas. "Kami adalah orang-orang yang tergabung dalam Partai Bayaran. Kami dibayar untuk dapatkan pusaka Keris Setan Kobra yang kau rampas dari Ki Empu Sakya itu, Baraka.""Kalian salah duga," kata Baraka dengan masih kalem. "Bukan aku yang membunuh Ki Empu Sakya, dan aku tidak mempunyai keris pusaka itu!""He, he, he, he...!" Musang Hitam terkekeh sinis."Kepada orang lain kau boleh mengaku begitu, Anak Muda. Tapi kepada kami kau tak bisa berkata begitu. Karena kami tak pernah punya rasa segan untuk mencacah dan merajang-rajang tubuh orang yang bermaksud menipu kami, Baraka!"Dengan mata menatap Musang Hitam yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, Baraka berkata tegas pula."Kalian salah sasaran! Carilah pembunuhnya. Jangan termakan h
Slaaap...!Sebutir bola besi putih berukuran sebesar biji salak dilemparkan oleh gadis itu. Tangannya bergerak sangat cepat ketika mengambil bola besi putih dari balik bajunya dan melemparkannya ke depan nyaris tak terlihat gerakannya. Bola itu tak sempat dihindari dan ditangkis, tahu-tahu sudah masuk ke mulut Lawa Abang.Bluuss...!Kontan tawa orang itu diam. Matanya mendelik. Lehernya dijulurkan. Rupanya bola besi itu menyumbat tenggorokan dan tidak bergerak turun. Dari luar terlihat bentuknya yang menonjol sedikit lebih besar dari jakunnya. Lawa Abang mendelik, mau menelan susah, mau dimuntahkan susah.Dan anehnya golok yang ada di tangannya sejak mau menyerang Baraka itu tiba-tiba berkelebat menempel lehernya.Plaaak...! Golok itu menempel dan sulit dilepaskan. Lawa Abang tak bisa berseru meminta tolong pada Musang Hitam, karena tenggorokannya tersumbat dan tak mampu keluarkan suara. Namun Musang Hitam yang terheran-heran itu segera membantu me
BARAKA sengaja biarkan gadis berwajah mungil manis berkulit hitam bersih itu memandanginya dengan tajam, Pendekar Kera Sakti memang tidak terpancing kemarahannya, tapi Rindu Malam sebagai pengagum Pendekar Kera Sakti merasa tidak suka dengan sikap sinis gadis itu. Rindu Malam mengambil tempat di depan Baraka, seakan siap menjadi pelindung jika gadis berambut panjang itu menyerang sewaktu-waktu."Apa mau mu menyerang kami, hah!" gertak Rindu Malam."Aku benci dengan seorang pendekar yang mengkhianati sahabat sendiri!""Apa maksudmu!""Pemuda sinting itu membunuh sahabatnya sendiri yang tidak pernah menyakiti hati siapa pun. Ia mencuri keris pusaka sahabatnya dengan licik!"Sekalipun Rindu Malam merasa kurang enak mendengar ucapan itu, tapi ia tak berani cepat-cepat lanjutkan kata. Ia diam sebentar, dan Baraka segera perdengarkan suara, "Siapa kau sebenarnya. Nona Manis?""Aku Srimurti, murid Raja Maut!" jawabnya dengan ketus sekali."O
Senyum Raja Maut kian melebar. "Kita duduk di depan gubukku sana saja!" ajak Raja Maut. Baraka tak menolak. Mereka bergegas menuju pelataran pondok beratap sirap. Di sana ada pohon rindang tapi rendah, seperti payung peneduh di waktu siang, di bawahnya ada tiga batu berpermukaan datar. Di atas batu itu mereka duduk dan bicara."Aku ikut prihatin dengan kabar yang mencemarkan nama baikmu, Baraka." Raja Maut bicara dengan mata memandang sekeliling, seperti memasang kewaspadaan tinggi, seakan begitulah sikapnya jika berada di tempat yang ingin digunakan untuk bicara hal-hal bersifat rahasia."Aku sendiri tak menduga kalau kau akan dikecam olah para tokoh dunia persilatan dengan tuduhan membunuh sahabatku, yang juga sahabat gurumu itu.""Tapi aku tidak melakukannya, Raja Maut. Kau tahu sendiri, belakangan ini aku sedang bepergian dan bahkan pulangnya sempat bertemu denganmu di Pulau Blacan!""Kutinggalkan pulau ini selama sembilan hari," kata Raja Maut. "Aku
"Aku baru mendengar nama itu," potong Baraka dengan terpaksa karena merasa heran dan asing sekali dengan nama Kalatandu.Maka Raja Maut pun jelaskan maksud kata-katanya. "Kalatandu adalah cucu Empu Sakya. Termasuk muridnya juga. Tapi karena Kalatandu sebenarnya anak dari mendiang Nini Tandu, kakak perempuan Empu Sakya yang baru separo bagian turunkan kesaktiannya kepada Kalatandu, maka Kalatandu sendiri bertekad mengembara mencari pembunuh ibunya setelah mendapatkan hampir seluruh ilmu dari Empu Sakya. Entah sekarang Kalatandu sudah berhasil menemukan pembunuh ibunya atau belum, entah ada di mana, yang jelas kalau dia, si Kalatandu itu mendengar kematian Empu Sakya di tanganmu dan mendengar bahwa keris pusaka itu juga ada di tanganmu, dia akan mengamuk dan mencarimu. Menurutku, maaf..., kau kalah tinggi ilmunya dengan Kalatandu."Mata pendekar tampan berajah naga emas melingkar itu tidak berkedip memandangi wajah Raja Maut yang bicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan di
Sama-sama dalam wilayah Bukit Semberani, tapi jarak antara pondok Raja Maut dengan gua yang sekarang dipakai tempat tinggal Pelangi Sutera itu cukup jauh. Puncak dengan dasar. Namun Baraka dapat menempuhnya dalam waktu cepat karena mampu bergerak melebihi anak panah. Sayangnya ia harus berhenti ketika mau injakkan kakinya di dataran pasir pantai.Baraka cepat rapatkan badannya pada sebuah pohon. Matanya mengintai dari sana. Bocah berusia sepuluh tahun sedang berlari-lari dengan wajah tegang."Angon Luwak...!" gumam Baraka dengan heran."Mengapa ia berlari ketakutan begitu? Oh, ternyata ia dikejar dua ekor kuda!"Angon Luwak memang dikejar dua ekor kuda. Penunggangnya dua lelaki yang sama sekali tak imbang jika harus bertarung melawan bocah sekecil Angon Luwak. Satu dari penunggang kuda itu telah dikenal oleh Baraka. Lelaki muda berpakaian mewah itu tak lain adalah Raden Udaya, putra adipati yang pernah menghadang perjalanan Baraka karena menganggap Mega D
Sebenarnya Pendekar Kera Sakti mengetahui gerak-gerik bocah yang mengikutinya itu, tapi Baraka sengaja berpura-pura tidak mengetahui dan membiarkannya. Karena ia mengakui bahwa di dalam jiwa Angon Luwak telah bangkit semangat kependekaran yang sebenarnya perlu dibina sejak sekarang. Sayangnya Baraka tidak punya waktu, sehingga ia hanya bisa membiarkan jiwa kependekaran itu berkembang dalam diri Angon Luwak dengan cara mengikuti segala gerak dan langkahnya.Tentu saja Angon Luwak ikut berhenti ketika langkah Baraka pun tak dilanjutkan. Langkah Baraka terhenti karena dari empat pohon muncul empat sosok yang saling berloncatan dengan gerak-gerak liar dan beringasnya. Angon Luwak cepat sembunyikan diri dan mengintai kejadian yang akan terjadi antara Pendekar Kera Sakti dengan keempat sosok berwajah angker itu.Rupanya dari keempat sosok berwajah angker itu masih punya satu orang lagi yang bersembunyi dari balik pohon, kira-kira dua puluh langkah di depan Baraka. Orang ters
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!
"Apa bahaya itu?""Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."Baraka berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal, maksudmu?""Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat.""Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal?"Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang."Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
Tak ada jawaban. Ilmu ‘Ilmu Menyadap Suara Angin’ digunakan. Ternyata memang tak ada suara siapa-siapa ditempat itu. Akhirnya Baraka duduk di salah satu tepi danau itu."Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."Sesaat kemudian di hati Pendekar Kera Sakti timbul kecemasan yang samar-samar. "Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"Pikiran Baraka sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa ked
Jaaab...!Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-rumputnya rontok dan mengering kecoklatan."Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari Baraka tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget."Hahhh...!"Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Baraka yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu."Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut."Tapi dapatkah kau tetap bertahan den
Baraka ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani."Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!""Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!""Apa maksud kata-katanya?" pikir Baraka setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Baraka segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Baraka rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting."Uuhg...!"Bruuk...!"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya
"Sangat kebetulan sekali kita bertemu di sini, Baraka," kata si Jantung Dewa. "Sesungguhnya adalah hal yang paling sulit menemui Pendekar Kera Sakti yang sedang banyak dibicarakan oleh kalangan tokoh tua belakangan ini.""Apakah Eyang berdua memang bermaksud menemui saya?""Tidak utama!" sahut Mata Lima. Kata-kata selanjutnya diteruskan oleh si Jantung Dewa, "Yang paling utama adalah melacak benda pusaka itu.""Benda pusaka apa maksudnya?"Pendeta Mata Lima yang sebenarnya hanya punya dua mata, empat dengan mata kaki itu, segera menjawab dengan suaranya yang agak besar dan berwibawa, "Sebagai pendekar yang sedang kondang namanya, tentunya kau sudah mengerti pusaka yang kami maksudkan. Tak perlu lagi berlagak bodoh di depan kami. Kau punya pikiran dan angan-angan yang dipenuhi oleh pusaka itu.""Pedang maha sakti itu, maksudnya?""Nah, kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri, Anak Muda!"Tak ada gentar bagi Pendekar Kera Sakti menatap
"Tidak ada, Kang Pendekar! Ibu saya juga bilang belum lihat dia pulang.""Wah, ke mana anak itu, ya?" gumam Baraka."Coba biar saya yang cari, Kang. Kang Pendekar diam di sini dulu."Sabani sangat menghormati kedatangan Baraka, sehingga tak segan-segan bergerak cepat ke rumah teman-teman adiknya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan tangan hampa dan napas terengah-engah pertanda habis lari."Tidak ada, Kang! Semua rumah temannya sudah saya sambangi tapi Angon Luwak tidak ada di sana. Malah beberapa temannya bilang, Angon Luwak habis membunuh Saladin! Saya jadi takut, Kang!""Tidak. Angon Luwak tidak sejahat itu. Apakah kau tidak bertemu Saladin?""Bertemu! Lalu saya tanya, 'Apakah kau tadi dibunuh sama Angon Luwak"', dan Saladin bliang; 'tidak'. Lalu saya pikir, benar juga. Kalau dia sudah dibunuh pasti dia tidak bisa menjawab 'tidak'."Baraka tersenyum tipis, tertawa pendek dalam gumam. Lalu ia berkata, "Kalau begitu biar kucari